Beberapa hari berikutnya setelah pulang sekolah, semua siswa yang terdaftar sebagai pengisi acara, dikumpulkan di tengah lapangan dan diberi pengarahan tentang apa yang harus dilakukan. Disaat siswa yang lain sedang berdiri dan berpanas-panas ria mendengar arahan, aku dan Shaniar sengaja memilih barisan paling belakang dan agak menjauh dari barisan karena tidak ada guru yang mengawasi. Kami memutuskan untuk berjongkok sambil menopangkan kepala ke lutut, berlindung pada bayangan siswa-siswa lainnya. Kami mulai berbicara tentang apa saja yang terlintas di kepala kami. Sekilas saat menoleh ke arah lain, aku melihat “si Lesung Pipi” yang sedang tertawa bersama temannya dan wajah cemberut kakak kelas yang dikerjai oleh mereka. Mungkin karena hanya sekilas, jadi aku tidak mendapatkan kesan apa-apa dari dia selain lesung pipinya itu, yang sepertinya memang tidak akan bisa ditutupi. Maksudku, itu sudah seperti ciri khas. Hal pertama yang terlintas di otak saat melihat dia. “Drew yakin kamu
Aku masih bertahan di kelas bersama dengan kak Adam, si ketua Osis, yang akan berperan sebagai Raja Sisingamangaraja, saat semua orang sudah pulang termasuk si Lesung Pipi yang ternyata ikut dalam drama ini juga. Dia berperan sebagai tentara Belanda. Ketika perkenalan naskah tadi, aku menyimpulkan ternyata dia itu cukup populer. Siswi-siswi dari kelas lain acapkali mengeluarkan suara-suara dan kalimat menggoda saat si Lesung Pipi memperkenalkan diri. "Nama saya David Leonardo, berperan sebagia tentara Belanda" ucapnya biasa saja tapi membuat sebagian besar siswi-siswi wanita berteriak genit. Aku sampai muak melihat para geniters itu. Ibu Gempal menyuruh aku dan kak Adam untuk membahas naskah kami berdua, karena naskah kami termasuk yang paling panjang dan rumit. Kami banyak berbincang mengenai kegiatan kami di sekolah selain membahas naskah. Aku juga banyak bertanya tentang kegiatan dia yang termasuk padat untuk ukuran seorang anak SMA. Apalagi dia sudah kelas tiga yang harusnya fo
Olokan adalah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan, apalagi bila olokan itu dilakukan padamu tepat di depan seseorang yang entah kenapa tiba-tiba ada dalam pikiranmu. Itu sangat memalukan bukan?. Saat kita mengolok-olok seseorang mungkin kita merasakan sensasi tersendiri, entah itu merasa hebat karna menemukan kekurangan seseorang yang kita olok, merasa senang karna mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitar kita saat mengolok-olok atau bahkan mendapatkan kepuasan tersendiri setelah melampiaskan sesuatu yang terpendam dalam hati kita. Perlu kita sadari bahwa menjadikan seseorang menjadi bahan olokan, itu tidak membuat kita otomatis menjadi seseorang yang sempurna. Bahkan kita secara langsung menampakkan warna atau nilai kita sendiri. Nilai negatif. Tapi aku tidak bisa menyebutkan itu tepat di hadapan orang yang mengolok-olokku, aku hanya berharap bisa membalikkan keadaan agar olokan itu berubah menjadi pujian nantinya.
“Ketua apaan kamu. Kemarin kenapa kami nggak diwarning kalau ada ibu Silaban" bentakku pada Wirja Sitepu, sang ketua kelas. Wirja yang gossip-gossipnya telah menaruh harapan pada Shaniar sejak kelas 1 itu, hanya bisa tersenyum malu-malu yang membuat aku dan Shaniar semakin panas. “Maaf Drew aku nggak bisa berbuat apa-apa. Ibu Silaban sudah kasih kode duluan. Maaf, yah” “Ck! Ah, udah Drew. Kita keluar aja, yuk. Makin emosi yang ada kalau di sini” ucap Shaniar menarik tanganku keluar dari kelas diiringi tatapan tajam siswa perempuan lain yang sedang berkumpul. Mereka adalah fansnya Wirja. Setiap istirahat mereka memang selalu membuntuti Wirja kemana pun dia pergi. Bahkan menunggui di depan toilet sekali pun. Ngeri! Pantas saja Shaniar selalu menghindari Wirja. Siapa yang mau berurusan dengan fans fanatik yang menyeramkan seperti mereka itu. Dulu saat kami masih kelas satu, Wirja pernah menulis nama Shaniar di sampul belakang buku tulisnya dengan namanya di bawah nama Shaniar dan ta
Drew, maaf ya yg tadi siang Aku gk bermaksud ikut ngetawain kok Read. Pesan Shaniar sudah 5 menit ini kubiarkan. Aku masih asyik menikmati pop mie, cemilan malam, sambil mempertimbangkan apakah aku akan memaafkannya atau tidak. Jika aku memaafkannya, apakah dengan gratis atau dengan trakiran bakso kantin selama sebulan penuh. Hahahahaha... Apa aku terlalu kejam terhadap sahabatku itu ya?. Kalau diingat-ingat bagaimana kami bisa bertemu dulu, sepertinya ini memang sedikit terlalu kejam. Kami pertama kali bertemu di acara MOS sekolah. Kami berdua sama-sama terlambat datang di hari pembukaan MOS. Hanya kami berdua. Lalu kami disuruh maju ke depan dan sebagai hukuman, kami harus menirukan bermacam-macam hewan di hadapan dua ratusan siswa baru lainnya sambil diiringi musik. Ternyata dari peristiwa itulah kami menyadari bahwa kami memiliki satu persamaan, sifat “bodo amat” kami. Bedanya aku sedikit lebih tertutup dan dia sangat welcome terhadap siapapun. Sedari awal aku merasa sangat co
Cinta. Bagaimanapun tetaplah cinta. Mau bingung, tidak menduga, tidak terasa, tidak menyadari atau tidak tahu sedikit pun, dia tetaplah cinta. Mau apa kau bila cinta sudah menyentuhmu bahkan berbicara secara langsung tepat ditelinga hatimu yang paling dalam? Tidak ada yang bisa kau dan aku perbuat bukan? Selain menerima rasa itu. Kau ingin menolaknya atau menangkisnya? Hmm....aku rasa itu bukan jalan keluar yang baik. Jadi apa yang harus kita lakukan? Entahlah."Aku jatuh cinta kepada dirinyaSungguh-sungguh cintaOh apa adanyaTak pernah kuraguNamun tetap selalu menungguSung
“Ciee ada yang antusias banget nih mau ketemu ibu Gempal. Aw!” Kujitak kepala Shaniar yang berani-beraninya memfitnah. Aku tidak mau menjadi bahan olok-olokannya ibu Gempal lagi, makanya aku memasukkan buku kedalam tas dengan buru-buru agar waktu tidak terlalu lama berlalu dan tidak akan terlambat. “Sakit Drew...” “Mau ditambah lagi?” aku mengangkat tangan berusaha menjitak kepala Shaniar lagi. Dengan cepat kilat dia menghindar. “Eitt, gak kena hahahha..” “Udah ah, aku buru-buru nih, nanti dimarahi sama ibu Gempal lagi kalau telat. Bye bye Shan Shan” aku melambaikan tanganku padanya sambil berlari keluar kelas menuju ruang ekskul teater. Kemarin ibu Gempal memutuskan latihan drama kali ini dilakukan di ruangan teater saja, agar tidak perlu repot-repot membereskan meja dan kursi kelas. “Semoga hari ini tidak ada olok-olokan lagi. Amin” ucapku pada diri sendiri ketika berada dilorong kelas. “Drewi” sebuah suara dari belakang mema
“Drewi” suara yang tidak asing menyebutkan namaku, ketika sedang menunggu kak Adam digerbang sekolah. Dia meninggalkan ponselnya yang sedang di charger di ruang OSIS. Kak Adam mengajakku pulang bersama setelah dia bertanya aku pulang dengan siapa. Tentu saja pulang sendiri karna Shaniar sudah pulang duluan. Suara yang tidak asing itu kak Dani Megantara. Si tukang olok. Wajahku menoleh kearah lain dengan kesal. “Drew, masih marah ya?” tanyanya. Tak ada jawaban dariku. Dia menggaruk kepalanya sendiri menunggu jawaban. “aku minta maaf ya Drew, untuk yang kemarin dikantin” dia menyodorkan sebuah kotak merah peach berpita biru. Aku menatapnya tidak mengerti. “Ini sebagai permintaan maaf....” aku tidak memperdulikan perkataannya selanjutnya, karena perhatianku langsung terfokus pada si Lesung Pipi yang sedang berdiri jauh diseberang jalan sana, melihat kepada kami tanpa ekspresi lalu membalikkan badannya dan berjalan menjauh. “D