Seketika kedua telapak tangannya telah berubah menjadi putih berkilauan hingga pangkal lengan, saat tenaga dalamnya dikerahkan.
"Hea!"
Bersamaan teriakannya yang mengguntur, tiba-tiba Gembong Kenjeran menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika dua gulungan asap tebal berwarna putih berkilauan yang menebarkan hawa dingin bukan kepalang meluruk ke depan!
Pesss!
Dua batang pohon besar di hadapan Gembong Kenjeran langsung terbungkus dua gulungan asap tebal dari kedua telapak tangan Gembong Kenjeran. Seketika bumi terasa bergetar hebat diiringi suara gemeretak dari ranting-ranting pohon yang berjatuhan! Dan saat kedua telapak tangannya diturunkan kembali, dua batang pohon besar itu pun luruh ke tanah berubah menjadi kepingan-kepingan kecil berwarna putih kepucatan!
"Aji 'Setan Kober'!" terdengar Eyang Pamekasan memerintah.
Gembong Kenjeran tidak menyahut, kecuali segera memusatkan pikirannya untuk mengerahkan apa yang diperintahkan E
Hupp!Gembong Kenjeran menghentikan kelebatannya di ranting pohon terakhir. Di hadapannya kini terbentang hamparan tanah rerumputan yang dikelilingi semak belukar. Lelaki itu menyapu keadaan sekitar dengan matanya. Dan mendadak bola matanya tertumpuk pada empat gundukan tanah merah di bawahnya."Kuburan?" gumam Gembong Kenjeran."Kuburan siapakah itu? Mungkinkah kuburan Empat Iblis Merah. Atau...."Gembong Kenjeran tak meneruskan pertanyaan dalam hatinya. Ia segera melompat turun. Ditelitinya empat gundukan tanah merah di hadapannya seksama. Ternyata di papan nisan itu tertulis.... ‘Makam Bajingan-bajingan Merah dari Hutan Seruni’.Gembong Kenjeran melongo. Dibacanya sekali lagi tulisan di papan nisan itu."Hm...! Jadi bajingan-bajingan merah itu sudah modar! Menilik gundukan tanah yang mulai mengeras, aku yakin kuburan ini sudah cukup lama. Mungkin dua atau tiga bulan lalu. Tapi, siapakah yang melakukan ini semuanya?" tanya Gemb
"Masa' baru saja diomongkan sudah lupa. Dasar pikun!" rutuk Manggala dalam hati. Sedang Ratu Adil makin menyembunyikan wajahnya dalam-dalam. "Oh, ya? Aku ingat. Aku sedang mencari muridku. Apa kalian pernah melihat muridku?"Manggala yang semula mengira kalau kakek renta itu akan menyuruh meneruskan adegan mesranya hanya melongo."Kasihan sekali. Kenapa orang tua ini demikian pikunnya? Baru saja ngomong soal pelukan, sekarang sudah melantur bicara soal muridnya. Bagaimana, sih?" gumam Si Buta dari Sungai Ular dalam hati."Ayo, jawab! Kenapa kalian malah melongo?" hardik si kakek renta. Matanya mendadak jadi berkilat-kilat galak."Hey...! Kau, Bocah buta! Apa kau pernah melihat muridku? Jauh-jauh aku dari Gunung Slamet untuk mencari muridku, masa' kau tidak bisa membantu? Ayo, tunjukkan di mana muridku, Bocah buta?""Ya, ampun! Orang tua ini malah jadi melantur tidak karuan. Pakai membentak-bentak lagi...." Manggala mendesis dalam hati sebelum akhir
Namun rupanya Kakek Pikun tidak terusik oleh gurauan Si Buta dari Sungai Ular. Ia malah asyik mengurut-ngurut pelipisnya, seolah-olah dengan cara itu ingin meyakinkan diri sendiri."Aku tak percaya! Aku tak percaya bocah buta ini dapat membunuh Hantu Tangan Api yang menjadi momok dunia persilatan...," desis Kakek Pikun berulang-ulang. "Aku harus menyelidikinya sendiri. Mana sudi aku mempercayai omongan Bocah buta itu?"Di akhir desisannya, Kakek Pikun, buru-buru berkelebat cepat meninggalkan tempat itu tanpa menoleh sedikit pun ke arah Si Buta dari Sungai Ular dan Ratu Adil."Tunggu, Kek! Kau mau ke mana?" tanya Si Buta dari Sungai Ular, heran juga melihat sikap Kakek Pikun. Namun Kakek Pikun tak sudi mendengarkan panggilan Si Buta dari Sungai Ular. Sembari terus mengeluarkan gumaman tak jelas, langkahnya malah makin dipercepat. Hingga dalam waktu yang tidak lama, sosoknya pun telah berubah menjadi titik biru kecil di kejauhan sana. Terpaksa Si Buta dari Sungai
"Hm...," Putri Hijau mengangguk-angguk."Jadi Hantu Tangan Api yang telah membunuh muridmu" Ya ya ya...! Pantas saja kau tampak uring-uringan begini. Tapi menurut desas-desus yang kudengar, Hantu Tangan Api telah tewas di tangan Si Buta dari Sungai Ular. Apakah Si Buta dari Sungai Ular yang kau maksudkan Bocah buta itu, Kakek Pikun?""Ah...! Kau benar, Perempuan Berpayung. Teman Bocah buta itu memang pernah menyebutnya Si Buta dari Sungai Ular," teriak Kakek Pikun gembira. “Tapi kalau kabar itu memang benar, lalu aku harus meminta pertanggungjawaban pada siapa atas tewasnya muridku?"Mendadak Kakek Pikun menampakkan raut wajah sedih."Wahai, sobatku Kakek Pikun! Seharusnya kau bersyukur menerima satu keberuntungan yang tersembunyi. Tidak seharusnya menyesal seperti ini. Untung saja hanya muridmu saja yang tewas. Kalau sampai kau mati, apa pikirmu masih dapat menikmati indahnya alam mayapada ini? Untuk itu, bersyukurlah! Sesungguhnya Hyang Widi meman
"Apa maksudmu, Peramal Maut? Apa ucapanmu tadi berarti kau ingin menantangku bertarung?" tanya Kakek Pikun, mengkelap."Tantangan telah terdengar. Pantang bagi Peramal Maut untuk mundur dari pertarungan!" tandas Peramal Maut."Bagus! Sudah lama aku ingin menekuk sepak terjangmu. Rupanya inilah saat yang tepat untuk mengakhiri sepak terjangmu!" sambut Kakek Pikun sengit."Jangan banyak bacot, Tua Bangka Pikun! Ayo kita lihat, siapa yang terlebih dulu berkalang tanah! Kau atau aku!"Peramal Maut menggeram penuh kemarahan. Sekali kakinya menghentak ke tanah, tubuhnya pun melenting tinggi di udara. Di udara, tongkat di tangan kanannya pun menyambar-nyambar ganas. Bahkan sebelum serangan-serangan itu sempat mengenai sasaran, terlebih dulu telah berkesiur angin keras disertai bunyi menggemuruh!"Hea! Hea!"Kakek Pikun tak kalah gertak. Dikawal bentakan-bentakan nyaring, tubuhnya pun segera melenting tinggi ke udara. Begitu serangan-serangan tongka
Lagi-lagi terjadi ledakan hebat di udara. Laksana layangan putus tali, tubuh Peramal Maut dan Kakek Pikun sama-sama terlempar jauh ke belakang.Bukk!Tubuh Peramal Maut terbanting keras dan jatuh berguling-gulingan. Parasnya seketika pucat pasi! Napasnya tersengal dengan darah mengalir dari hidung! Tak jauh di hadapannya, tubuh Kakek Pikun tegak kaku di tempatnya. Meski menderita luka dalam hebat, namun tokoh sakti dari puncak Gunung Slamet itu masih sanggup berdiri tegak.Melihat ini, hati Peramal Maut kontan kecut. Nyalinya bertarung pun seketika lenyap."Jangan dikira aku menerima kekalahanku begitu saja, Kakek Pikun! Tunggulah pembalasanku!" desis Peramal Maut, menahan amarah.Dan tiba-tiba tubuhnya berbalik, lalu segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Kakek Pikun tetap diam di tempatnya. Kedua lututnya tampak bergetar hebat. Dan begitu sosok bayangan Peramal Maut menghilang di balik kerimbunan depan sana, tubuhnya pun melorot ke bawa
"Aku tidak mau tahu tengah berhadapan dengan siapa. Apa salahnya sih kalau aku memuji pukulanmu tadi?" sahut si gadis cantik, genit.Matanya pun sempat mengerling ke arah Peramal Maut. "Ketahuilah! Hari ini kau tengah berhadapan dengan Peramal Maut! Hm...! Dari bau tubuhmu, tampaknya kau membawa satu maksud tak baik. Kau pun rupanya tengah mencari seseorang. Entah siapa, aku tak tahu. Yang jelas, mungkin hatimu akan terpaut pada orang yang sedang kau cari," desis Peramal Maut. Namun herannya, masih sempat juga ia meramal gadis cantik di hadapannya."Oh...! Jadi kau yang bergelar Peramal Maut? Pantas! Begitu aku datang kau sudah meramalku. Tapi benarkah ramalanmu barusan?" tanya gadis itu ragu-ragu. Lalu dalam hatinya pun membatin, "Menurut keterangan guruku Ratu Bangkai di Lembah Selaksa Kematian, aku harus hati-hati dengan tua bangka satu ini. Namun, aku juga tidak boleh meremehkan ramalannya begitu saja....""Dua kali kau membuat kesalahan besar padaku, Cah Ay
Sementara tubuh Peramal Maut sendiri tampak terjengkang ke belakang dengan paras pucat pasi. Napasnya terdengar memburu. Cepat lelaki tua ini melompat bangun. Darah segar yang membasahi hidung segera dibesut dengan punggung tangan.Jauh di depan sana, tubuh Dewi Bunga tampak masih berjumpalitan di udara. Namun tanpa diduga-duga sama sekali, tiba-tiba tangannya kembali mengibas, melontarkan kembali bunga-bunga bangkai senjata andalannya ke arah Peramal Maut. Peramal Maut terkesiap bukan main. Sungguh tak disangka kalau akan mendapat serangan demikian mendadaknya. Tanpa pikir panjang, tubuhnya segera dibuang ke samping.Namun, serangan bunga-bunga bangkai dari tangan Dewi Bunga Bangkai tak cukup sampai di situ. Laksana air hujan, puluhan bunga bangkai itu terus mengejar sosok Peramal Maut yang tengah sibuk menyelamatkan diri.Werrr! Werrr!"Bajingan! Kau kira gampang merobohkanku, hah! Tunggulah pembalasanku nanti, Gadis Bengal!" Peramal Maut masih saja sib