Share

Chapter 11

Kami menyelesaikan makan siang ini tepat pukul setengah empat sore. Kami berbicara banyak hal, dan pembicaraan bersama orang tua ini membuat perasaanku semakin tenang. Sepertinya Pak Dongdong juga menyadari bahwa aku berda dalam masalah sehingga ia tak menanyakan hal-hal yang sensitif atau mengundang perasaan negatif kembali.

Ia cenderung menceritakan pengalamannya yang menarik. Ada kalanya aku menanggapi dengan beberapa pertanyaan lebih detail, atau tertawa mendengar hal yang tak masuk akal atau prasangkanya yang menarik. Terlebih karakter Pak Dongdong ini ceria, jadi aku menerima energi positif darinya dengan sangat mudah.

Saat kami keluar dari ruangan pribadi ini, kami bersamaan dengan pemilik ruangan di seberang kami. Namun mereka semua belum keluar dan beberapa masih ada yang di dalam. Sedangkan salah satu orang lainnya menahan pintunya terbuka. Jadi mau tidak mau, aku dan Pak Dongdong bisa melihat kondisi ruangan tetangga kami tersebut.

Pandangan mataku bertau dengan seorang pria yang mengenakan kaos hitam polos dan celana coklat yang duduk di kursi makan, posisinya menghadap pintu keluar-masuk satu-satunya ini. Tiba-tiba ia tersentak melihatku, “Kamu!” Teriaknya tiba-tiba.

Aku yang mendengar itupun juga terkejut. “Apasih Juan! Kau gak setuju aku mengusir Rio?” Tanya seorang pria yang membuka pintu itu.

“Rony, kamu sengaja mengusirku? Lihat Bos Juan saja tak setuju,” balas pria lainnya.

Oh, rupanya ia berbicara dengan temannya. Aku pikir ia memakiku.

Aku tersenyum singkat untuk menyapanya dan melenggang pergi melewati lorong restoran ini. Wajah pria yang memaki tadi tampan. Hanya itu yang bisa aku simpulkan. Namun aku sudah melupakan wajahnya seperti apa, yang teringat hanya pujian tampan untuknya saja.

Pak Dondong mengekor di belakangku sembari membawa beberapa bungkus kotak makanan untuk keluarganya. Itu janji yang sudah aku katakan untuk mengajaknya makan bersama. Sebab, aku tak bisa menahan rasa sepi makan sendirian tanpa ditemani seseorang dalam situasiku sekarang ini.

Saat kami di tempat parkir, Pak Dongdong memaksaku untuk menunggu sejenak, ia bermaksud untuk membukakan pintu untukku. Aku tak ingin berdebat dan membiarkannya terlebih dahulu untuk membuka pintu untuk kursi penumpang depan dan menaruh lima kotak makanan dari restoran ini ke atas kursi tersebut. Kemudian ia segera membuka pintu belakang untuk mempersilahkan aku masuk ke dalam sana.

Walaupun aku tahu kemungkinan kantor berikutnya sudah tutup karena kami sampai di sana sore sekali. Kendati demikian, kami tetap meneruskan perjalanan ke bangunan Firma Hukum Dantons yang memiliki 18 lantai itu. Sesuai dengan julukannya sebagai firma terbaik seantero negeri ini. Bahkan, kantor merekapun megah sekali.

Berdasarkan pengetahuan Pak Dongdong, dari lantai satu hingga 18 itu memang milik Dantons semua. Mereka tidak menyewa beberapa lantai dan bergabung dengan kantor lain. Malah sebaliknya, ada beberapa perusahaan start-up yang bergabung dengan mereka.

“Nona Muda, saya akan pulang dulu mengatarkan makanan ini selagi masih hangat. Kira-kira Nona akan selesai jam berapa ya?” Tanyanya.

“Tak masalah. Bapak bisa pulang langsung saja. Saya akan memanggil taxi lain,” jawabku dengan sopan.

“Jangan-jangan. Saya ingin balas budi. Biarkan saya menjadi supir pribadi Nona Muda sampai urusan Nona selesai,” timpalnya dengan cepat. Aku hanya tersenyum.

“Tak apa Pak. Bapak juga pasti lelah sudah bekerja sehari ini,” ujarku kembali menolaknya, dan langsung melenggang pergi masuk ke dalam bangunan megah di depanku. Aku sama sekali tak menengok ke belakang. Pikiranku kali ini hanya dipenuhi dengan firma hukum ini saja. Mereka membuat keuntungan yang besar setiap tahunnya. Tidak mungkin tidak seperti itu dengan bangunan di hadapanku.

Yah, lagipula seperti yang dijelaskan Ibu Mei dan Pak Li, Dontons ini sudah berdiri selama 80 tahun lamanya. Ada berbagai macam pengacara hebat yang bergabung dengan mereka. Bisa dibilang firma ini sebagai agensi untuk para pengacara tersohor, baik dalam negeri atau luar negeri.

Aku tak berharap lebih saat memasuki gedung yang mana banyak orang yang keluar dari dalam sana. Ini sudah jamnya pulang. Mereka pasti tidak akan menerimaku. Walaupun pernyataan itu terus terngiang-ngiang di kepala. Aku tetap melangkah ke arah meja resepsionis di depan sana. Aku menanyakan tentang kebutuhan pengacara dalam mendampingi kasusku. Namun ia menolakku dengan tegas. Sudah kuduga.

“Nona Manis. Ah, maaf, saya tidak sopan. Saya Jung Wonxie, salah satu pengacara di Dantons,” sapa seseorang sembari mengetuk pundakku perlahan. Ia menyodorkan kartu namanya padaku. Aku yang belum sempat berpikir dan mencerna ucapan orang ini hanya menganggukan kepalaku.

Dalam kartu nama itu tepampang wajah seorang pria muda yang kemungkinan berusia tiga puluhan dengan rambut klimis dan kemeja biru berdasikan motif vertikal hitam putih. Terlihat profesional, pikirku saat melihat kartu namanya. “Anda bisa berdiskusi kasus Anda dengan saya,” ucapnya lagi.

“Benar?” Tanyaku tak percaya.

“Kalau Anda tidak percaya. Coba saja tanyakan pada Ka Reni, apakah saya bekeja di sini atau tidak?” ungkap pria itu pada respsionis yang lagi bersiap-siap ingin pulang juga.

“Ya, Pak Jung, Pengacara di sini. Beliau mas—” belum sempat Nona Resepsionis itu meneruskan perkataannya. Namun langsung dipotong oleh si Jung Jung ini.

“Benar. Saya bekerja di sini. Jadi jangan ragu lagi. Mari saya antarkan ke ruangan saya,” ucap si Jung lagi sembari mendorong pundakku perlahan menuju ke arah lift. Aku belum  bisa menolak dalam pikiran yang kacau ini. Tau, tau saja, aku sudah berada di dalam lift dan pintunya kembali terbuka saat tiba di lantai lima.

“Kemari, saya arahkan ke ruangan saya,” ucap si Jung lagi. Ia dengan semangat menggebu-gebu berjalan di depan berceloteh tentang kehebatannya yang dapat bergabung dengan firma hukum terbesar ini. Aku diam saja.

Saat kami sampai di depan ruangannya, si Jung ini mengenggam ganggang pintu dan berniat membukanya. Namun seseorang dari dalam lebih dahulu membukanya. “Pak Jung, kami pulang!” Ucap seorang wanita muda dan pria muda yang mungkin masih berusia dua puluhan secara bersamaan saat kami berpapasan di depan pintu.

“Hei, aku baru saja membawa klien kemari. Kalian lembur dulu hari ini,” ucapnya.

“Tidak bisa, Pak. Saya malam ini ada kencan buta, orang tua saya sudah mengaturnya,” ucap wanita muda itu.

Pria muda di sampingnya langsung berekspresi rumit, sepertinya ia tahu nasibnya saat melihat wajah si Jung. “Saya malam ini harus ke rumah Nenek saya! Asam urat beliau kambuh dan saya ingin membawakan obat padanya,” ucap pria muda itu dengan cepat.

Padahal si Jung belum menanggapi permintaan pulang mereka. Namun kedua stafnya itu langsung berlari ke arah lift. Pengacara bernama Jung ini meneriaki mereka dari belakang. Aku diam saja. Sebab aku memang sudah tak ada lagi tenaga untuk berbicara. Jikalaupun berbicara itupun terkait penjelasan kasusku. Sekarang benar-benar butuh seorang pengacara, sebab teringat ponsel yang kuberanikan untuk dinyalakan saat di perjalanan tadi. Hanya untuk mengetahui apakah notifikasi itu telah berhenti. Rupanya belum.

“Um. Saya minta maaf sekali, staf saya tidak sopan. Apa mungkin ingin bertemu Senin nanti, atau sekarang saja?” Tanyanya.

“Sekarang,” jawabku singkat. Kamipun masuk ke dalam ruangan itu.

“Nona jangan khawatir. Saya tak akan berlaku mesum, ruangan ini ada kamera CCTV yang diawasi langsung oleh tim keamanan,” ucap si Jung. Aku yang mendengar itu langsung mengernyitkan keningku. Memangnya perlu ya mengucapkan hal itu? Namun aku tetap diam saja.

Saat di dalam sana aku menjelaskan berbagai macam soal kasusku. Wajahnya si Jung itu masih berusaha profesional. Dia diam saja mendengarkan celotehku yang kupersingkat hanya setengah jam saja. Padahal saat di kantor Ibu Mei aku menjelaskan kasus ini selama nyaris tiga jam. Kemudian di kantor Pak Li ada satu jam. Kali ini aku menjelaskan hal intinya saja. Sebab sudah terlalu lelah.

“Jadi Anda toh yang jadi trending topic di semua media sosial,” itulah tanggapan pertama dari si Jung yang diam saja mendengarkanku setengah jam. Entah kenapa aku sangat ingin pergi dari ruangan ini. “Jangan khawatir. Saya akan menerima kasus Anda,” sambungnya lagi.

Hah? Tanpa pikir panjang? Apakah ia pikir ini kasus yang mudah? Apa semua pengacara di Dantons seperti ini? Bukankah respon yang wajar itu menanyakan beberapa dokumen dan hal terkait kasus ini? Setidaknya seperti yang dilakukan Ibu Mei dan Pak Li sebelumnya. Si Jung ini sama sekali tak bertanya apapun dan langsung menerimanya.

“Saya butuh beberapa dokumen terkait. Juga Anda perlu mengecek kesehatan di rumah sakit untuk menjadi pendukung kasus ini. Walaupun terlihat tak diperlukan, namun hal ini bisa menjadi poin yang baik untuk melawan berita negatif tentang Anda yang sudah tersebar,” ucap si Jung.

Setelah mendengar ucapannya yang mirip dengan Pak Li. Aku mulai menaruh sedikit rasa percaya padanya. Setidaknya sedikit. Aku mengambil beberapa dokumen dari totebagku dan memberikan itu padanya.

Si Jung ini menerimanya dan langsung membawa berkas-berkas itu ke mesin fotokopi untuk menduplikat berkas-berkas tersebut. Kali ini ia terlihat benar-benar profesional. Tidak, ‘profesional’ yang dibuat-buat.

Kemudian ia juga menyakan beberapa hal padaku terkait kasus ini. Kemudian memintaku untuk screenshoots bukti dana masuk ke akun rekening uang digital milikku, beserta email dari perwakilan Zhou.co.  Mau tidak mau aku membuka ponsel yang sudah kumatikan total itu. Sekali lagi aku disambut dengan jutaan notif. Aku perlahan-lahan membuka aplikasi uang digital milikku dan melakukan yang diminta si Jung. Setelah selesai aku membuka email.

Saat aku membuka aplikasi tersebut, histori pesan masuk itu telah hilang sepenuhnya. Aku mengatakan hal itu pada si Jung. “Tapi saya punya file tangkapan gambar di komputer saya. Saya perlu pulang dulu,” ucapku dengan cepat.

“Kalau begitu. Mari bertukar nomor ponsel saja,” sarannya.

“Ah. Saya ingin beli ponsel dan nomor baru, notif ini mengangguku,” jelasku sembari menunjukan layar ponsel yang terus muncul kotak hitam di bagian atasnya.

“Benar. Itu merepotkan. Saya akan menuliskan nomor saya saja. Hubungi saya setelah itu. Baik, saya juga mau pulang. Kita lanjutkan hal ini hari Senin, ya,” ucapnya sembari menulis di atas selembar kertas. Ketika ia selesai ia langsung memberikannya padaku. Aku menerimanya. “Tak lupa juga. Saya butuh informasi tambahan terkait kekayaan Anda,” sambungnya.

“Kalau soal bayaran jangan khawatirkan hal tersebut,” jawabku.

Aku kaya.

“Yah, terlihat dari merek pakaian dan tas yang Anda gunakan. Walaupun itu tak mencolok tapi saya tahu bahwa jas yang Anda kenakan itu limited edition,” tuturnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status