“Selamat pagi Sayang,” ucap El tersenyum cerah sembari memberikan segelas susu hangat.“Astaga, aku tertidur di sini?” tunjuk Livy melihat sekeliling ruangan, langsung mendapat jawaban anggukan kepala dari El.Semalam, niatnya memang pura-pura tidur, ternyata kebablasan karena percakapan El dan asisten pribadi berlangsung lama. Alhasil Livy kelelahan menunggu, padahal hatinya meronta ingin mengkonfirmasi informasi.“Kakak juga tidur di sini?” Livy melirik ke bawah, di mana kasur lipat tergeletak di samping sofa. “Kenapa tidak membangunkan aku? Kita bisa pindah ke kamar, maaf ya Kak, jadi tidur di lantai,” sesal ibu muda.El terkekeh-kekeh melihat wajah penuh penyesalan sang istri, suaranya juga terdengar lucu di telinga. Semalam, ia enggan mengganggu tidur berkualitas bidadarinya. Dikarenakan belum bisa menggendong Livy, El memiliki ide cemerlang, memerintah maid meletakkan kasur lipat—sesekali tidur di ruang kerja bukan masalah.“Jangan ketawa Kak! Aku merasa bersalah,” ketus Livy kar
“Tidak apa-apa, aku yakin kamu bisa.” El menggenggam erat kedua tangan Livy.“Apa aku boleh sekolah lagi, Kak? Mungkin setelah El sedikit besar, kasihan kalau sekarang sering ditinggal.”“Apa pun untukmu, kapan kamu siap, bilang padaku, biar aku cari dan daftarkan masuk universitas.”Saat ini keduanya dalam perjalanan menuju rumah salah satu sepupu jauh Livy. Besar harapan El dan Livy pada pria yang usianya jauh di atas El. Menurut sumber informasi, sepupu jauh itu sama sekali tidak mendukung Sonia, sebab perselisihan diantara mereka sempat memanas. Sonia sengaja menggulingkan orang kepercayaan sepupu Livy demi menjabat sebagai pimpinan utama.Namun, sampai di rumah mewah, El dan Livy menelan kekecewaan. Lantaran sepupu itu sedang pergi ke luar negeri menjalani pengobatan penyakitnya. Alhasil, pasangan ini bergegas pulang ke mansion.“Di mana Al?” tanya Livy melihat babysitter baru saja memasukan ponsel ke dalam saku.“Tuan Muda tidur, sebaiknya Nyonya jangan mengganggu,” jawab pengas
“Livy?!”Seketika El dan Livy menoleh ke belakang, tidak lupa Alessandro mengikuti gerakan kedua orang tuanya. Pasangan ini terkejut melihat dua orang yang mereka kenali, salah satunya pria yang berdiri tegak sembari menggengam tangan wanita itu.“Dokter, kenapa ada di sini?” tanya Livy sembari memandang lekat wajah kikuk Penelope.“Oh itu, aku sedang jalan-jalan sama seperti kamu. Boleh ikut bergabung?” Penelope mendekat dan duduk di sisi Livy. “Selamat Sore Tuan Muda Torres,” sapa dokter cantik.Dokter kandungan itu segera mendekatkan bibir tepat ke telinga Livy, entah apa yang dibisikan karena ibu muda hanya mengangguk. Kemudian, Al berpindah dari gendongan ibunya ke atas pangkuan Penelope.“Bagaimana kalau kita makan malam bersama? Pasti lebih seru,” tawar Penelope memberi isyarat dengan sebelah mata.“Iya boleh, aku—“El menyela ucapan istrinya, pria ini menggeram serta mengepalkan tangan. “Tidak boleh! Kamu datang bersama pasanganmu, kenapa mengganggu kami?!”Tidak ingin acara k
“Karena pria yang pernah sekali bersel—“ Seketika suara Livy menghilang berganti dengan decapan khas pertukaran saliva.El mengetahui apa yang hendak keluar dari bibir candunya. Sebelum itu terjadi, ia lebih dulu mencecap rasa manis, membuat wanita ini melayang hingga melupakan rasa cemburunya.Bukan tidak senang, hanya saja El enggan membuang waktu dengan bertengkar. Lagi pula ia menjaga hati hanya untuk istri tercinta.“Kamu cinta pertamaku Livy, tidak ada yang lain, bukan wanita lain, hum?” ucap El usai melepas tautan bibir.“Tapi bagaimana kalau dia berniat menggoda Kakak?” Paras ayu Livy menekuk, sungguh ia tidak ingin kehilangan El. Bayang-bayang skandal masa lalu terpatri kuat, bagaimana hubungan keduanya dimulai karena sebuah kesalahan tak sengaja.El merangkum pipi sang istri, menatap lekat bola mata coklat menentramkan jiwa. “Kalau begitu pecat saja dia, apa susahnya? Kita cari yang baru, mudah bukan?” Sejenak ruangan ini sepi, Livy tidak menjawab pertanyaan El. Ia masih mem
“Apa? Kenapa mereka membatalkan janji seenaknya saja?” geram El menggebrak meja, sampai-sampai beberapa benda tergeser dari tempatnya.“Maaf Tuan, seharusnya tidak begini. Tapi saya baru mengetahui lima menit lalu,” sesal Alonso.Untuk pertama kalinya El merasa dipermainkan oleh klien, padahal mereka telah berkerja sama belasan tahun. Presdir tampan ini mengatupkan rahang, memejamkan mata, hendak berdiri dari kursi kebesaran.Namun, dering pada ponsel Alonso mengalihkan atensi El. Semula pria ini tampak acuh tak acuh karena semua pekerjaan pasti melalui tangan kanannya.Sayang, air muka Alonso nampak ganjil, bahkan asisten ini berani mencegah tuannya keluar ruangan. Tentu saja El menatap curiga pada pria paruh baya.“Tuan? Sopir bilang, Nyonya Livy tidak jadi pergi ke yayasan. Kepala pengawal juga mengatakan hal serupa,” tandas Alonso sembari menyerahkan beberapa pesan teks dari anak buahnya.“Apa?” Kening El mengernyit, lalu bermonolog, “Tadi, dia mengirim swafoto bersama El! Sekaran
“Direncanakan dengan baik, huh? Picik, berbisa dan mencari gara-gara denganku,” desis El mengepalkan tangan di atas paha. Pria ini tidak sabar segera tiba di lokasi, perasaannya tak tenang sebab para penjahat itu berada di pelabuhan. Benar-benar pemilihan tempat yang sangat bagus, El tidak menyangka rumah tangganya masih dihantui liku perselisihan masa lalu.“Berapa lama lagi kita sampai?” tanyanya dengan suara berat.“Sepuluh menit lagi Tuan. Sekitar tiga blok dari sini, saya sudah mengerahkan anak buah berjaga di sana. Tadi, mereka dihadang oleh mobil van hitam.” Lagi, Alonso menarik napas panjang, ia pun kembali berkata, “Pengasuh itu telah mempersiapkan semuanya.”“Brengsek! Aku tidak akan mengampuninya. Sekalipun dia menangis darah,” geram El dengan mata berkilat. “Lebih cepat lagi! Ngebut saja!” teriak pria dlengkapi gips pada kaki ini.Bukan hanya sopir yeng tersentak, tetapi Alonso juga. Pasalnya sangat jarang bahkan hampir tidak pernah El memerintah berteriak seperti itu. Kal
“Al, Alessandro … Al, maafkan Mommy,” gumam Livy dalam tidurnya.Kepala wanita ini bergerak ke kiri dan kanan, keringat bercucuran dari pori-pori, ia bermimpi putra kecilnya diambil oleh pasangan suami istri. Livy sesenggukkan, sebelah tangan terpasang infus berusaha menggapai bayinya.“Alessandro!” pekik ibu muda ini tertahan di tenggorokan.Ia mengerjap merasakan berbaring di atas kasur empuk, tetapi aroma obat menandakan di mana keberadaannya saat ini. Sekarang, Livy takut melebarkan mata, berharap jeadian buruk itu hanyaf mimpi dan Al tetap bersamanya.Perlahan, Livy melebarkan kelopak, plafon pemandangan pertama yang dilihat netra coklatnya. Ia mengedip, lelehan bening kembali terjatuh membasahi kulit.“Ini bukan mimpi?” tanyanya sembari mnegedarkan pandangan ke sudut kamar rawat. Ia tersenyum pilu, ketika melirik infus tertanam pada punggung tangan. Selain itu pergelangan tangannya membengkak, warna biru keunguan tercetak jelas.“Livy? Kamu sudah bangun? Terima kasih Tuhan, Mom
“Nyonya, dengarkan aku! Anak dalam gendongan Anda, dia putraku!” geram El menahan amarah.Bukan tanpa alasan, sebab wanita itu tampak tidak normal, atau mungkin hanya perasaan El—seakan memiliki gangguan mental.Sekarang El dan Ed dikelilingi oleh penjaga villa yang berdatangan—melindungi sang nyonya. Sebagian dari mereka mengacungkan benda berbahan logam, digunakan untuk melontarkan proyektil melalui laras ke arah sasaran.Seketika kakak beradik ini terdiam, mereka mengangkat tangan, sembari fokus pada wanita di depan. Teriakan itu mampu mendatangkan penjaga lain dari ruang istirahat.“Bukan! Dia anakku, bukan anakmu! Aku mendapatkannya hari ini, jadi … jangan sembarangan mengaku!” kilah wanita itu mendekap Al sangat erat hingga bayi mungil merasa kesakitan.“Nyonya, aku mohon. Lepaskan anakku, mereka sengaja menjualnya pada Anda,” tutur El seraya menggeser maju kedua tungkai.Tiba-tiba suara bariton menggema dari ruangan lain. Derap langkah kian mendekat ke area ini, ekor mata El mel