SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA
Memiliki lingkar pertemanan yang sama dengan Hendi, membuatku agak sulit untuk melepaskan diri dari kenangan bersamanya.Sama-sama menjadi pengurus OSIS ketika SMA dan aktif di organisasi kemahasiswaan semasa kuliah. Di mana aku berada pasti akan ada dia, begitulah bertahun-tahun kami lalui.Beruntung, semenjak pernikahannya dengan Nadia, Hendi pelan-pelan senyap dari grup-grup alumni. Aku pun berlahan-lahan menarik diri. Baru belakangan ini saja aku mulai sesekali muncul.Segera aku menghubungi Ricky, mempertanyakan perihal transferan puluhan juta ke rekeningku."Aku sudah bilang, aku bukan makelar, nggak usah dikasih fee segala. Kirim aku no rekening, ya. Aku kirim balik," ucapku pada Ricky."Kak Tiara jangan gitu, dong! Memang sudah seharusnya seperti itu.""Tapi kita tidak pernah punya kesepakaran tentang hal itu," tekanku."Please, jangan ditolak. Kalau Kak Tiara nggakSINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUATak lebih dari sepuluh menit, Obi sudah datang lagi dengan mengendarai mobil. Entah mobil siapa, aku belum sempat bertanya. Dia langsung menggendong Rara ke mobil. Kami bertiga pun mengekorinya.Aku memangku Rara di bangku belakang. Sedangkan Khalif di depan memeluk Syira yang mulai mengantuk."Kita langsung ke IGD aja, ya, Kak." Hanya satu kalimat itu yang terucap dari Obi di sepanjang perjalanan. Aku pun menyetujui, Rara harus secepatnya mendapat pertolongan medis.Setelah memarkir mobil, Obi langsung menggendong Rara ke IGD. Aku mengambil alih Syira dari Khalif dan mengikuti Obi.Setelah menjalani pemeriksaan awal, dokter menyampaikan bahwa Rara harus diopname. Tanpa diminta, Obi langsung ke bagian administrasi dan pendaftaran.Tak berselang lama, dua orang perawat datang menghampiri dan memberitahu kalau Rara akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku dan Khalif mengikuti dua perawat yang m
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA"Proyek Bang Hendi yang di Lampung sedang bermasalah. Dengar-dengar, proyek itu cuma upaya cuci uang dari teman Pak Santo, yang sepupunya Mami Nadia itu. Pengerjaannya sudah dihentikan sejak bulan lalu. Sedang disegel untuk mempermudah penyidikan katanya sih."Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturan Obi. Walau sebenarnya aku kaget juga. Padahal proyek itu bernilai fantastis. Bisa dibilang itulah proyek terbesar yang didapat Hendi selama dia menekuni dunia kontraktor."Katanya, pemiliknya itu seorang wakil rakyat di provinsi. Dia sedang tersandung masalah penyalahgunaan dana hibah atau apalah gitu, nggak paham juga. Mana Bang Hendi udah terlanjur DP-in rumah buat menetap di sana. Lagi pusing banget kayaknya," lanjut Obi menjelaskan. "Kan ada keluarga Nadia. Pasti cepat kelarlah masalahnya," jawabku sekadar menimpali."Boro-boro ngebantu, keluarganya pun lagi banyak masalah. Sekarang lagi hangat-h
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAWajah Hendi juga menampakkan keterkejutan atas pertemuan tidak disengaja ini."Papa mau nengok Rara?" tanya Khalif dengan polosnya."Rara? Rara kenapa?" tanya Hendi kebingungan."Rara lagi sakit. Ayo, Pa, kita ke kamar Rara! Ada di lantai tiga." Khalif langsung menarik tangan Hendi.Kalau Hendi ada di sini, berarti benar yang kulihat tadi adalah Nadia. Aku pun bergegas mengikuti Khalif yang telah berjalan terlebih dahulu."Rara sakit apa?" tanya Hendi padaku ketika kami sudah berada di dalam lift.Rasanya malas untuk menjawab. Untungnya HP-ku berdering sehingga tidak perlu menjawab pertanyaan Hendi."Kamar Rara sebelah sini, Pa." Khalif kembali menjadi pemandu untuk papanya. Sesampai di depan pintu, samar terdengar suara celotehan Syira. Khalif langsung membuka pintu. Di tempat tidurnya, Rara berbaring sambil memeluk boneka beruang yang berukuran lebih besar dari tu
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHari ini Rara sudah diperbolehkan pulang. Hendi katanya mau mengantarkan kami pulang. Namun, sudah hampir setengah jam setelah menyelesaikan administrasi, dia belum juga menampakkan batang hidungnya.Obi yang belum aku beritahu perihal itu, datang tergesa-gesa."Rara udah nunggu lama, ya? Maaf ya tadi Om Obi ketiduran," ucapnya pada Rara dengan wajah menunjukkan rasa bersalah."Rara mau pulang sama Papa, Om," jawab Rara dengan polosnya.Obi melirik padaku seolah meminta kebenaran. Aku jadi tidak enak hati pada Obi. Bisa-bisanya aku lupa bilang sama Obi."Bi, maaf banget. Aku benaran lupa bilang ke kamu," ungkapku penuh penyesalan. "Nyantai aja, Kak. Nggak usah merasa bersalah gitu. Udah mau ke sini Bang Hendinya?" tanya Obi. Tidak ada terlihat raut kekesalan di wajahnya."Sepertinya begitu," jawabku tidak yakin."Ya, udah, kita tunggu aja." Obi pun menyibukkan diri
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPagi tadi Hendi mengirim pesan. Dia mengajakku untuk bertemu. Ada yang ingin dibicarakan, begitu katanya.Jujur, aku lebih nyaman jika tidak lagi berurusan dengan dia. Bukan apa-apa, hanya ingin menghindari masalah. Mengingat Nadia dan saudara-saudaranya yang sangat hobi mengangkat hal-hal sepele menjadi besar dan ujung-ujungnya memojokkan aku. Padahal aku tidak pernah mengusik hidup mereka. Dengan hidupku sendiri saja aku sudah keteteran. Boro-boro ikut campur urusan orang lain.Aku memilih untuk mengabaikan. Selain yang berkaitan dengan anak-anak, tidak ada yang perlu dibicarakan. Dan sekarang ini semua hal tentang anak-anak tidak ada permasalahan apapun. Bisa kukendalikan sejauh ini walaupun nafkah dari Hendi sudah tidak pernah lagi disinggung-singgungnya.Yang penting aku sudah mengingatkan, bahkan berkali-kali. Dia memang sedang tidak sanggup atau sengaja tidak menunaikannya, biarlah menjadi tanggungjawab
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAWaktu terus bergulir tanpa sedetik pun menjeda. Tak peduli seberapa besar atau kecil kesiapan kita untuk menjalaninya.Siap atau pun tidak sama sekali, suka atau tidak suka, nyatanya manusia hanyalah wayang yang harus mengikuti alur cerita dari Sang Pemilik skenario kehidupan.Dua tahun sudah sejak aku resmi berpisah dengan Hendi. Pahit manisnya menjalani peran sebagai orang tua tunggal silih berganti kunikmati. Jatuh, bangkit. Terjatuh lagi, bangkit lagi. Tentunya dengan topangan orang-orang terdekat yang senantiasa menguatkan.Pertemuan terakhirku dengan papanya anak-anak adalah ketika di kantor notaris. Tatkala harus menandatangani dokumen jual beli tanah yang masih atas nama kami berdua.Kabar dia dengan kehidupan barunya tidak lagi ingin kuketahui. Meskipun kabar-kabar angin sering juga singgah, hanya kudengar saja tanpa berminat mencari tahu kebenarannya.Pernah juga ramai diperbinc
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAAku akhirnya mengecek HP untuk menyibukkan diri. Namun, hanya bertahan sesaat. Aku merasa risih karena ada yang memperhatikan dari jarak dekat."Kenapa sih begitu banget ngelihatnya?" Akhirnya aku pun bertanya dengan nada sedikit sewot pada Obi."Aneh aja, tiba-tiba Kak Tiara sebegitu perhatiannya sama aku," jawabnya sambil mengulas senyum."Bukan begitu juga, sih. Aku kepikiran Bu Mai aja.""Ibu? Ibu ngomong apa lagi sama Kak Tiara?""Maksud aku, Bu Mai kan sudah memasuki usia senja dan kamu anak satu -satunya. Bu Mai pasti sangat menginginkan kamu cepat memiliki pasangan hidup, dong. Pengen gendong cucu. Sebagai mana umumnya orang tualah."Obi sudah menatap lurus ke depan. Ekspresinya terlihat serius sekarang."Kak Tiara sendiri gimana? Sudah punya ancang-ancang untuk memiliki pendamping lagi?""Kok malah nanya aku? Kalau aku sih udah jelas. Sudah pe
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUADua minggu yang lalu kami resmi menempati rumah baru yang kubeli dari hasil jerih payahku. Sebuah rumah bergaya modern minimalis di perumahan kelas menengah. Tak jauh dari pusat kota, dekat dengan sekolah dan ruko tempat usahaku.Aku bersyukur sekali atas hasil yang kuperoleh dari beberapa bidang usaha. Sebenarnya bisa saja aku fokus hanya pada dunia usaha tetapi kecintaanku pada dunia pendidikan membuatku tetap bertahan menjadi seorang pengajar. Lagi pula, sekarang aku sudah tidak terlalu kerepotan.Khalif sudah masuk ke pesantren sesuai keinginannya. Rara sekarang bersekolah di SDIT. Sedangkan Syira, dia lebih senang berada di ruko bersama pengasuhnya. Bergabung bersama beberapa orang karyawan yang kupercaya menjadi admin untuk online shop.Hari ini aku berencana untuk bersilaturrahmi ke salah seorang tetangga. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari kediamanku. Hanya rumah satu itu yang belum kusambangi