“Paman Zinbei, Ibu Yanyan, kalian baik-baik saja?” Tanyaku dengan suara gemetar. Orang-orang sekitar masih sibuk dengan kejadian ini. Ada banyak dari mereka yang antusias ingin memberi keterangan pada polisi, atau ingin membantu pemadam kebakaran. Lingkungan sekitar yang ribut ini membuat hatiku yang kacau semakin porak poranda, berhamburan. Aku takut.
“Ya ampun, nak! Ibu baik-baik saja. Paman juga,” ucap Bu Yanyan dengan sangat lembut. Ia menyentuh pundaku dan mengusapnya perlahan. “Bangun Shushu. Jangan di bawah tanah seperti itu. Sini, duduk di samping Ibu,” lanjutnya.
Namun aku mengabaikannya. Air mataku menetes tanpa aku sadari. Entah kenapa aku merasa sangat bersalah dan kebakaran ini mungkin memang benar karena diriku juga.
“Kau membuatnya nangis Yanyan?” Bisik Pak Ming Zinbei, suaminya Ibu Yanyan, marga istrinya ini dulu Yong. Namun semenjak menikah ia juga ikut dipanggil Ibu Ming. Namun aku lebih nyaman memanggil nama depannya. Sontak Ibu Yanyan ini pun langsung menepuk paha suaminya untuk tidak asal bicara. “Ya ampun aku hanya bercanda. Shushu, Paman dan Ibu baik-baik saja,” jelasnya lagi.
Bohong. Padahal mereka punya luka lecet di lengan dan kaki mereka. Wajah mereka juga terlihat kotor akibat asap dan debu. Pakaian mereka terlihat lusuh dan basah. Benar-benar berantakan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan isak tangin. Namun aku tak bisa menahan air mataku untuk terus keluar. Ini menyesakan.
Seorang paman gemuk tertawa di sampingku. Aku tak peduli dengan keberadaannya. Aku menyembunyikan wajahku di kedua paha Ibu Yanyan. Menutupi air mataku yang tak bisa berhenti mengalir dengan sendirinya.
“Anak ini benar-benar sangat khawatir dengan kalian ya. Wah, anak yang sedarah denganku saja selalu melupakan Ayah dan Ibunya di rumah. Nelpon saja jarang,” ucap paman gemuk itu.
“Ei, anakmu cowok kan? Umur-umur segitu memang lagi mencari jati diri. Kita pun dulu pernah melakukannya,” balas Paman Zinbei.
“Ya juga sih,”
Saat obrolan hendak berlanjur seorang polisi menghampiri tempat kami. Aku mendengar ucapannya yang memperkenalkan diri. Ini bukan saatnya menangis. Aku tekadkan dalam diriku, dan bangkit menatap wajah Ibu Yanyan yang tersenyum hangat padaku. Sedari tadi ia mengusap kepalaku dengan lembut. “Sudah tenang?” Tanyanya.
Aku menganggukan kepala. “Kembalilah pulang terlebih dahulu. Ada banyak warga yang membantu. Kau terlihat sibuk akhir-akhir ini. Tadi pagi saja kau pergi ke kota lagi kan? Pasti kau baru saja pulang dan langsung berlari kemari. Lihat baju indah yang jarang kau kenakan ini jadi kotor,” celotehnya lagi panjang lebar. Aku senang mendengarnya memarahiku.
“Nah, sudah gak usah nangis. Ibu sama Paman, baik-baik saja kok,” ucapnya lagi sembari mengusap wajahku. Kemudian ia tertawa, aku bingung. Paman Zinbei dan Paman Tetangga yang buncit tadi melihat wajahku dan ikut tertawa. Rupanya ada abu di wajahku sehingga terlihat kotor. Ibu Yanyan pandai bercanda. “Dah, dah. Sana pulang saja, besok-besok saja datangin kami lagi. Semua orang membantu,” sambung Ibu Yanyan.
Aku menurutinya dan melenggang pergi dari sana. Selama melangkah menjauh tak henti-hentinya aku berhenti dan menengok ke belakang. Pasangan suami-istri itu tak henti-hentinya melambaikan tangan untuk menyuruhku cepat pergi dari sana.
Saat kembali sampai rumah. Aku merasa sangat lelah. Aku merasa terlalu banyak hal yang terjadi hari ini. Aku duduk di ruang tengah termenung. Lambat laun aku terlelap.
****
“Hey, apa ini gambaranmu juga? Beda sekali dengan yang sering kau ikuti lomba,” ucap seorang gadis kecil dengan gigi ompongnya.
“Aku pikir bukan Shushu yang menggambar ini. Terlalu bagus dan dewasa!” Sanggah bocah lainnya.
“Aku juga yakin sekali ini bukan gambaran Shushu. Ini seperti komiknya Gege di rumah. Tapi lebih keren!” Sambung bocah lainnya.
Ada banyak anak kecil berkerumun di sekitarku melihat kotak yang berisikan kertas robekan dengan gambar di atasnya. Ciri gambar semi-realis yang masih ada sentuhan kartunnya. Itu gaya baru yang aku coba buat akhir-akhir ini. Aku terbiasa melukis dan mewarnai di atas kanvas atau kertas berukuran besar dengan media crayon, pastel, atau cat minyak.
Setelah itu datang seorang anak yang lain yang terkenal sebagai orang kaya di pinggiran Kota B ini. “Aku menginginkan gambar ini. Berapa?” Tanyanya.
Aku menunjukan angka dua dengan jariku. Gadis kecil itu langsung mengeluarkan dua lembar satu yuan padaku tanpa pikir panjang. “Untuk satu gambar,” tegasku lagi. Dia menganggukan kepalanya sembari memilih gambaran terbaik dari kotak kaleng itu.
Aku berencana membawa ini untuk memamerkan karyaku pada teman sekelas. Namun berapa kali aku mengatakannya, mereka tidak percaya. “Ayo, ngaku. Siapa ahli yang menggambar ini?” Tanya gadis kaya itu.
“… ugh, dia… Samara Gwenn,” jawabku asal.
“NAAAAH!!” Kompak semua bocah berkata demikian. “Sudah aku bilang bukan Shushu!” sambung mereka lagi. Kemudian berkelahi mana yang lebih dahulu mengatakan tidak setuju gamabran di kertas itu bukan karyaku.
Aku hanya bisa diam. Saat mereka mulai mereda, ada beberapa dari mereka yang melakukan aksi sama dengan gadis kaya tadi. Langsung memberiku pecahan sebesar 2 yuan untuk membeli gambaranku.
“Darimana kau mengenal Nona Samara Gwenn ini?” Tanya bocah lainnya mendadak.
“Oh, itu pasti saat kamu masih umur empat tahun, saat liburan musim panas sering berkunjung ke rumah sewanya para turis dari Jerman itu! Aku lihat dia membawa banyak buku ke rumahnya” Pekik bocah laki-laki dengan rambut yang jabrik. Rumah dia berada dekat dengan rumah sewa para turis yang pernah datang beberapa tahun lalu kala itu.
Memang benar. Aku sering berkunjung ke sana untuk membaca buku-buku berbahasa asing yang unik. Mungkin, bocah ini melihat aku saat membawa banyak buku dari sana. Aku tidak takut sekalipun dengan orang asing atau berkenalan dengan orang baru. Kala itu tidak banyak warga Desa Juanxie yang berani mendekat karena masalah bahasa. Namun itu tidak menghambat rasa keingintahuanku.
Selama kesalahpahaman ini semua terjadi aku hanya bisa diam. Sebab itulah cara tercepat agar mereka mengabaikan keberadaanku. Mereka terlalu ribut. Saat sekitarku mulai hening karena sebentar lagi pelajaran berikutnya akan dimulai, di atas mejaku sudah terkumpul 24 yuan dengan mudahnya. Gaji pertamaku dari menipu saat usia delapan tahun.
Sejak saat itu aku meneruskan kesalahpahaman ini untuk menjadi kaya perlahan. Dua identitas yang berbeda. Ding Shu, si jenius pandai melukis yang sering memenangkan setiap perlombaan dengan ciri khas yang kuat. Serta, Samara Gwenn, komikus ahli yang berasal dari luar negeri yang memberikan banyak gambaran pada Shushu, sebelum dia kembali ke Jerman. Kisah ahli yang menjadi teman dekatku ini semakin panas. Tidak hanya teman sekelas. Bahkan kakak atau adik tingkat pun tertarik untuk memiliki gambaran itu.
Sekolah dasar itu terletak di Kota B, Provinsi A di China. Aku pindah ke tempat baru ini saat usiaku sekitar empat atau lima tahun. Tidak terlalu ingat.
Pastinya, aku dan Ayah pindah kemari setelah Ayah memutuskan menjual lahan sawahnya dan rumahnya beberapa bulan setelah Ibu meninggal karena terjangkit wabah Pneumonia.
Sebelumnya aku tinggal di Desa Juanxie. Rata-rata penduduknya bekerja sebagai petani padi, jagung, dan gandum. Begitupun dengan kedua orang tuaku yang bahkan memiliki lahan tanahnya sendiri.
Ayah dan mendiang Ibu juga memiliki ekonomi yang stabil dan dapat menyokong mainan baru untukku setiap bulan. Hanya saja semua kenangan manis itu terkenang samar. Hal yang kuingat hanyalah Ayah mulai bangkit dari berduka atas kematian Ibu setelah kami pindah ke Kota B. Siapa sangka di tempat ini, ada kenalan di desa sebelumnya.
Berkat bantuan bocah laki-laki ini. Samara Gwenn menjadi sosok yang nyata. Saat kelas satu SMA, Ayah membelikan ponsel pintar pertama untukku. Hal pertama yang aku lakukan ialah membuat akun untuk sosok ini.
Kehidupanku untuk menipu orang sekitar sangat membahagiakan kala itu. Selain aku menunjukan bakat di seni lukis, dan menghasilkan uang dengan cara menipu teman sekelasku. Uang yang terkumpul selama aku rajin menjual karya dari SD sampai SMA itu 17.800 yuan.
Aku masih menggunakan kertas bergaris yang kulepas dari buku tulisku dan menggambarnya setiap malam. Terkadang aku juga sengaja menuangkan kopi ke atas kertasnya terlebih dahulu agar memunculkan nuansa kertas lama. Sehingga ada nilai historis kapan Samara Gwenn itu menggambarnya dan kenapa memberikannya padaku. Tentu saja, cerita-cerita itu palsu. Aku hanya memperdulikan kekayaan yang semakin bertambah perlahan.
Harga untuk satu karya itu masih 2 yuan. Selama aku menjalankan bisnis dengan banyak cerita tipuan di dalamnya, aku berhasil menjadi lebih kaya sedikit dibandingkan anak kuliahan semester akhir. Mana ada anak belasan tahun bisa menghasilkan 17.800 yuan dari kerja kerasnya sendiri waktu itu.
Aku terbangun karena ponselku yang berdering. Setelahnya aku hanya mematung menatap langit-langit di ruang tengah ini. Aku memimpikan masa lalu yang membuatku tidak nyaman. Namun gara-gara ini. Aku jadi teringat bahwa Desa Juanxie sudah lama tidak ada lagi di map.Wabah Pneumonia itu menjangkit lima belas desa sekitar kabupaten yang terletak di Provinsi C. Butuh waktu tiga hari perjalanan darat untuk mengunjungi tempat itu lagi. Aku tak ada niatan ke sana sama sekali. Namun setelah memimpikan hal tersebut ada yang membuatku tak nyaman sekali, yaitu, nama desa itu mirip dengan nama orang gila yang menghantuiku.Aku bangkit dari posisi tidurku yang aneh di atas sofa ini. Lalu mengambil ponsel yang tergeletak di lantai. Orang itu lagi.______Orang Gila!Apa kau baik-baik saja? (14.23)Aku baru dengar kabarnya, ada kebakaran di dekat wilayahmu. (14.23)Apa aku perlu ke sana? (14.25)Kata tanteku yang terbakar kios pemilik kontrakanmu. Apa Paman dan Bibi baik-baik saja? (14.54)Ah, sepert
Dia datang ke rumah dengan penampilan super rapi. Dia benar-benar mendorongku ke ujung jurang. Aku menatapnya dengan penuh praduga dan menerka alasan atas setiap dugaan yang muncul di kepalaku. Apa untungnya membuatku berada di sisinya? Jika aku menguntungkan, tidak perlu sampai membuat kontrak nikah. Kenapa dia begitu keras kepala? Apa yang ia dapatkan dari menjeratku dengan pernikahan dan menyelamatkanku? Aku perlu diselamatkan? Ya. Namun itu hanya sebatas membersihkan namaku dari tuduhan palsu.Aku menatapnya terheran-heran meliriknya dari atas ke bawah. Ia masih membawa kertas terkutuk itu di tangan kirinya. Hal inilah yang menyebabkan aku terpaksa menerimanya untuk menjajakan kaki ke rumah teramanku sekarang. “Ayo masuk dulu,” ucapku sembari berdiri di samping pintu agar dia segera masuk ke dalam kontrakan ini.Namun entah setan apa yang merasuk Tante Meidong, mulutnya yang lemas itu gampangnya berkata, “Wah, sudah aku bilang kan, anak muda cantik sepertinya tinggal di rumahmu se
Ada empat poin dalam perjanjian pranikah itu. Hal yang pertama, aku dan Juanxi harus tidur bersama selama dua jam setiap hari. Tak masalah itu tidur siang, atau tidur malam. Intinya aku harus mengenggam tangannya. Sebab fokusnya ingin mengenggam tanganku. Aku menawarkan tidak harus di tempat tidur. Namun ia menolaknya dengan tegas. Aku tak tahu orang gila ini punya masalah apa dengan otak dan mentalnya. Aku tak ingin berdebat tak penting dan memilih diam saja. Poin kedua, aku harus sepakat untuk mengikuti perjamuan sosial Juanxi. Bila dalam undangan itu tertera pergi bersama pasangan. Aku rasa ini juga tak perlu. Sebab masa waktu pernikahan ini hanya dua tahun atau selama tuduhan tindak pidana atas perkaraku selesai. Sekali lagi, orang gila ini keras kepala dan tak bisa dilawan. Alasannya melakukan ini agar dirinya bisa tenang tidak dikejar-kejar keluarganya. Jadi, ketika masa kontrak berakhir, dia dan aku harus berada dalam fase bak berduka kehilangan orang yang meninggal. Kemud
Semua ini terjadi lima bulan yang lalu, saat Samara Gwenn lagi-lagi dipercayai untuk bergabung dengan tim kreatif di salah satu ‘Perusahaan Game Online’ Zhou.co. Dari kasus ini pula aku bertemu dengan Orang Gila yang baru saja aku setujui untuk menjalin nikah kontrak. Pekerjaan pertamaku dengan perusahan ini terjadi sudah lama sekali. Sekitar setahun lalu sebelumnya. Awalnya aku dihubungi salah satu perwakilannya melalui email untuk menggambar tujuh karakter dan beberapa ekspresi wajah mereka, dengan format mentah .psd dan .rtf yang dipisah per layer. Mereka menawarkan harga sebesar 14.000 RMB dengan masa pengerjaannya selama 30 hari. Kala itu aku berhasil menyelesaikan proyek komersil tersebut selama 29 hari. Sebagai illustrator yang memiliki integritas dan etos kerja yang baik. Serta nama yang besar dengan pengikut di Ourchat sebesar lima juta. Aku dikenal banyak perusahaan sebagai komikus yang memiliki persentase selesai sebelum tenggat waktu sebesar 80 persen tanpa banyak drama
Presdir Zhou.co sekarang sudah berusia 86 tahun, dan beberapa komentar menyebutkan bahwa ia gila jabatan. Bahkan sampai sekarang tidak turun-turun dari posisinya sekarang. Ini seperti drama mengambil alih tahta kerajaan. Pada akhirnya, presdir ini pun menjual nama adiknya, yang merupakan paman dari anaknya, seperti seakan-akan ia adalah orang yang jahat merebut posisi wakil presdir ini. Namun hal-hal ini aku baca dari kolom komentar. Sebab lebih seru membaca komentar para netizen dibandingkan artikel klarifikasi yang membosankan tentang sang Ayah yang takut kehilangan para pemegang saham. Aku pikir tidak ada masalah dengan perusahaan selain drama keluarga ini. Jadi aku memutuskan untuk mengambil pekerjaan gambar ini. Aku segera beralih membuka jendela email di layar desktop ini. Lalu mengetik jawaban untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut, sekali lagi tanpa banyak bertanya. Orang bodoh mana yang menolak pekerjaan mudah yang memberikan banyak bayaran? Tanpa pikir panjang lagi ak
Semalaman ini aku terus mencoba menghubungi email perwakilan Zhou.co itu. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Aku mencoba berpikir positif mungkin karena ini tengah malam, dan mereka telah tidur. Jadi mereka tak bisa membalas pesanku segera.Ini membuatku panik, sebab ada sebuah cuitan dari Ourchat bahwa ada yang menduga pihak kepolian akan menangkap semua yang berada di balik layar pembuatan situs judi online ini. Aku yang membaca komentar itupun dibuat panik dan panas-dingin.Selain menghubungi pihak perusahaan, aku mencari-cari firma hukum terpercaya yang bisa aku hubungi. Namun segala pesan yang aku kirimkan ke nomor mereka hanya membuahkan centang satu. Ini membuat perutku semakin mual. Pasalnya aku tahu betul besok, hari Sabtu, beberapa tempat tidak memiliki jadwal kerja. Masa iya sih, aku harus menunggu sampai hari Senin dulu?Tepat pukul jam 8 pagi, aku mendapatkan balasan dari email perwakilan Zhou.co. Tidak. Lebih tepatnya pemberitahuan dari email, bahwa akun tersebut telah
Dalam perjalanan menuju firma hukum berikutnya, aku hanya mengandalkan bantuan dari supir taxi untuk menemukan lokasinya. Sebab aku tak tahu seluruh jalanan di Kota B ini.Untungnya Bu Mei tahu posisiku saat ini sedang terdesak. Ia berbaik hati memanggilkan supir taxi andalannya. Tidak perlu waktu lama untukku menunggu beliau. Saat mobil berhenti tepat di depan kantor Bu Mei, aku langsung melanjutkan perjalanan.Sesampainya aku di sana, aku meminta Pak Dongdong, supir taxi yang mengaku usianya sudah 56 tahun itu, untuk menungguku sejenak dan aku tak lupa membayar perjalanan dari kantornya Ibu Mei, pengacara sebelumnya ke kantor lainnya ini.“Siap, Nona! Saya akan menunggu Anda walaupun badai hujan menerjang sekalipun,” ungkapnya sembari hormat padaku. Aku memberinya tip yang berlebih agar ia memenuhi permintaanku. Sikapnya langsung berlipat-lipat penuh dengan pengabdian.Ketika aku masuk ke kantor firma hukum kedua ini, resepsionisnya seakan sudah menduga kedatanganku. Aku yakin sekal
Kami menyelesaikan makan siang ini tepat pukul setengah empat sore. Kami berbicara banyak hal, dan pembicaraan bersama orang tua ini membuat perasaanku semakin tenang. Sepertinya Pak Dongdong juga menyadari bahwa aku berda dalam masalah sehingga ia tak menanyakan hal-hal yang sensitif atau mengundang perasaan negatif kembali. Ia cenderung menceritakan pengalamannya yang menarik. Ada kalanya aku menanggapi dengan beberapa pertanyaan lebih detail, atau tertawa mendengar hal yang tak masuk akal atau prasangkanya yang menarik. Terlebih karakter Pak Dongdong ini ceria, jadi aku menerima energi positif darinya dengan sangat mudah. Saat kami keluar dari ruangan pribadi ini, kami bersamaan dengan pemilik ruangan di seberang kami. Namun mereka semua belum keluar dan beberapa masih ada yang di dalam. Sedangkan salah satu orang lainnya menahan pintunya terbuka. Jadi mau tidak mau, aku dan Pak Dongdong bisa melihat kondisi ruangan tetangga kami tersebut. Pandangan mataku bertau dengan seorang p