Dia datang ke rumah dengan penampilan super rapi. Dia benar-benar mendorongku ke ujung jurang. Aku menatapnya dengan penuh praduga dan menerka alasan atas setiap dugaan yang muncul di kepalaku. Apa untungnya membuatku berada di sisinya? Jika aku menguntungkan, tidak perlu sampai membuat kontrak nikah. Kenapa dia begitu keras kepala? Apa yang ia dapatkan dari menjeratku dengan pernikahan dan menyelamatkanku? Aku perlu diselamatkan? Ya. Namun itu hanya sebatas membersihkan namaku dari tuduhan palsu.
Aku menatapnya terheran-heran meliriknya dari atas ke bawah. Ia masih membawa kertas terkutuk itu di tangan kirinya. Hal inilah yang menyebabkan aku terpaksa menerimanya untuk menjajakan kaki ke rumah teramanku sekarang. “Ayo masuk dulu,” ucapku sembari berdiri di samping pintu agar dia segera masuk ke dalam kontrakan ini.
Namun entah setan apa yang merasuk Tante Meidong, mulutnya yang lemas itu gampangnya berkata, “Wah, sudah aku bilang kan, anak muda cantik sepertinya tinggal di rumahmu selama ini dengan membayar uang sewa tepat waktu, pasti dia punya backing-an. Itu suaminya siapa?” Nyaring sekali suara itu.
Semenjak kebakaran yang terjadi kemarin, ada banyak warga sekitar yang berkeliling di area perumahan di pinggiran Kota B ini di pagi yang sangat cerah. Wajah-wajah mereka terlihat seperti bisa tidur nyenyak walaupun ada musibah sebelumnya. Sedangkan aku tidak tidur sama sekali dan terlalu asik membaca buku. Yah, musibah telah terjadi. Hidup tetap berlanjut. Walaupun berbagai pikiran menghantui kepala, kita tak boleh terjebak di dalam satu tempat karena itu, bukan?
Aku menatap rumah Ibu Yanyan yang berada tepat di seberang rumahku. Beliau tengah menjemur pakaiannya dengan ekspresi bingung menatap mobil hitam bersih nan berkilap cerah. Ibu Yanyan menyadari tatapanku padanya yang tersenyum ramah.
“Hei, Yanyan. Kau menyewakan rumahmu pada anak perempuan yang memalukan!” ucap Tante Meidong lagi.
“Memangnya kau tahu pria itu sudah menikah darimana Meidong? Jangan asal berbicara ya,” Tegas Ibu Kos itu pada lawan bicaranya yang mengenakan pakaian dengan atasan dan bawahan berwarna mencolok. Aku bernafas lega, Ibu Yanyan memihakku. Aku benar-benar tak ingin ada rumor tak berakal muncul gara-gara Tante Meidong.
“Hei, anakku yang sering bercerita seperti itu. Gadis pinggiran kota tak mungkin bertemu dengan tokoh besar bila tak menjilat ya. Kau kan tak punya anak, Yanyan, jadi tidak ada yang memberitahumu informasi sepenting ini,” sindir Meidong dengan kasar.
Aku yang mendengar dari kejauhan saja dibuat geram dengan pernyataan itu. Aku yang awalnya berniat menjamu tak diundang ini. Mau tidak mau harus maju membantu Bu Yanyan tercintaku.
“Ya!” Teriakku pada Tante Meidong dengan kasar. Beberapa tetangga yang menonton dari kejauhan terkejut dengan suara lantangku. Bagaimanapun aku cukup terkenal dengan sebutan gadis penyewa baik nan sopan. Tak terbayang dibenak mereka aku akan mengamuk bak orang gila.
Aku mendorong ringan tubuh pria di hadapanku ini untuk memberiku jalan, lalu melangkah dengan begitu cepat ke arah seorang wanita paruh baya yang mengenakan kaos polos berwarna merah muda, dan dilapisi jaket jersey berwarna hijau terang dengan motif nama merek terkenal yang terbalik. Sudah pasti itu tiruan.
Namun ia masih saja bangga sekali mengenakan jaket tersebut karena itu pemberian dari anak perempuannya tersayang. Itu semua ia padukan dengan celana training warna merah terang yang juga membuat mata sakit. “A-apa! Kau marah karena aku menebak benar bahwa kau simpanan pria itu kan?” Tanyanya dengan ketakutan namun masih sok berani. Ia juga kaget melihatku mendadak bersikap begitu berani dan membangkang. Tanpa pikir panjang aku menamparnya dengan sangat keras.
Semenjak kedatangan tamu tak diundang tadi, aku sudah menyadari nasibku yang tidak akan bisa meninggali tempat ini dengan tenang lagi. Jadi, mari lampiaskan kesabaran yang aku timbun selama belasan tahun tinggal di permukiman pinggiran kota ini.
Tarikan nafas dari para penonton di sekitar terdengar jelas di telingaku. Mereka masih tidak menyangka aku benar-benar menampar Tante Meidong. “Jaga ucapan Anda. Ibu Yanyan setidaknya pernah memiliki seorang anak yang tak pernah tersentuh pria sedikitpun. Tidak seperti anak Anda yang seperti jalang dan berganti-ganti pria!” Kesalku.
“Wah! Gila kamu ya! Jangan tuduh anakku macam-macam!” Bentak Tante Meidong. Ia berniat menamparku balik. Aku membiarkannya sebab hati nurani ini juga merasa bersalah menampar seseorang yang lebih tua dariku. Aku pikir setidaknya rasa sakit atas tamparannya menjadi seimbang.
Namun siapa sangka pria tak diundang ini menahan tangan Tante Meidong. Wajahnya geram menatap tetanggaku yang bermulut besar itu. “Jangan macam-macam dengan calon istriku kalau kau tak bisa menerima konsekuensi setelahnya,” tegasnya dengan suara bass yang dalam itu.
“Omo, omo,” lirih Ibu Sewa Kontrakan sembari melirik ke arahku dengan penuh pertanyaan. Sedangkan aku sudah terbatuk-batuk mendengar kalimat pria itu. Apalagi kalau bukan kerena tersedak salivaku sendiri.
“Sudah, sudah. Kalian bertengkar karena membahas anakku yang sudah tiada. Shushu, kau pasti ingin membicarakan banyak hal dengan calon suamimu, bukan? Silahkan, silahkan, Meidong hanya basa-basi saja. Silahkan,” ungkap Ibu Yanyan dengan nyaring sekali.
Para penonton pun mendengarkan informasi yang berbeda dan lebih mempercayai hal ini dibandingkan dugaan Meidong yang diawal sebelumnya. Mereka mulai mendekat untuk cari muka ke arah tamuku ini. Namun aku masih sibuk mengurus nafasku yang tak beraturan karena tersedak dahak.
“Sayangku, pelan-pelan bernafasnya,” ungkap pria ini yang tak kusadari telah menepuk-tepuk punggungku untuk meredakan batukku.
“Oh, ya ampun, calon suamimu sangat perhatian sekali ya. Silahkan Tuan Tampan, di sini rumah Shushu, silahkan kalian berbicara dengan tenang,” kata Ibu Yanyan sembari mengarahkan aku dan tamuku ke pintu yang terbuka sedari tadi. Setelah ia memastikan aku masuk dengan pria ini, ia langsung keluar dari rumahnya sendiri yang ia sewakan padaku. Tidak lupa dengan menutup pintunya.
“Wah, Shushu memang pandai mencari pasangan!” Ungkap Bu Yanyan lagi agar terdengar semua tetangga yang menonton. Aku tidak memperhatikan bagaimana wajah Tante Meidong setelah tamuku ikut campur tangan. Pasalnya aku sibuk menyelamatkan nyawaku dari dahak yang menyangkut di kerongkongan ini.
Aku masih terbatuk tak henti-hentinya. Kau tahu, batuk yang tak akan berhenti tanpa meminum air, dan semakin kau mencoba menahannya, maka suara batuknya akan semakin keras dan menyakitkan dadamu. Itu menyesakan sekali.
Aku yang masih memakai sandal tidur, baru menyadari bulu-bulu halus itu sudah bercampur lumpur di jalanan depan rumah. Padahal itu sendal kesayanganku. Namun aku tidak bisa memikirkan hal ini lebih dalam. Aku perlu minum. Aku melepaskan sandal tidur ini dan bertelanjang kaki masuk ke dalam rumah.
Anehnya tamuku ini sudah masuk lebih dahulu ke dalam rumah dengan cepat melepaskan sepatu kulitnya yang mahal, dan berjalan seakan-akan dialah pemiliknya. Aku membuntutinya dari belakang. Ia berjalan mengarah ke dapur tanpa ragu, dan mengambil gelas dari rak yang tersembunyi di dalam lemari.
Aku mengernyitkan keningku melihat gerak-geriknya yang begitu familiar itu. Kemudian ia berjalan mendekati dispenser dan menuangkan air ke dalam wadah tersebut. Ketika ia rasa takaran airnya cukup, ia langsung mendekatiku. Aku tak sempat berterima kasih dan menerima gelas itu, lalu menegak airnya perlahan. Tak lupa juga mengatur pernapasanku.
“Sudah tenang?” Tanyanya dengan lembut tepat di telinga kananku. Itu menggelikan, aku menghindarinya, dan baru menyadari bahwa ia mendekat tubuhku dari samping.Tangannya yang besar juga menepuk punggungku perlahan. Wajahku langsung memerah. “Kalau kau berniat kemari, jangan berpakaian mencolok seperti itu,” ungkapku.
Senyuman merekah besar di wajahnya, “Kau menerima tawaranku?”
Apa orang ini bodoh? Aku bisa menebak isi kepalanya yang salah pemahaman dengan ucapanku.
“Tidak. Ingat ya, malam itu tidak terjadi apa-apa! Pakaianku masih tertutup rapi. Jangan bodoh-bodohi aku ya!” Tegasku dengan formal sembari menepis tubuhnya untuk mejauh. Kenapa dia masih kukuh pada tawaran aneh itu.
Ada empat poin dalam perjanjian pranikah itu. Hal yang pertama, aku dan Juanxi harus tidur bersama selama dua jam setiap hari. Tak masalah itu tidur siang, atau tidur malam. Intinya aku harus mengenggam tangannya. Sebab fokusnya ingin mengenggam tanganku. Aku menawarkan tidak harus di tempat tidur. Namun ia menolaknya dengan tegas. Aku tak tahu orang gila ini punya masalah apa dengan otak dan mentalnya. Aku tak ingin berdebat tak penting dan memilih diam saja. Poin kedua, aku harus sepakat untuk mengikuti perjamuan sosial Juanxi. Bila dalam undangan itu tertera pergi bersama pasangan. Aku rasa ini juga tak perlu. Sebab masa waktu pernikahan ini hanya dua tahun atau selama tuduhan tindak pidana atas perkaraku selesai. Sekali lagi, orang gila ini keras kepala dan tak bisa dilawan. Alasannya melakukan ini agar dirinya bisa tenang tidak dikejar-kejar keluarganya. Jadi, ketika masa kontrak berakhir, dia dan aku harus berada dalam fase bak berduka kehilangan orang yang meninggal. Kemud
Semua ini terjadi lima bulan yang lalu, saat Samara Gwenn lagi-lagi dipercayai untuk bergabung dengan tim kreatif di salah satu ‘Perusahaan Game Online’ Zhou.co. Dari kasus ini pula aku bertemu dengan Orang Gila yang baru saja aku setujui untuk menjalin nikah kontrak. Pekerjaan pertamaku dengan perusahan ini terjadi sudah lama sekali. Sekitar setahun lalu sebelumnya. Awalnya aku dihubungi salah satu perwakilannya melalui email untuk menggambar tujuh karakter dan beberapa ekspresi wajah mereka, dengan format mentah .psd dan .rtf yang dipisah per layer. Mereka menawarkan harga sebesar 14.000 RMB dengan masa pengerjaannya selama 30 hari. Kala itu aku berhasil menyelesaikan proyek komersil tersebut selama 29 hari. Sebagai illustrator yang memiliki integritas dan etos kerja yang baik. Serta nama yang besar dengan pengikut di Ourchat sebesar lima juta. Aku dikenal banyak perusahaan sebagai komikus yang memiliki persentase selesai sebelum tenggat waktu sebesar 80 persen tanpa banyak drama
Presdir Zhou.co sekarang sudah berusia 86 tahun, dan beberapa komentar menyebutkan bahwa ia gila jabatan. Bahkan sampai sekarang tidak turun-turun dari posisinya sekarang. Ini seperti drama mengambil alih tahta kerajaan. Pada akhirnya, presdir ini pun menjual nama adiknya, yang merupakan paman dari anaknya, seperti seakan-akan ia adalah orang yang jahat merebut posisi wakil presdir ini. Namun hal-hal ini aku baca dari kolom komentar. Sebab lebih seru membaca komentar para netizen dibandingkan artikel klarifikasi yang membosankan tentang sang Ayah yang takut kehilangan para pemegang saham. Aku pikir tidak ada masalah dengan perusahaan selain drama keluarga ini. Jadi aku memutuskan untuk mengambil pekerjaan gambar ini. Aku segera beralih membuka jendela email di layar desktop ini. Lalu mengetik jawaban untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut, sekali lagi tanpa banyak bertanya. Orang bodoh mana yang menolak pekerjaan mudah yang memberikan banyak bayaran? Tanpa pikir panjang lagi ak
Semalaman ini aku terus mencoba menghubungi email perwakilan Zhou.co itu. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Aku mencoba berpikir positif mungkin karena ini tengah malam, dan mereka telah tidur. Jadi mereka tak bisa membalas pesanku segera.Ini membuatku panik, sebab ada sebuah cuitan dari Ourchat bahwa ada yang menduga pihak kepolian akan menangkap semua yang berada di balik layar pembuatan situs judi online ini. Aku yang membaca komentar itupun dibuat panik dan panas-dingin.Selain menghubungi pihak perusahaan, aku mencari-cari firma hukum terpercaya yang bisa aku hubungi. Namun segala pesan yang aku kirimkan ke nomor mereka hanya membuahkan centang satu. Ini membuat perutku semakin mual. Pasalnya aku tahu betul besok, hari Sabtu, beberapa tempat tidak memiliki jadwal kerja. Masa iya sih, aku harus menunggu sampai hari Senin dulu?Tepat pukul jam 8 pagi, aku mendapatkan balasan dari email perwakilan Zhou.co. Tidak. Lebih tepatnya pemberitahuan dari email, bahwa akun tersebut telah
Dalam perjalanan menuju firma hukum berikutnya, aku hanya mengandalkan bantuan dari supir taxi untuk menemukan lokasinya. Sebab aku tak tahu seluruh jalanan di Kota B ini.Untungnya Bu Mei tahu posisiku saat ini sedang terdesak. Ia berbaik hati memanggilkan supir taxi andalannya. Tidak perlu waktu lama untukku menunggu beliau. Saat mobil berhenti tepat di depan kantor Bu Mei, aku langsung melanjutkan perjalanan.Sesampainya aku di sana, aku meminta Pak Dongdong, supir taxi yang mengaku usianya sudah 56 tahun itu, untuk menungguku sejenak dan aku tak lupa membayar perjalanan dari kantornya Ibu Mei, pengacara sebelumnya ke kantor lainnya ini.“Siap, Nona! Saya akan menunggu Anda walaupun badai hujan menerjang sekalipun,” ungkapnya sembari hormat padaku. Aku memberinya tip yang berlebih agar ia memenuhi permintaanku. Sikapnya langsung berlipat-lipat penuh dengan pengabdian.Ketika aku masuk ke kantor firma hukum kedua ini, resepsionisnya seakan sudah menduga kedatanganku. Aku yakin sekal
Kami menyelesaikan makan siang ini tepat pukul setengah empat sore. Kami berbicara banyak hal, dan pembicaraan bersama orang tua ini membuat perasaanku semakin tenang. Sepertinya Pak Dongdong juga menyadari bahwa aku berda dalam masalah sehingga ia tak menanyakan hal-hal yang sensitif atau mengundang perasaan negatif kembali. Ia cenderung menceritakan pengalamannya yang menarik. Ada kalanya aku menanggapi dengan beberapa pertanyaan lebih detail, atau tertawa mendengar hal yang tak masuk akal atau prasangkanya yang menarik. Terlebih karakter Pak Dongdong ini ceria, jadi aku menerima energi positif darinya dengan sangat mudah. Saat kami keluar dari ruangan pribadi ini, kami bersamaan dengan pemilik ruangan di seberang kami. Namun mereka semua belum keluar dan beberapa masih ada yang di dalam. Sedangkan salah satu orang lainnya menahan pintunya terbuka. Jadi mau tidak mau, aku dan Pak Dongdong bisa melihat kondisi ruangan tetangga kami tersebut. Pandangan mataku bertau dengan seorang p
Setelah urusanku dengan Pengacara Jung selesai, aku pergi lebih dahulu meninggalkan bangunan Firma Hukum Dantons ini. Aku berniat pulang dengan bis umum. Lagipula ini masih jam tujuh malam. Masih ada jadwal rute untuk menuju area pinggiran kota. Aku berjalan ke arah halte bus. Namun seseorang menarik sedikit kain lengan jasku. “Nona Muda! Saya menunggu Anda. Jangan pulang pakai Bis, Nona. Daritadi saya panggil loh,” ucap Pak Dongdong panjang lebar sembari melepaskan genggamannya pada jasku. “Yaampun Pak,” jawabku kaget. “Sudah daritadi menunggu saya? Bapak tak perlu repot-repot loh,” sambungku. Aku benar-benar tak mendengar Pak Dongdong memanggilku. Pikiranku masih kacau mengingat email perwakilan Zhou.co menghilang dan begitupun jejak digitalnya. Bagaimana bisa? “Oh, jangan terlalu segan dengan pria tua seperti saya. Ayo, Nona Muda, saya antarkan pulang. Nona, bagaimana bila menyimpan nomor saya? Saya bisa jadi su
“Dari awal si Jung ini agak mencurigakan memang,” gumamku sembari berleha-leha di atas sofa yang ada di ruang tengah. Posisinya dekat sekali dengan area kerjaku yang ada di sudut ruangan.Aku menatap pot kaktus yang sudah membesar dan meninggi sampai ke dadaku. Dulu sekali kaktus itu masih berukuran sejengkal tangan Ayah saja. Kalau teringat kedua orang tua yang sudah tiada, rasanya sepi sekali. Namun mau bagaimana lagi. Inilah kehidupan.Aku menatap ponsel baruku lagi. Kali ini aku tidak mengaktifkan akun sosial mediaku di sini. Aku takut dengan notifikasi yang luar biasa seperti ponsel pintarku sebelumnya.Kalau dibilang aku sudah terbiasa dengan munculnya notif yang banyak dari serbuan para penggemar gambarku. Tentu saja, aku sudah terbiasa. Namun kebanyakan yang aku terima adalah kata-kata positif. Jikalaupun itu bukan hal yang sifatnya mengagumi atau menyemangati. Paling tidak berisi kritikan yang memban