“Direncanakan dengan baik, huh? Picik, berbisa dan mencari gara-gara denganku,” desis El mengepalkan tangan di atas paha. Pria ini tidak sabar segera tiba di lokasi, perasaannya tak tenang sebab para penjahat itu berada di pelabuhan. Benar-benar pemilihan tempat yang sangat bagus, El tidak menyangka rumah tangganya masih dihantui liku perselisihan masa lalu.“Berapa lama lagi kita sampai?” tanyanya dengan suara berat.“Sepuluh menit lagi Tuan. Sekitar tiga blok dari sini, saya sudah mengerahkan anak buah berjaga di sana. Tadi, mereka dihadang oleh mobil van hitam.” Lagi, Alonso menarik napas panjang, ia pun kembali berkata, “Pengasuh itu telah mempersiapkan semuanya.”“Brengsek! Aku tidak akan mengampuninya. Sekalipun dia menangis darah,” geram El dengan mata berkilat. “Lebih cepat lagi! Ngebut saja!” teriak pria dlengkapi gips pada kaki ini.Bukan hanya sopir yeng tersentak, tetapi Alonso juga. Pasalnya sangat jarang bahkan hampir tidak pernah El memerintah berteriak seperti itu. Kal
“Al, Alessandro … Al, maafkan Mommy,” gumam Livy dalam tidurnya.Kepala wanita ini bergerak ke kiri dan kanan, keringat bercucuran dari pori-pori, ia bermimpi putra kecilnya diambil oleh pasangan suami istri. Livy sesenggukkan, sebelah tangan terpasang infus berusaha menggapai bayinya.“Alessandro!” pekik ibu muda ini tertahan di tenggorokan.Ia mengerjap merasakan berbaring di atas kasur empuk, tetapi aroma obat menandakan di mana keberadaannya saat ini. Sekarang, Livy takut melebarkan mata, berharap jeadian buruk itu hanyaf mimpi dan Al tetap bersamanya.Perlahan, Livy melebarkan kelopak, plafon pemandangan pertama yang dilihat netra coklatnya. Ia mengedip, lelehan bening kembali terjatuh membasahi kulit.“Ini bukan mimpi?” tanyanya sembari mnegedarkan pandangan ke sudut kamar rawat. Ia tersenyum pilu, ketika melirik infus tertanam pada punggung tangan. Selain itu pergelangan tangannya membengkak, warna biru keunguan tercetak jelas.“Livy? Kamu sudah bangun? Terima kasih Tuhan, Mom
“Nyonya, dengarkan aku! Anak dalam gendongan Anda, dia putraku!” geram El menahan amarah.Bukan tanpa alasan, sebab wanita itu tampak tidak normal, atau mungkin hanya perasaan El—seakan memiliki gangguan mental.Sekarang El dan Ed dikelilingi oleh penjaga villa yang berdatangan—melindungi sang nyonya. Sebagian dari mereka mengacungkan benda berbahan logam, digunakan untuk melontarkan proyektil melalui laras ke arah sasaran.Seketika kakak beradik ini terdiam, mereka mengangkat tangan, sembari fokus pada wanita di depan. Teriakan itu mampu mendatangkan penjaga lain dari ruang istirahat.“Bukan! Dia anakku, bukan anakmu! Aku mendapatkannya hari ini, jadi … jangan sembarangan mengaku!” kilah wanita itu mendekap Al sangat erat hingga bayi mungil merasa kesakitan.“Nyonya, aku mohon. Lepaskan anakku, mereka sengaja menjualnya pada Anda,” tutur El seraya menggeser maju kedua tungkai.Tiba-tiba suara bariton menggema dari ruangan lain. Derap langkah kian mendekat ke area ini, ekor mata El mel
“Kenapa bisa begini. Kak, bangun,” lirih Livy, tak sekalipun beranjak dari sisi suaminya.Tampaknya Dewi Fortuna masih menaungi El, tadi beberapa petugas segera datang membantu, membawa pria ini ke ruang pemeriksaan. Bukan hanya itu, karena dilanda cemas, Livy meminta Alonso agar menyatukan kamar mereka. Ia tidak mungkin bolak-balik dari satu kamar ke kamar lain. Kondisi El membuatnya tidak bisa menjauh.“Terima kasih telah menyelamatkan aku dan Al. Kamu … pria terhebat yang pernah aku temui,” gumam wanita berparas ayu seraya menggenggam jemari El. Tetesan hangat pun berjatuhan, membasahi punggung tangan berhias urat. Livy juga menolak saran mertua untuk istirahat di atas ranjang, karena terdapat ruang diantara brankar.“Hu’um, sama-sama Sayang. Akhirnya cita-citaku tercapai,” kelakar El dengan mata tertutup tetapi seringai jahil terukir pada bibirnya.Alis Livy tertaut, ia menajamkan telinga, memastikan pendengarannya masih sehat. “Cita-cita?”“Iya, menjadi superhero, setidaknya ber
“Kak El, pikirkan masalah itu besok lagi. Sekarang Kakak tidur, lihat!” Ar menunjuk tepat pada jam di digital. “Kamu di sini menemaniku, bukan memerintahku! Laporannya harus aku dapatkan Ar!” tegas El lalu memijat pelipis karena merasa tidak masuk akal membaca surel yang dikirim dari Alonso.Akibatnya ia sulit tidur hingga pagi hari, El hanya memandangi laporan serta beberapa bukti pengalihan kepemilikan saham. Ia merutuki kebodohannya karena bergerak lamban dibanding wanita itu, sangat cepat, tak terduga.Bahkan saat dokter dan perawat masuk, El masih duduk di depan laptop. Hanya Eberardo yang terlelap di atas sofa lebar sembari mendengkur halus.“Tuan, siang ini kami akan melakukan prosedur pemeriksaan. Supaya kaki Anda bisa berjalan normal.” Dokter menyingkap selimut, memeriksa gips.“Apa tidak bisa dilakukan sekarang juga? Aku tidak bisa berlama-lama di rumah sakit!”“Tidak bisa Tuan.”El berdecak karena dirinya terhalang oleh keadaan yang menyulitkan. Ia benar-benar ingin menemui
Dilanda rasa penasaran berlebih, Livy tidak dapat menahannya. Sekarang, pelan-pelan Livy mendorong pintu besar dan lebar ini, lalu berjalan mendekati suaminya. Tubuhnya gemetaran, ia tidak sabar mendengar kebenaran itu dari mulut El.Beruntung, ia sempat berpapasan dengan Mom Pamela. Sehingga menitipkan Al sebentar pada Ibu mertua, kebetulan berencana membawa Al ke kamarnya.“Sayang?” El tersentak melihat wanitanya ada di depan mata. “Kamu—“ tunjuk El terhenti karena Livy menganggukkan kepala.“Aku mendengarnya, maaf tidak sengaja,” cicit ibu muda, lalu menatap Ar dan Alonso.El mengerti maksud dari pandangan sang istri, tanpa basi basi, pria ini mengibaskan tangan pada adiknya lalu melirik Alonso.“Baiklah kami permisi,” ujar dua pria berbeda usia itu.Setelah Ar dan Alonso pergi, Livy meletakkan segelas jus di atas meja. Netra coklatnya melirik tab serta kertas yang berserakan. Ia menyipitkan kelopak, karena di layar pipih itu banyak foto mendiang ibunya.“Siapa yang memiliki foto i
“Aku mencarimu ke mana-mana, kata mereka kamu meninggal sesaat setelah dilahirkan.” Wajah Kakek tampak muram diiringi tatapan sendu.“Tidak Kek, itu salah. Ini aku Livy, ada di sini … banyak foto ibu,” lirih Livy, pandangannya mengitari ruangan sempit tak memiliki perabotan, hanya alas karpet tebal.Pemandangan yang sama seperti beberapa hari lalu, ia melihatnya di dalam layar pipih El. Bukan hanya gambar sang ibu, di sini juga ada beberapa foto mendiang neneknya.Bahkan, foto saat perut mendiang ibunya membuncit masih terjaga dengan rapi. Livy berpikir, hanya itu kenang-kenangan kebersamaan diri dengan ibunya.Semua kenangan yang tak bisa dilupakan, tetapi sakit dikenang, ia hanya menjadikannya pembelajaran hidup. Semula Livy memang marah pada kedua orang tuanya, tetapi ia memaksa diri untuk mengerti keadaan pada masa itu.Di saat Livy sibuk memandangi foto, El mulai berucap, “Kakek, sebenarnya kami memiliki tujuan lain, aku harap berkenan membantu.”Tanpa mengetahui alasan lainnya
“Sayang, tenang, jangan takut ya. Ada aku.” El segera menghampiri Livy dan memeluknya.Tidak ada riak kemarahan pada wajah semua orang, mereka mengerti apa yang menimpa Livy bukanlah masalah ringan hingga menimbulkan jejak trauma. Livy terus menggeleng, kejadian hari itu benar-benar menyiksanya. Ia pun mendekap Al, menciumi puncak kepala putranya.“Ini teman Dad Leon, berkunjung sebentar, beliau merasa gemas pada Al, jadi … menggendongnya,” jelas Mom Pamela tidak menjadikan hati Livy tenang. Ia tetap gelisah dan ketakutan seseorang merebut putra tercinta. Livy mendongak, menatap kedua iris biru safir, ia menghela napas.“Kak? Aku mau ke kamar sekarang,” pintanya dengan suara parau.“Ayo Sayang, Al biar aku yang gendong. Kamu gemetaran gini, bahaya.”Di dalam kamar, Livy membaringkan putranya di atas ranjang, atas bujuk rayu sang suami, ia bersedia mandi lebih dulu. Kentara sekali enggan meninggalkan bayi sedetik pun.Tidak lama, Livy selesai, gantian El yang membersihkan raga. Di ba