"Apa-apa serba dipamerkan. Di mana-mana, kalau OKB memang norak! Dasar kampungan!"
Begitulah kalimat yang diposting Nadia. Kali ini aku tidak berminat lagi untuk membaca komentar-komentar yang sudah berjumlah puluhan itu.
Itu saja sudah cukup membuatku tertawa bahagia. Andai saja tidak sedang ada anak-anak di rumah, ingin rasanya aku tertawa terpingkal-pingkal untuk mengekspresikan rasa senang di hatiku ini. Ah, sereceh itu kebahagiaanku.
Bagaimana tidak, Nadia yang mengakunya selebritas, sosialita, dan keluarga kelas atas tetapi tiada hari tanpa kepo dengan sosial mediaku. Bahkan sampai-sampai kebakaran jenggot hanya karena postingan foto.
Aku rasa, semakin sering aku posting tentang kebahagiaan akan semakin cepat juga dia jantungan. Bibirku jadi tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Lucu juga kadang kehidupan ini. Dan, secara spontan beberapa ide telah bergelayut di otakku. Tunggu saja waktu eksekusinya!
***
"Beli stroller di mana?" tanya Hendi ketika dia masuk ke ruang tengah. Stroller dari Hakim masih tersandar di pojok ruangan.
"Kado dari teman di sekolah," jawabku sambil terus menimang-nimang Syira.
"Tumben beli tas mahal?" Tas kulit berwarna hitam pun masih ditaruh di atas stroller. Beberapa saat yang lalu Rara ingin mencoba memakainya dan belum sempat di masukkan kembali ke dalam box-nya.
"Toko milik Hakim lagi flash sale," jawabku spontan. Setelah itu aku bingung sendiri atas jawaban yang tidak nyambung itu.
"Hakim yang dulu kandidat calon ketua BEM fakultas?"
Aku menjawabnya dengan anggukan.
"Toko yang di samping kantor pos itu punya dia?"
"Iya, itu salah satunya."
"Aku pernah ketemu dia di sana waktu ...." Hendi tidak meneruskan kalimatnya. Tetapi bisa kutebak, paling kelanjutannya waktu dia menemani Nadia ke sana.
Aku melirik pada Hendi dan dia mengalihkan pandangan. Selama beberapa minggu terakhir, baru kali ini kami berbincang dengan suasana yang agak dingin dan santai.
Mungkin Nadia lagi jinak, pikirku. Sehingga dia tidak bicara macam-macam sama Hendi. Tidak seperti kemarin-kemarin, setiap pulang ke rumah ini ada saja kesalahanku di matanya.
"Khalif pulang ngaji jam segini, kan? Aku mau jemput dulu," ujar Hendi setelah kami hanya saling diam beberapa saat.
"Iya, sebentar lagi. Tadi Rara katanya mau makan sama Papa. Temanin dulu aja," saranku.
Di saat yang bersamaan Rara keluar dari kamar yang biasa digunakan untuk tempatnya bermain.
"Papa, papa ngapain di rumah Tante Nadia?" tanya gadis kecil itu sambil naik ke pelukan papanya.
Aku dan Hendi seketika saling berpandangan. Kemudian tatapanku beralih pada Rara.
"Tadi pagi Bunga bilang, dia ke rumah Tante Nadia semalam terus di sana ada Papanya Rara katanya," celoteh gadis itu dengan polosnya.
Bunga adalah teman Rara di TK. Rumahnya hanya berselang beberapa rumah dengan Nadia.
Aku bingung harus menjelaskan apa. Selama ini, yang Rara tahu kalau papanya tidak ada di rumah, berarti sedang bekerja di tempat yang jauh. Karena itu juga kami menghindari melewati jalan dekat rumah Nadia.
Kalau Khalif, perlahan kuberi pengertian. Aku tidak ingin dia terluka karena mendapat informasi dengan cara yang salah dari lingkungan luar.
Sebelum menandatangani surat persetujuan, aku pernah meminta pada Hendi agar dia dan Nadia tinggal di daerah yang agak jauh dari kami. Tujuannya untuk menjaga perasaan anak-anak. Agar tidak terjadi seperti sekarang ini. Rara semalaman menunggu papanya pulang. Aku bilang papanya sedang ada di kota lain. Ternyata, dia dapat cerita yang berbeda dari temannya.
"Rara katanya mau makan sama Papa. Jadi? Mau makan dulu apa jemput Kakak Khalif dulu?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Hmm ... gimana, ya? Ikut jemput Kakak dulu, deh. Sekalian beli es krim ya, Pa?" pintanya dengan manja.
Hendi mengacungkan jempol. Rara bersorak gembira. Setelah itu mereka pun beranjak menjemput Khalif.
***
Hari ini aku berangkat ke sekolah. Walaupun belum habis masa cuti, tetapi ada rapat penting yang harus aku ikuti. Syira kutitipkan di rumah ibu.
Khalif dan Rara diantar ke sekolah oleh papanya dan nanti pulangnya dijemput Obi lalu dititipkan juga di rumah ibu.
Setelah rapat selesai, Bapak Kepala Sekolah mengajak kami untuk makan siang di sebuah resto yang baru saja grand opening. Usut punya usut, ternyata resto itu adalah hasil kerja sama Bapak Kepala sekolah dengan Hakim. Kami semua diajak ke sana dalam rangka syukuran.
Selesai makan, kami pun tidak melewatkan sesi berfoto ria. Apalagi di sana terdapat beberapa spot yang sangat instagramable.
"Tiara, tolong amankan dulu tas Bunda. Bunda mau ke toilet!" seru Bu Aima. Beliau merupakan salah seorang guru senior yang sangat baik. Kami memanggilnya Bunda. Beliau adalah penyuka barang-barang bermerk. Bahkan tasnya pun ada yang berharga puluhan juta. Dan tas yang dibawanya kali ini dibeli dengan harga dua belas juta. Baru kemarin dibelinya di toko Hakim. Konon katanya, beliau bisa tajir melintir lewat jalur suami. Suaminya punya perkebunan sawit berhektar-hektar di pulau Kalimantan.
Aku pun ikut berfoto sambil menenteng tas mewah milik bunda. Sedangkan aku sendiri hanya membawa tas kecil yang hanya muat HP dan dompet.
Selesai sesi foto, HP-ku tak berhenti bergetar. Puluhan foto dikirim ke grup sekolah dari beberapa orang yang tadi menjadi fotografer dadakan. Aku pun antusias melihatnya satu per satu. Cukup banyak foto aku di sana. Bahkan ada yang candid saat aku tengah menenteng tas merah marun milik bunda. Ternyata warna tas bunda sinkron dengan kerudung yang kupakai.
Kupilih beberapa foto dengan latar yang berbeda-beda. Hanya satu foto yang sendiri, selebihnya bersama-sama. Tidak yang terlalu ramai juga, paling yang terdiri dari empat sampai lima orang saja. Kemudian kuposting di media sosial. Tidak lupa juga mencantumkan lokasi tempat kami berada.
"Bahagianya bisa berkumpul dengan orang-orang baik."
Setelah mengetikkan kalimat tersebut sebagai keterangan, aku pun mengunggahnya.
Bibirku melengkungkan senyum. Kurasa sesekali membahagiakan diri sendiri tidak ada salahnya. Siapa lagi yang akan peduli pada diri kita kalau bukan kita sendiri. Iya, kan?
***
"Penghasilan nggak seberapa, gaya sok sosialita. Semua orang juga tahu kali aslinya kayak gimana. Ndeso! Orang kaya benaran yang liburannya ke luar negeri mah santuy aja. Lah ini, baru selangkah aja keluar dari kandang udah belagu. Katak baru keluar dari tempurung. Malu-maluin banget! Norak!"Kalimat panjang itu adalah isi dari sebuah foto tangkapan layar yang dikirim oleh Mia, sepupuku dari pihak bapak. Setelah itu menyusul beberapa foto tangkapan layar yang memuat komentar-komentar atas postingan tersebut.Kali ini aku benar-benar geram. Kalau biasanya hanya sindiran-sindiran tak bertuan, tetapi tidak untuk kali ini. Di kolom komentar jelas-jelas namaku tertera di sana. Mereka kembali mengusik masa lalu dan membawa-bawa orang tua."Tampangnya sih dibuat-buat sealim mungkin tapi kenyataannya .... tau ndirilah. Nikah kayak dikejar setan, balap banget.""Gimana nggak balap, udah kegatelan. Takut nggak laku. Ya, dipepet terus.""Tampang
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASesampainya di rumah ibu, aku langsung menemui anak-anak yang sedang berada di ruang tengah. Khalif dan Rara sedang asyik mengajak Syira bermain cilukba.Aku pun memberi ASI pada Syira hingga bayi cantikku itu tertidur. Sementara Khalif mengajak Rara untuk mewarnai.Kulepas lelah dengan bersandar pada sofa panjang yang persis menghadap ke jendela. Cuaca hari ini cukup bersahabat. Langit yang berawan ditambah angin bertiup sepoi-sepoi yang membuat daun palem melambai berirama.Kuedarkan pandangan dari ujung hingga ke ujung halaman samping yang menghijau. Kendati telah berusaha mengalihkan perhatian tetap saja kejadian beberapa saat yang lalu tidak mudah untuk kikis.Aku serasa baru saja kembali seperti diriku yang dulu. Seorang aktivis kampus, terbiasa berbicara lantang dalam berdebat dan menyelesaikan masalah dengan cara sportif.Andai sedari awal aku sudah tegas mungkin Nadia tidak
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAApa yang sudah dia yakini itu pasti akan dilakukannya. Begitulah watak Hendi.Sebelumnya sifat ini menjadi sisi baiknya, berjuang sampai batas kemampuan untuk apa yang ingin didapatkan. Namun, sejak kehadiran pihak ketiga semua itu malah menjadi sesuatu yang berimbas buruk buatku.Bisikan-bisikan Nadia sangat cepat merasuki pikiran Hendi. Mungkin karena sikapnya yang cenderung manja membuat Hendi tak kuasa menolak bujukannya.Hari ini, adalah hari ke sepuluh Hendi di Lampung. Sepertinya belum terlihat tanda-tanda dia akan segera pulang. Rara mulai rewel. Inilah waktu terlama baginya tidak berjumpa langsung dengan papanya. Meskipun sudah melakukan video call hampir setiap hari, tetap saja kalau sudah malam dia ribut ingin tidur ditemani papanya.Sedangkan untuk urusan antar jemput anak-anak ke sekolah dan ngaji, sepenuhnya ditangani oleh Obi. Ada rasa tak enak hati karena selalu merepotkannya. Dia mema
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAKaca yang sudah retak tidak akan bisa mulus lagi seperti sedia kala. Sebagus apa pun lem yang digunakan untuk perekatnya, tetap akan menyisakan garis-garis yang bisa mengiriskan luka kapan saja.Begitu pun dengan kami. Hatiku sudah begitu dalam tersakiti. Sementara hatinya sudah terlalu jauh berkelana.Berharap semua akan kembali baik selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa, sama saja seperti mengharapkan daun yang telah gugur untuk kembali ke tangkainya. Sudah jelas merupakan suatu kemustahilan.Kurasa sudah saatnya untuk berpikir lebih realistis. Menggantungkan harap pada seseorang hanya akan berbuah kecewa.Kepastian, meskipun menyakitkan akan jauh lebih baik dari pada keindahan tetapi fatamorgana. Anak-anak yang menjadi alasan utama aku bertahan nyatanya mereka tetap saja tidak mendapatkan haknya secara utuh. Bertumbuh tanpa kehadiran orang tua yang lengkap tentu akan menghadirkan sebuah
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA"Kamu ngeributin apa lagi, sih, Ma?" tanya Hendi dengan nada ketus padaku setibanya ia di rumah.Aku yang tengah menyelesaikan beberapa pekerjaan, menghentikan aktivitas sejenak."Siapa yang ribut?" "Nggak usah pura-pura nggak tahu! Ngapain harus menghina-hina Nadia di rumah Ibu?"Rupanya hasil pengaduan istri barunya yang membuat Hendi seperti cacing kepanasan begitu."Aku cuma membalas perkataan dia aja. Kalau dia merasa terhina, itu masalahnya sendiri. Nggak ada urusan sama aku.""Nggak usah bersilat lidah begitu! Kamu bukan hanya menghina dia tetapi juga sudah mempermalukan dia depan keluargaku.""Ya, baguslah kalau masih punya rasa malu," jawabku santai."Tiara! Kamu benar-benar keterlaluan, ya!" teriak Hendi padaku. Agak ngeri juga melihat dia tengah dikuasai amarah begitu. Aku balas menatapnya dengan tatapan tajam."Kamu jalani saja peran kamu, dia pun sesuai posisiny
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPart 11(POV Nadia)Menjadi pihak ke tiga dari sebuah hubungan pernikahan yang resmi, tentu tidak ada yang menginginkannya, begitu pun dengan aku. Namun, ketika jalan itu terbentang di depan mata dan hati pun berbisik untuk menjalaninya, maka kulalui itu.Tiara dan Hendi bukanlah sosok yang asing bagiku. Sedari kecil kami sudah mengenal satu sama lain walaupun tidak berteman dekat. Bertahun-tahun kami berada di almamater yang sama.Tiara anak dari keluarga biasa. Sangat biasa, tidak ada apa-apanya dibanding aku. Akan tetapi, entah kenapa segala kebaikan selalu berpihak padanya.Secara fisik pun aku jauh lebih unggul dari dia. Aku berkulit putih, bersih, dan terawat ditopang dengan baju-baju dengan harga fantastis membuatku semakin menonjol di lingkunganku. Namun, tetap saja Tiara yang menjadi pusat perhatian.Semasa sekolah, dia selalu menjadi juara kelas dan mewakili sekolah untuk mengikuti be
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPart 12(POV Hendi)Berada di antara dua wanita, tidak pernah terniat dan terpikirkan olehku selama ini. Namun, telah nyata kujalani.Tiara dan Nadia adalah dua sosok yang sulit dicari kesamaannya. Bahkan bisa dibilang sangat bertolak belakang. Tiara dengan segala kelebihannya. Dia pintar, penuh semangat, berpikir dewasa, dan merupakan sosok yang tidak pernah neko-neko. Bertahun-tahun aku melalui kebersamaan dengannya, hampir separuh umurku.Sukar memang untuk menemukan cela pada diri Tiara. Apalagi semenjak kami menikah dan punya anak, dia menjadi pribadi yang selalu berusaha menjadi lebih baik.Dia tanpa keluh kesah menemaniku memulai kehidupan dari titik terbawah. Tertatih-tatih berjuang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Menikah usia kami yang masih tergolong muda membuat kami harus lebih keras lagi berusaha apalagi kami bukanlah dari keluarga yang berada. Bertemu dengan N
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAMenyandang status janda bukanlah perkara yang mudah. Bukan hanya sebatas menjalankan peran ganda tetapi juga beban mental.Entah kenapa sebagian besar masyarakat selalu punya stigma negatif status tersebut. Padahal mereka tidak tahu dengan pasti apa yang melatar belakangi seseorang bisa berada pada posisi itu."Makanya kalau mau nikah itu jangan buru-buru. Benarin dulu niat, benar-benar untuk ibadah bukan nafsu semata!""Jadi perempuan itu yang manut coba. Harus bisa nyenengin suami biar nggak berpaling pada wanita lain!"Memang, jika melihat dari sudut yang salah dan memang niat untuk menyalahkan akan ada saja celahnya. Bahkan bernapas pun bisa menjadi kesalahan. Apalagi jika yang memberi tanggapan adalah pihak yang berseberangan.Yang bersimpati dan memberi dukungan pun banyak. Orang-orang terdekat pun tiada henti menguatkan. "Jalani semua ini dengan ikhlas ya, Nak. Takdir Allah se