BARU KALI INI Airi merasa seperti sedang berjalan di atas jurang hanya dengan menggunakan seutas tali. Tiap jam yang berlalu membuatnya resah. Dia mencoba memfokuskan diri pada pekerjaan, tetapi pikiran tentang persidangan tetap saja datang. Airi seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak pasti. Surat dari meja hijau bisa mendatanginya kapan saja—datang dengan tiba-tiba dan merusak keseluruhan harinya.
Apa yang akan Kei putuskan?
Kedua mata memandang kosong layar monitor. Dia melirik ke arah telepon kantor ketika mendengarnya berdering dengan mendadak.
Suara Yugao segera menyapanya.
“Ada apa?” tanya Airi langsung.
“Presdir Izanagi ingin panggilannya dihubungkan dengan Anda, Ishihara-san. Apakah Anda akan menerimanya?”
Jantung Airi serasa berhenti berdetak. Mulutnya mengatup rapat. Genggaman pada gagang telepon mengerat.
“Ya, tolong sambungkan,” balasnya singkat.
Airi mengetukkan jemari ke atas meja, me
KETIKA TERLIBAT MASALAH dengan orang lain, Airi selalu mencoba untuk memahami sudut pandang orang tersebut agar dia bisa mengerti. Kebiasaan itu dia terapkan kepada siapa saja, termasuk Kei Hasegawa. Oleh karenanya, fakta bahwa dia masih belum bisa memahami motif di balik semua tindakan Kei sangatlah mengganggu. Airi tahu, Kei sudah banyak berubah dari pertama kali dia mengenalnya. Kei bukan lagi anak lelaki yang diliputi trauma dan membutuhkan kehadiran seorang teman. Dia bukan lagi cowok tak acuh yang tidak peduli pada kehidupannya sendiri. Sorot mata Kei juga tidak lagi mati. Akan tetapi, pegangan apa yang saat ini dia miliki sampai bertindak sejauh ini? Airi terus bertanya-tanya sepanjang perjalanan pulang. Nilai moral yang dimiliki pria itu mungkin memang jauh lebih gelap dibanding kebanyakan orang. Tapi, apa yang membuatnya rela dikendalikan oleh orang lain sampai pada tahap setuju untuk menempatkan anak kandungnya pada ancaman besar?
KEI HASEGAWA ADALAH seseorang dengan kehidupan janggal. Airi sudah merasakannya sejak pertama mengenal dia di bangku SMA. Kejanggalan tersebut bukan melulu disebabkan oleh masalah entah apa yang berlangsung dalam keluarga besarnya. Juga bukan pada fakta tentangnya yang selalu mencoba kabur dari pengawasan banyak pria bertubuh besar dengan setelan formal dan kacamata hitam. Kehidupan pribadi Kei tak pernah diketahui secara pasti oleh Airi. Dulu mereka hanya bisa bertemu di lima belas menit waktu istirahat dan beberapa jam saja usai waktu sekolah. Airi tak pernah ingin mengulik kehidupan pribadi Kei. Selain karena tak bermaksud ikut campur, tetapi juga karena reaksi tidak nyaman yang ditunjukkan lelaki itu ketika Airi mencoba mengangkat topik personal. Baginya, asal usul dan latar belakang seorang teman tidaklah penting. Untuk itu, dia tak pernah memperhatikan kejanggalan kecil yang dia dapati dari diri Kei. Seperti dia yang mempunyai beberapa luka sayat di pin
KALKULASINYA TIDAK MUNGKIN keliru. Kei berkali-kali mencetuskan pernyataan ini dalam kepalanya ketika rapat dewan komisaris tidak berjalan sesuai dengan harapan. Dua orang eksekutif dan sepuluh orang pemegang saham utama, termasuk dia sendiri. Empat dari pemegang saham utama merupakan anggota keluarga besar Hisaya, sementara lima lainnya berasal dari pihak luar—beberapa merupakan pemilik perusahaan asing dan sisanya merupakan pengusaha besar yang telah menekuni bisnis selama lebih dari separuh hidupnya. Dari kesembilan pemegang saham ini, enam orang sudah dipastikan berpihak padanya. Rapat yang sedang berlangsung tidak mungkin meleset jauh dari rencana hanya karena pendapat satu anak baru. Meskipun demikian, fakta menunjukkan hal yang sebaliknya. Suasana dalam ruang konferensi mulai memanas. Kei menyadari tajam tatapan Shou yang seolah mempertanyakan kenapa mereka bisa sampai pada kondisi ini—kondisi di mana pendapat yang dia ajukan j
“HEH, TERLALU LEBAR, pukulan seperti itu tidak akan bisa mengenaiku. Kapan kau akan belaja—“ Kepalan tangan melayang mengenai rahang seorang pria dari arah belakang, mengejutkannya. Ucapan terpotong dari mulut. Senyum terhibur tersemat di bibir. Dia membalikkan badan dengan cepat untuk menghadapi lawan-nya. Kaki kanan dan kiri bergantian melangkah mundur selagi lengannya dengan lincah memblokir rentetan pukulan datang. Manik mata mengamati pergerakan lawan dengan seksama, melihat jarak yang terbentang, daerah jangkauan, hingga tipuan kecil yang dimainkan mata si pemuda. Area di sekitar mereka cukup luas. Keduanya sedang berada di sebuah basement sebuah gedung tua yang biasa digunakan sebagai area parkir. Beberapa pilar penyangga melengkapi area tersebut, berdiri sejajar antara satu sama lain. Sang pria masih melakukan gerakan bertahan akibat serangan yang dilemparkan tanpa henti oleh si pemuda. Di belakangnya terdapat sebuah pilar penyangga.
KETIKA MEMBUKA MATA, Airi sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel bersama tiga perempuan lain yang kelihatan terlalu tenang untuk orang yang diculik. Kondisi tersebut sangat ganjil. Airi belum memproses keadaan dengan baik ketika salah satu dari mereka membantunya bangun dan menawarinya minum. Tepi gelas berisi air mineral sudah berada tepat di depan mulut begitu Airi ingat bahwa dia tak bisa mengonsumsi sesuatu dengan sembarangan setelah diberi bius oleh orang asing. Menolak tawaran minum dengan sopan, Airi mulai memperhatikan ruangan dengan seksama. Asumsi awalnya tentang sebuah hotel memanglah benar. Dia bisa mengenalinya dari fasilitas, tata ruang, dan desain khas hotel yang menghiasi tempat ini. Mulai dari keberadaan TV, pendingin ruangan, jendela kaca yang lebar, keberadaan kamar mandi, hingga adanya dua tempat tidur double size yang saling berhadapan. Perempuan yang tadi menawarinya minum tiba-
KEJADIAN ITU BERLANGSUNG amat cepat. Airi tak dapat menangkapnya dengan jelas ketika tiba-tiba dia mendengar umpatan keras Nogawa dan manuver mendadak yang ditujukan untuk berpindah tempat. Usaha pria itu tak begitu berjalan mulus. Sebuah peluru meluncur begitu cepat ke arahnya, meleset beberapa senti saja dari leher. Airi telah mematung. Kecepatan tembakan itu sangat luar biasa hingga dia bisa merasakan desing angin yang sempat melewati sisi telinganya, amat dekat dan hampir melubangi daun telinga. Jika bukan karena kaca yang pecah dan pintu yang tiba-tiba dihiasi sebuah lubang tajam, dia takkan tahu keberadaan peluru. Jika tidak ada tembakan lanjutan yang ditargetkan tepat ke arah pendingin ruangan yang terpasang di atas tempat Nogawa berdiri, dia takkan tahu bahwa baru ada serangan senjata laras panjang dari entah mana. Ashida, Sayuri, dan Ritsuki berteriak histeris, amat terkejut dan takut pada keributan yang tiba-tiba hadir. Airi mematung sesaat. Jantung
TAKTIK YANG DIRENCANAKAN berjalan dengan lancar. Raungan alarm terdengar di sepenjuru gedung, diikuti oleh pancaran air dari langit-langit ruangan. Kei menarik kaki yang sempat menendang alat pendeteksi kebakaran. Melalui panggilan telepon, dia menyuruh Chisaki dan dua orang lainnya untuk segera pergi dari lokasi awal mereka di gedung ini. Semuanya disuruh berpencar untuk dapat mencapai lantai-lantai atas, tempat keberadaan orang yang hendak dikirimkan ke negara lain. Sebelum menyusup ke dalam gedung, Kei telah memberi arahan khusus untuk Nora, Akaba, Chisaki, dan tiga orang lainnya. Akaba diminta menerobos sistem keamanan hotel dan menyadap tiap kunci keamanan elektronik yang digunakan. Kemudian, selagi Akaba melakukannya, dia telah menyuruh Nora dan satu orang anggota lain untuk pergi ke gedung seberang, bersiap sedia di sana selagi menunggu Akaba mendapatkan data identitas pengunjung hotel. Data tersebut digunakan untuk menemukan lokasi keberadaan Airi. Begitu men
AIRI HAMPIR TERLAMBAT bereaksi. Dia terselamatkan dari pukulan keras logam setelah menghindar ke samping, bersandar ke arah dinding. Lengan tangannya menahan lengan tangan lawan. Dia tersudut, tapi masih bisa bertahan. “Lari! Tetaplah di lantai atas!” seru Airi, mengerling pada Kazuki yang sedang berjuang menghindari pukulan bertubi-tubi dari lawan. Airi melihat area tangga yang sempit dan curam. Jantungnya bertalu-talu. Kazuki harus pergi dari sini. “Kau akan sendirian—“ “Pergilah! Kembali ke atas!” Tekanan di lengannya semakin kuat. Airi meringis, pegangannya sebentar lagi terlepas. Beberapa tangga di atas sana, Kazuki menendang kuat sisi tubuh masing-masing pria, menjauhkan jarak mereka. Dia kelihatan marah dan geram, tapi tak punya pilihan selain mengikuti ucapan Airi. Paling tidak, kalau dia pergi, dua orang ini akan mengejarnya. “Kalian, ikut aku!” seru Kazuki pada tiga anak lain. Mereka kemudian l