ACARA MAKAN MALAM keluarga Hisaya benar-benar mendadak. Airi perlu memastikan indra pendengarnya ketika mendapat berita dari Hiroki pagi tadi.
“Shou sebentar lagi bertunangan. Ayah ingin mengundang calon tunangannya sekaligus kekasihku,” ungkap Hiroki melalui sambungan telepon. “Apakah malam ini kau ada kepentingan lain?”
Kebetulan sekali, Airi memang tak memiliki agenda khusus malam nanti. Dia pun menerima tawaran Hiroki meski masih cukup terkejut. Selama seminggu ini, ada banyak peristiwa tak terduga yang datang. Airi jadi tak kepikiran kalau cepat atau lambat dia perlu kembali bertemu dengan keluarga Hisaya agar bisa lebih mengenal mereka. Bagaimanapun juga dia serius dengan hubungan ini. Dia ingin menjalin hubungan baik dengan orang tua Hiroki.
“Aku punya cukup banyak waktu luang,” balas Airi. Dia tersenyum jenaka ketika bertanya, “Apakah kau ingin request baju yang akan kupakai nanti malam?”
Hiroki tertawa, kemudian menyerahkan masalah p
BEGITU KEMBALI KE apartemen, Airi langsung mencoba menghubungi Kei. Panggilan telepon itu tak terhubung akibat nomor ponsel yang berada di luar jaringan. Kei seolah memutus kontak dengan semua orang, seperti yang tadi dikatakan oleh Shou. Perhatian Airi teralihkan ketika Kazuki menghampiri. Dia memberi tahu tentang sisa makanan yang disimpan di dalam lemari pendingin. “Paman Nishida berpesan agar Ibu tak langsung membuang makanannya. Besok siang dia akan mengambilnya,” terang Kazuki sambil lalu, terlalu sibuk melihat ponsel pintar dalam genggaman. Fokus Airi belum sepenuhnya terkumpul. Dia hanya mengangguk. Ketika Kazuki berjalan menjauh, dia bertanya, “Apakah Ethan sudah jadi membeli mobil baru?” “Ya, Mom. Katanya dia hanya perlu mengurus persyaratan administrasi yang merepotkan.” Kazuki kemudian menghilang ke dalam kamar. Airi menarik napas pelan, mencoba mengenyahkan pening yang menerpa kepala. Dia mengganti pakaian
SISA HARINYA DI kantor tak begitu berjalan mulus. Masalah yang seolah tak memiliki jalan keluar benar-benar menyulitkan Airi untuk berkonsentrasi. Sejak menyelesaikan rapat, dia sudah berusaha fokus menggarap pekerjaan kantornya. Akan tetapi, tiap kali mencoba beristirahat, pikirannya akan kembali pada masalah yang menjerat. Ketika menjelang sore, Airi memutuskan untuk beranjak. Dia membuat kopi untuk dirinya sendiri, bergabung dengan beberapa karyawan yang juga tengah beristirahat. Mereka sempat menyapanya sebelum kembali berkutat dengan aktivitas masing-masing. Setelah bekerja bersama selama dua bulan, anak buah Airi sudah tak lagi segan ataupun kaku padanya. Mereka seolah sudah nyaman menjadi kolega. Kenyamanan itu terbukti dari kebebasan mereka untuk tetap lanjut mengobrol meski Airi berada di ruangan yang sama. Airi tak berniat untuk ikut mendengarkan obrolan mereka. Dia masih sibuk memilih serbuk kopi yang akan diseduh. Namun, pembicaraan tentang keluarga Haseg
“KAU TIDAK AKAN pernah lebih baik dariku, Kei Hasegawa. Tanganmu sama kotornya denganku. Aku sudah dengar banyak tentang kau yang sebenarnya. Nogawa mengatakan semuanya padaku, tentang kau yang hampir membunuhnya. Membunuh bukanlah hal yang sulit buatmu, ‘kan? Kau sama sepertiku—pembunuh, orang yang tidak berhak mendapatkan kebahagiaan dan akan terus terjebak dalam kesendirian, ditolak dan tidak diterima. Camkan itu sebelum kau menyumpahi pamanmu sendiri, Nak.” Citra berubah menjadi merah darah, diikuti oleh jerit kesakitan. Kaki ingin berlari, tetapi dihalangi berat yang tak terlihat. Kei merasakan hantaman di perut, dia yang terjatuh. Udara seolah ditarik paksa dari paru-paru. Napas tersekat, berat, dan sesak. Telapak tangan mengepal, erat. Ketika membuka mata, warna putih terang memenuhi penglihatan. Kei mengerjap, mulai menyesuaikan cahaya yang seolah menusuk mata. Dia menoleh ke sekeliling, mengamati ruang tengah sebuah apartemen; merasakan lembut sofa
RUMOR MIRING YANG tersebar tidak luput dari pengetahuan Kei. Menjadi anggota keluarga berada membiasakannya untuk menghadapi kondisi semacam ini. Dia hanya sedikit tidak menyangka bahwa rumor yang beredar akan sangat besar. Para karyawan semakin berani mencuri pandang. Mereka juga sempat berbisik-bisik, bertanya tentang berita burung yang menyebar. Semua tatapan dan bisikan itu lenyap setelah Kei memandang mereka secara langsung. Kurata, sang asisten pribadi, seolah ikut terdampak rumor. Kei tahu, banyak orang yang mencoba mengonfirmasi gosip melaluinya. Entah itu karyawan Izanagi, kenalan jurnalis, atau rekan kerja dari perusahaan lain. Ketika Kei memanggilnya masuk, dia kelihatan lelah. Kurata kelihatan ingin bertanya, tapi tak punya keberanian yang cukup untuk mengutarakan pertanyaan. Dia hanya menyerahkan kunci mobil yang diminta sang atasan. Kepalanya menoleh dengan kilat ketika Kei kembali memanggilnya. “Ya, Hasegawa-san?” Kei tengah mengenakan
AIRI SEDANG INGIN sendiri. Dia merasa perlu menata pikirannya, mencoba menghilangkan perih yang masih menghantui. Bertemu Kei dengan tidak sengaja jelas-jelas bukan bagian dari rencana. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Pandangan mata mulai menggelap. Orang-orang mungkin akan terheran pada kacamata hitam yang masih bertengger bangga di hidungnya. Akan tetapi, Airi memilih risiko ini. Dia sedang malas memoles wajah demi menghilangkan bengkak di matanya. Menyembunyikan bukti tangis dengan kacamata hitam dirasa jauh lebih simpel. Kaki masih mengayun stabil, berbeda dengan hela napas yang mulai berantakan. Sejak kembali ke Tokyo, dia sama sekali belum kembali mencoba untuk berolahraga. Penurunan staminanya teramat kentara. Tungkai dan paha mulai terasa berat, menolak untuk digerakkan. Padahal, dia baru berlari beberapa putaran. Ayunan kaki yang melambat sudah tentu diprediksinya. Airi menarik dan mengembuskan napas dalam, mencoba menstabilkan detak jantung. Tak per
SELEPAS PULANG DARI kantor, Airi segera bersiap-siap untuk pergi ke Fukui, sesuai dengan rencana yang kemarin disepakati. Pagi tadi, Kazuki sudah mulai berangkat sekolah. Dia meminta izin untuk menghadiri training camp yang diadakan oleh klub voli. Aktivitas Kazuki mempermudah Airi untuk meninggalkan apartemen. Dia jadi tak perlu menyuruhnya menginap di rumah Ethan.Kepergiannya ke Fukui hanya diketahui oleh Kazuki. Dia tak berniat memberi tahu Ethan sebelum mengetahui kejelasan mengenai keluarga Ozuki ini. Belum ada penjelasan yang bisa Airi utarakan pada lelaki itu. Dia juga belum ingin kembali membahas tentang nasib hubungannya dengan Hiroki. Tutup mulut sesaat adalah pilihan terbaik yang sekarang dia punya.Airi menyisir rambut untuk terakhir kali. Dia memandang refleksi dirinya melalui cermin. Bengkak di matanya sudah mereda. Kali ini benar-benar hilang, disamarkan oleh riasan wajah sederhana. Mata mengerling pada jam dinding. Tepat sesuai dugaan, ponseln
KETIKA TERBANGUN DARI tidur, Airi mendapati ranjang di sebelahnya yang kosong. Tempat tersebut tampak rapi, tak tersentuh, seolah Kei memang tidak tidur di sana. Pandangan Airi seketika langsung mengedar. Dia menarik napas pelan saat melihat keberadaan sang pria di sebuah sofa alih-alih tempat tidur yang telah disediakan. Posisi sofa yang memunggungi tempat tidur sempat menyulitkan Airi untuk mengetahui keberadaan Kei.Sinar matahari di luar sana tampak bersinar terang, meski jam dinding masih menunjukkan pukul lima. Airi menjauh dari jendela. Dia bergegas mencuci wajahnya dan hendak mengambil jubah mandi yang terlipat rapi di atas nakas. Musim panas memang akan selalu mendorong orang-orang untuk mandi pagi. Airi tak terkecuali. Urusan pakaian ganti akan dia pikirkan nanti.Langkah kakinya terhenti ketika mendengar berat suara sang pria.“Kau tak membangunkanku?” Kei berkata dengan nada serak khas bangun tidur.Airi menoleh, melihatnya mengali
AIRI DAN KEI membungkuk sopan pada Sara. Mereka berdua sudah hendak pergi setelah jam istirahat Sara selesai. Tawaran untuk tinggal lebih lama ditolak dengan sopan oleh mereka.“Jangan sungkan untuk kembali menghubungiku, Airi,” ungkap Sara ketika mengantarkan mereka hingga ke tanah lapang. “Aku ingin bertemu Kazuki-kun,” tambahnya.Airi mengulas senyuman.“Tentu saja, Ozuki-san. Saya akan menghubungi Anda lagi dan berkunjung ke sini bersama Kazuki dan Shizune.”Sara berdecak pelan. Dia mengibaskan tangan.“Tak perlu lagi bicara formal padaku, Nak. Aku ini bibimu,” komentarnya. “Jaringan yang dimiliki keluarga kita juga cukup luas. Kau bebas meminta bantuanku kalau memang memerlukannya.”Mendapatkan tawaran mendadak semacam itu masih terasa aneh untuk Airi. Dia bahkan belum selesai mencerna semua informasi baru yang barusan didapatnya. Pernyataan Sara hanya dijawab dengan tawa segan