Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
"Bodo amat sama komentar anda ya, yang suka nyelonong aja kerjaannya di wall orang. Yang jelas sekarang, saya sangat bahagia sama kehidupan saya. Yang jelas, di sini antara saya dan pasangan saya saat ini, nggak ada istilah dipaksa atau pemaksaan ya. Jodoh, maut, rezeki Tuhan yang ngatur bukan anda! soal hati nggak bisa dipaksakan dan nggak ada yang bisa ikut campur ya! Jadi, buat anda jadi manusia nggak usah sok suci ... jatuhnya kamu MUNAFIK!!! Paham...?" Begitulah sebuah status yang terpampang di beranda ketika pagi ini aku membuka salah satu aplikasi yang populer di negeri ini. Diposting semalam dengan menandai sepuluh orang. Salah satunya adalah suamiku. Postingan itu sudah disukai oleh hampir lima puluh orang dan komentar juga mendekati angka seratus. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat semua itu. Aku memang tidak berteman dengan pemilik akun tersebut karena dia menandai orang-orang yang berteman denganku otomatis mampir juga
Aku segera masuk. Takut kalau tiba-tiba Syira terbangun. Ternyata bungsuku yang belum genap berusia dua bulan itu masih tertidur pulas.Aku pun melanjutkan aktivitas beberes rumah yang tadi masih terbengkalai. Kemudian menyiapkan perlengkapan untuk mandi Syira. Setelah semua beres aku kembali ke kamar. Syira masih pulas tidurnya. Tentu saja, semalam dia sering terbangun.Kupandangi wajah mungil Syira. Persis wajah papanya. Hidung, mata, bibir, serta garis wajah seakan dia adalah papanya versi mini. Sayang, walaupun ia terlahir sebagai fotocopian papanya tetapi dia tidak akan mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sempurna dari orang tua laki-lakinya itu.Aku tersenyum pilu memandang wajah tanpa dosa itu. Sedih? Pasti! Apakah aku menangis? Tidak akan lagi! Air mataku sudah kering. Kalau pun masih ada, hanya ibarat sumur dangkal kala musim kemarau. Menyisakan kerak-kerak air di dasarnya.Aku sudah pernah ada pada titik terendah. Di
[Assalamualaikum, Tiara.][Mohon maaf sebelumnya, saya cuma mau minta sama kamu supaya tidak menanggapi postingan yang dibuat Nadia.][Jangan sampai ribut-ribut di sosmed. Nanti kita juga yang malu.]Aku mengernyit. Pesan lewat inbox itu dikirim oleh Mbak Rani, sepupunya Nadia. Menurut aku, dari sekian puluh orang keluarga besar Nadia, hanya Mbak Rani yang rada 'waras'.Kuketik balasan dengan sedikit kesal.[Kasih tahu hal ini ke saudaranya, Mbak. Jangan ke saya. Saya nggak pernah nyinggung-nyinggung dia. Dia aja yang heboh sendiri.]Tak berselang lama, muncul balasan dari Mbak Rani.[Kamu jangan ladenin, ya, Ra. Paling tidak kamu bisa lebih bersikap dewasa. Kalau ada kesalahpahaman antara kalian, selesaikan saja secara langsung.]Aku menarik napas panjang, benar-benar bikin kesal aja. Malas menaggapinya berlama-lama. Aku pun mengirimkan kata pamungkas.[Saya rasa Mbak bisa lihat apa yang terjadi. Yan
"Pagi-pagi dimarahin suami. Emang enak? Makanya jangan sok suci jadi orang. Lambe ma jari dijaga. Nggak usah lebay, nyari-nyari perhatian di sosmed dengan status-status tertindas. Kampungan!"Aku mengernyit membaca postingan tersebut. Seperti biasa, menandai beberapa orang, entah itu saudara atau pun teman-teman dekatnya. Namun, Hendi tidak ditandai lagi kali ini.Diposting beberapa jam yang lalu. Sudah ada puluhan komentar dan like. Aku hendak membuka kolom komentar tetapi harus kutahan dulu karena Khalif muncul dari dalam."Ma, Kakak mau ngaji dulu. Sekalian ngajak Rara ya, Ma. Kan nanti pulangnya mau mampir ke rumah Nekyang.""Kapan Nekyang nyuruh ke sana?" tanyaku penasaran karena seingatku Ibu mertua tidak ada memberitahu apa-apa."Tadi pulang sekolah sama Om Obi diajak lewat di jalan dekat rumah Nekyang. Terus ketemu dan disuruh ke sana lagi sama Nekyang," terang Khalif."Ya, udah. Kakak jagain Rara, ya." &nbs
"Apa-apa serba dipamerkan. Di mana-mana, kalau OKB memang norak! Dasar kampungan!"Begitulah kalimat yang diposting Nadia. Kali ini aku tidak berminat lagi untuk membaca komentar-komentar yang sudah berjumlah puluhan itu.Itu saja sudah cukup membuatku tertawa bahagia. Andai saja tidak sedang ada anak-anak di rumah, ingin rasanya aku tertawa terpingkal-pingkal untuk mengekspresikan rasa senang di hatiku ini. Ah, sereceh itu kebahagiaanku.Bagaimana tidak, Nadia yang mengakunya selebritas, sosialita, dan keluarga kelas atas tetapi tiada hari tanpa kepo dengan sosial mediaku. Bahkan sampai-sampai kebakaran jenggot hanya karena postingan foto.Aku rasa, semakin sering aku posting tentang kebahagiaan akan semakin cepat juga dia jantungan. Bibirku jadi tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Lucu juga kadang kehidupan ini. Dan, secara spontan beberapa ide telah bergelayut di otakku. Tunggu saja waktu eksekusinya!***
"Penghasilan nggak seberapa, gaya sok sosialita. Semua orang juga tahu kali aslinya kayak gimana. Ndeso! Orang kaya benaran yang liburannya ke luar negeri mah santuy aja. Lah ini, baru selangkah aja keluar dari kandang udah belagu. Katak baru keluar dari tempurung. Malu-maluin banget! Norak!"Kalimat panjang itu adalah isi dari sebuah foto tangkapan layar yang dikirim oleh Mia, sepupuku dari pihak bapak. Setelah itu menyusul beberapa foto tangkapan layar yang memuat komentar-komentar atas postingan tersebut.Kali ini aku benar-benar geram. Kalau biasanya hanya sindiran-sindiran tak bertuan, tetapi tidak untuk kali ini. Di kolom komentar jelas-jelas namaku tertera di sana. Mereka kembali mengusik masa lalu dan membawa-bawa orang tua."Tampangnya sih dibuat-buat sealim mungkin tapi kenyataannya .... tau ndirilah. Nikah kayak dikejar setan, balap banget.""Gimana nggak balap, udah kegatelan. Takut nggak laku. Ya, dipepet terus.""Tampang
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASesampainya di rumah ibu, aku langsung menemui anak-anak yang sedang berada di ruang tengah. Khalif dan Rara sedang asyik mengajak Syira bermain cilukba.Aku pun memberi ASI pada Syira hingga bayi cantikku itu tertidur. Sementara Khalif mengajak Rara untuk mewarnai.Kulepas lelah dengan bersandar pada sofa panjang yang persis menghadap ke jendela. Cuaca hari ini cukup bersahabat. Langit yang berawan ditambah angin bertiup sepoi-sepoi yang membuat daun palem melambai berirama.Kuedarkan pandangan dari ujung hingga ke ujung halaman samping yang menghijau. Kendati telah berusaha mengalihkan perhatian tetap saja kejadian beberapa saat yang lalu tidak mudah untuk kikis.Aku serasa baru saja kembali seperti diriku yang dulu. Seorang aktivis kampus, terbiasa berbicara lantang dalam berdebat dan menyelesaikan masalah dengan cara sportif.Andai sedari awal aku sudah tegas mungkin Nadia tidak