KETIKA MEMBUKA MATA, Airi sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel bersama tiga perempuan lain yang kelihatan terlalu tenang untuk orang yang diculik.
Kondisi tersebut sangat ganjil. Airi belum memproses keadaan dengan baik ketika salah satu dari mereka membantunya bangun dan menawarinya minum. Tepi gelas berisi air mineral sudah berada tepat di depan mulut begitu Airi ingat bahwa dia tak bisa mengonsumsi sesuatu dengan sembarangan setelah diberi bius oleh orang asing.
Menolak tawaran minum dengan sopan, Airi mulai memperhatikan ruangan dengan seksama. Asumsi awalnya tentang sebuah hotel memanglah benar. Dia bisa mengenalinya dari fasilitas, tata ruang, dan desain khas hotel yang menghiasi tempat ini. Mulai dari keberadaan TV, pendingin ruangan, jendela kaca yang lebar, keberadaan kamar mandi, hingga adanya dua tempat tidur double size yang saling berhadapan.
Perempuan yang tadi menawarinya minum tiba-
KEJADIAN ITU BERLANGSUNG amat cepat. Airi tak dapat menangkapnya dengan jelas ketika tiba-tiba dia mendengar umpatan keras Nogawa dan manuver mendadak yang ditujukan untuk berpindah tempat. Usaha pria itu tak begitu berjalan mulus. Sebuah peluru meluncur begitu cepat ke arahnya, meleset beberapa senti saja dari leher. Airi telah mematung. Kecepatan tembakan itu sangat luar biasa hingga dia bisa merasakan desing angin yang sempat melewati sisi telinganya, amat dekat dan hampir melubangi daun telinga. Jika bukan karena kaca yang pecah dan pintu yang tiba-tiba dihiasi sebuah lubang tajam, dia takkan tahu keberadaan peluru. Jika tidak ada tembakan lanjutan yang ditargetkan tepat ke arah pendingin ruangan yang terpasang di atas tempat Nogawa berdiri, dia takkan tahu bahwa baru ada serangan senjata laras panjang dari entah mana. Ashida, Sayuri, dan Ritsuki berteriak histeris, amat terkejut dan takut pada keributan yang tiba-tiba hadir. Airi mematung sesaat. Jantung
TAKTIK YANG DIRENCANAKAN berjalan dengan lancar. Raungan alarm terdengar di sepenjuru gedung, diikuti oleh pancaran air dari langit-langit ruangan. Kei menarik kaki yang sempat menendang alat pendeteksi kebakaran. Melalui panggilan telepon, dia menyuruh Chisaki dan dua orang lainnya untuk segera pergi dari lokasi awal mereka di gedung ini. Semuanya disuruh berpencar untuk dapat mencapai lantai-lantai atas, tempat keberadaan orang yang hendak dikirimkan ke negara lain. Sebelum menyusup ke dalam gedung, Kei telah memberi arahan khusus untuk Nora, Akaba, Chisaki, dan tiga orang lainnya. Akaba diminta menerobos sistem keamanan hotel dan menyadap tiap kunci keamanan elektronik yang digunakan. Kemudian, selagi Akaba melakukannya, dia telah menyuruh Nora dan satu orang anggota lain untuk pergi ke gedung seberang, bersiap sedia di sana selagi menunggu Akaba mendapatkan data identitas pengunjung hotel. Data tersebut digunakan untuk menemukan lokasi keberadaan Airi. Begitu men
AIRI HAMPIR TERLAMBAT bereaksi. Dia terselamatkan dari pukulan keras logam setelah menghindar ke samping, bersandar ke arah dinding. Lengan tangannya menahan lengan tangan lawan. Dia tersudut, tapi masih bisa bertahan. “Lari! Tetaplah di lantai atas!” seru Airi, mengerling pada Kazuki yang sedang berjuang menghindari pukulan bertubi-tubi dari lawan. Airi melihat area tangga yang sempit dan curam. Jantungnya bertalu-talu. Kazuki harus pergi dari sini. “Kau akan sendirian—“ “Pergilah! Kembali ke atas!” Tekanan di lengannya semakin kuat. Airi meringis, pegangannya sebentar lagi terlepas. Beberapa tangga di atas sana, Kazuki menendang kuat sisi tubuh masing-masing pria, menjauhkan jarak mereka. Dia kelihatan marah dan geram, tapi tak punya pilihan selain mengikuti ucapan Airi. Paling tidak, kalau dia pergi, dua orang ini akan mengejarnya. “Kalian, ikut aku!” seru Kazuki pada tiga anak lain. Mereka kemudian l
MENYERAHKAN SEBAGIAN PEKERJAAN pada orang lain yang belum pernah bekerja dengannya memang bagaikan taruhan. Selama ini, Kei mempercayai kemampuan Felix, tetapi tidak dengan anak-anak buahnya. Keraguan itu terbukti setelah dia mendapatkan laporan tentang keteledoran Chisaki. Anak itu memang telah membersihkan orang-orang Nogawa di lantai bawah. Dia memang memudahkan penyusupan yang mereka lakukan. Akan tetapi, semua itu takkan berarti di matanya ketika seseorang melakukan satu kecerobohan besar yang memperlambat ketuntasan tugas mereka. Semua hasil kerja Chisaki langsung bernilai nol di mata Kei akibat dia yang tidak sengaja menjatuhkan ponsel—satu-satunya media yang menghubungkan mereka dengan Airi. Kecerobohan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dibenci Kei. Kemarahan terpancar jelas di matanya ketika dia diberi tahu Nora akan kondisi ini. Bilah panjang, yang tadi digunakan untuk bermain-main dengan sepuluh orang yang telah tergele
SATU HAL YANG membuat Airi lega di tengah kondisi ini adalah dia yang dapat kembali bertemu dengan Kazuki. Keadaan Kazuki memang tak bisa dikatakan baik-baik saja. Cedera di kakinya kelihatan semakin parah. Belum lagi luka di sudut bibirnya akibat pukulan yang didapat dari anak buah Nogawa. Hanya dengan menatap, Airi tahu, Kazuki berusaha keras menahan sakit. Kening anak itu mengernyit tiap kali menyeret kaki, berjuang untuk dapat berjalan normal. Diberi kesempatan untuk duduk bersisian dengan sang putra, Airi langsung beringsut mendekatinya, belum terlalu memperhatikan ruang aula yang telah dipenuhi banyak orang. Mereka adalah wanita dan anak-anak yang tak berhasil kabur dari cengkeraman Nogawa. Telapak tangan menangkup sisi wajah Kazuki. Airi memeriksa bekas luka di sudut bibir anak itu, menyentuhnya pelan. Kazuki mendesis samar, merasakan sengatan nyeri. “Mana lagi yang sakit?” tanya Airi sambil memeriksa wajah Kazuki secara menyeluruh, mem
AIRI MENGERNYIT, MEMPERTANYAKAN maksud instruksi sang lelaki. Dia mendengarnya kembali berbincang dengan Nogawa, meminta pria itu agar memerintahkan para anak buahnya untuk menurunkan senjata. Nogawa menuntut balik dengan meminta Kei melemparkan ponsel miliknya. Untuk sesaat, Airi merasakan ketegangan yang luar biasa. Udara di sekitar mereka seolah berhenti bergerak. Detak jantungnya berdegup lebih kencang. Situasi ini membuatnya sesak. Kei menolak memberitahukan rencananya. Dia membiarkan Airi dipenuhi banyak pertanyaan hingga dia semakin waswas seperti ini. Memutuskan untuk menoleh ke arah Nogawa yang ada di belakangnya, Airi terpaku ketika Kei merangkulnya dengan tiba-tiba, memaksanya menunduk. Di hadapan Nogawa, ponsel sedang dilemparkan, tengah terayun di udara. Semua todongan senjata tak lagi terlalu mengarah kepada mereka berdua. Airi masih terlalu terkejut pada apa yang terjadi. Mata dan telinganya tak mampu menangkap semua kej
DARI HASIL PERKELAHIAN, terlihat anak-anak buah Nogawa yang telah dilumpuhkan, tak terkecuali Nogawa sendiri. Chisaki baru saja menumbangkan satu orang, begitu pula dengan dua rekannya yang lain. Mereka semua telah selesai menangani kaki tangan Nogawa dan juga Nogawa sendiri. Tumbangnya Nogawa tampak dari kondisinya yang sudah tak berdaya. Dia tergeletak menyedihkan di atas lantai, berbalut rembesan darah dari banyak titik luka. Pistol yang tadi digunakan untuk mengancam Airi telah terlempar beberapa kaki dari tempatnya berada. Di atas semua kondisi menyakitkan itu, Airi mendapati keberadaan Kei—Kei yang tengah menginjak sisi wajah Nogawa, menekannya dengan menyakitkan hingga dia menahan erangan di bawah sana. Telapak tangan mengacungkan pistol tepat ke kepala pria itu, siap untuk menarik pelatuknya kapan saja, mengakhiri hidup pimpinan kelompok tersebut. Dari tempatnya berdiri, Airi menegang. Matanya terpaku atas pemandangan yang dia saksikan—atas s
“KITA AKAN MEMBICARAKAN itu,” Kei mengerling pada bekas kemerahan di leher Airi, “setelah mengobati lukamu,” lanjutnya, tak terbantah. Airi menatap Kei dengan datar. “Tentu saja,” timpal Airi. “Aku akan mengobatinya.” Kei menatapnya sesaat sebelum mendengkus pelan, menahan geli. Dia mengedikkan dagu, meminta Airi mengikutinya. Mereka telah kembali ke kamar utama tak lama kemudian. “Apa saja yang dibicarakan pria tua itu?” ungkap Kei selagi mulai membuka obat oles yang akan digunakan Airi. “Tidak banyak. Dia hanya ….“ Ketika Kei hendak mengambil isi obat tersebut agar dapat memakaikannya pada Airi, Airi sudah terlebih dulu mengambil wadah obat dari tangannya, tak peduli pada sorot mengunci sang lelaki. “Dia hanya menghinamu,” tambah Airi, berbicara sambil lalu. Obat itu dia kenakan sendiri tanpa perlu melihat. Kei terlihat tidak senang dengan tindakan Airi, tapi dia tak berkomentar apa pun. Alih-alih mengomentari tindak