Padahal niat berikan obat pencuci perut hanya ingin buka-buka ponsel Mas Haris lagi, tapi ternyata malah kedapatan Gea menghubungi suamiku. Ya, itu foto Gea yang tertera dalam kontak aplikasi berwarna hijau gambar gagang telepon. Mataku berkeliling, lalu diam-diam mengusap layar ponsel, mulut ini jangan sampai terbuka dan menjawab sapaan darinya, supaya tahu mereka mau apa. "Halo, Mas," ucap kontak yang bernama Gea. Namun, kedengeran telinga ini kenapa suaranya berbeda? Aku diam tak menjawab sapaan darinya. Namun tetap meneliti dan mengenali suaranya yang memang bukan suara Gea yang kukenal. "Mas, ada istri kamu ya? Kirain udah berangkat kerja, maaf kalau gitu," cetusnya. Telepon pun terputus begitu saja. Aku terdiam sambil memegang benda pipih milik Mas Haris. 'Apa Gea lagi flu? Suaranya jauh berbeda yang biasa kudengar,' batinku. Akhirnya aku singkirkan pikiran itu, kemudian mengusap kembali ponselnya untuk membaca semua pesan yang ada di aplikasi warna hijau. Teratas kulihat
Balasan dari wanita itu datang, aku gemetar saat membacanya. [Ya udah, kita ketemuan, kita bahas Gea.]Astaga, aku harus jawab apa? Jari ini langsung mengetik pesan dengan lancarnya. [Kita ketemuan di hotel FitLen, sekarang.]Aku membalasnya dengan ide yang muncul tiba-tiba. [Memang kamu nggak kerja, Mas?][Kita ketemuan sekarang, kamu dandan yang cantik, ya. Di Cafe hotel FitLen. ][Oke, Mas.]Pesan dari wanita itu kuhapus semua, tersisa pesan Mas Haris yang menanyakan pola Gea. Aku segera meletakkan ponsel milik Mas Haris dan segera berdandan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun, sebelum berganti pakaian, aku mengusap wajah Mas Haris dari depan. Ia terlihat pulas, aku yakin ia takkan bangun hingga selesai bertemu dengan wanita itu. Setelah yakin, barulah aku segera berangkat. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya datang ketika aku membuka pintu. Astaga, aku lupa bahwa hari ini adalah pertemuan dengannya. "Maaf, Bu. Saya Mbok Wati, mau ketemu Bu Elena, kata Pak Ha
Namun, mendadak bahu ini dipegang oleh seseorang. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata wanita itu adalah Gea. "Gea!" Aku tercengang melihat sosok wanita yang ada di belakangku. Ternyata Gea, adik dari Tiara. Astaga, mimpi apa aku semalam dihimpit masalah seperti ini? Mau memergoki malah kepergok. Tanganku dicekal hingga tak bisa berontak, tenaganya lebih kuat dariku, matanya pun menyorot penuh. "Jangan berisik, ada ruangan khusus nggak untuk kita bicara berdua?" tanya Gea. Aku pikir ia akan marah atau berkoar-koar di hadapan karyawan dan pengunjung cafe, tapi ternyata yang dilakukannya tidak seperti yang aku pikirkan. Aku menoleh sebentar, melihat ke arah Tiara yang tengah menikmati secangkir kopi. "Bukankah setelah ini kakakku akan buang air besar terus menerus?" tanya Gea lagi membuat mataku membulat. Tidak menyangka bahwa dirinya tahu semuanya. Akhirnya aku mengajaknya duduk di satu ruangan khusus, untuk kami supaya bisa ngobrol, sebab Gea tahu semua rencanaku. Kemungkinan be
"Mbak Tiara melakukan itu untuk ...."Gea menghentikan ucapannya. Membuatku semakin penasaran, matanya sengaja berkeliling seraya mengejek. "Apa, Gea?""Nanti ya, aku akan kasih tahu kamu semuanya setelah ada perjanjian di atas materai, sekarang lebih baik kamu bersembunyi, kakakku akan datang meminta pertanggungjawaban ke sini," tutur Gea membuatku terdiam, bingung, sebenarnya ia ada di pihak mana? Langkah kakinya mundur, ia terus mengukir senyuman ke arahku. "Aku akan urus Mbak Tiara, kamu urus dirimu sendiri, Elena!" suruhnya kemudian membuka pintu yang terbuat dari kaca. Lalu ia melambaikan tangannya dan perlahan menghilang dari hadapanku. Aku menghela napas sambil menggebrak meja. Lalu meraih telepon yang ada di hadapanku dan memanggil karyawan lain, selain Burhan. Setelah menunggu beberapa menit, satu orang karyawan datang, ia tertunduk, sudah tahu jati diriku. "Tolong bawakan masker dan pakaian pelayan untuk saya," suruhku. "Ta-tapi, Bu ....""Sudah jangan ngeyel," cetusk
Sisil datang dan menyergap papanya dari belakang. Anakku menyelamatkan mamanya. Dengan menghela napas aku membawa barang belanjaan ke dapur supaya Mas Haris lupa untuk memeriksa kembali. Ditambah lagi Sisil akan segera berangkat les, ia memang aku bikin jadwal les siang, karena masih sulit bangun pagi-pagi. "Aku antar Sisil dulu ya," ucap Mas Haris. Jarak tempat les nya cukup jauh, biasanya aku mengantarkan dengan motor, kali ini Mas Haris sudah membawa kunci mobil. 'Semoga ia lupa untuk tidak membicarakan perihal belanjaan tadi, atau kalau perlu aku beli sayuran dulu ke warung sayuran di dekat rumah,' batinku. "Hati-hati, Mas, aku ikut nggak?" tanyaku basa-basi. Padahal dalam hati ini masih gemetar kalau ikut pasti ia tanya-tanya di jalan. "Nggak usah, abis nganter Sisil aku nerus ke bengkel aja deh, kan setelah dari bengkel bisa langsung jemput lagi," jelas Mas Haris. 'Aku terdiam, ini mobil baru, plat aja belum datang, kenapa sudah mau dibawa ke bengkel?' Pertanyaan-pertanyaan
Aku menoleh ke arah Mas Haris, pria yang baru saja naik jabatan beberapa bulan itu tampak membasahi bibirnya. Aku tahu ia sangat shock mendengar ucapan putrinya, aku pun sama, prasangka buruk semakin menyiksaku saat ini. Dada ini bergemuruh, tapi aku tidak ingin hati Sisil semakin hancur jika mengetahui hal yang sebenarnya. Meskipun ini adalah kesalahan Mas Haris, tapi aku tidak mau anak menjadi korban dari perbuatan papanya, hingga harus menanggung malu seperti itu. "Kalau Sisil nggak mau sekolah, boleh kok, tapi kalau nanti sudah kepingin lagi, kita ke sekolah ya, Mama janji akan temani kamu," ungkapku sengaja mengalihkan pembicaraan. Meskipun dalam hati kecil menginginkan Mas Haris menjelaskan ini semua. "Beneran ya, Mah. Kalau gitu, Sisil mau bobo siang dulu," ucapnya sambil menyergap tubuhku. Kemudian, aku menggendongnya dan memanggil Mbok Wati untuk mengajak Sisil ke kamar. Kini tersisa aku dan Mas Haris. Dengan santai aku duduk di dekatnya. Laki-laki yang kini berada di dek
"Hantunya datang ya, Mas? Di depan matamu loh!" ucapku dengan disertai senyuman. Mas Haris terdiam menunduk. Sesekali ia melirik ke arah wanita yang tengah berdiri di hadapan kami. "Kakinya napak ke tanah, Mas. Berati Tiara bukan hantu," tuturku lagi. Mata Mas Haris berputar, lalu tiba-tiba saja ia menarik tangan Tiara dan agak menjauh dariku. Pesan dari Gea pun masuk. Aku membiarkan Mas Haris bicara berdua di depan rumah. [Kakakku ke sana karena aku bilang padanya bahwa Mas Haris akan mempertemukan kamu dengannya. Mbak Tiara sangat antusias dijadikan madumu, Elena.]Sekarang aku paham, Tiara melakukan hal ini untuk mendapatkan Mas Haris, ia cinta mati padanya, hingga rela disebut sudah meninggal dunia. Aku menghampiri kedua orang yang tengah berdebat di garasi rumahku. Dengan tangan dilipat di atas dada, aku pun menyunggingkan senyuman padanya. "Kalian ini cocoknya menjadi pesinetron," ucapku sambil bertepuk tangan. "Kamu salah paham, Elena," sanggah Mas Haris. "Manager yang
"Maaf, Pak, kami sudah berikan peringatan beberapa kali melalui telepon, tapi tidak ada itikad baik, sekarang kami datang untuk memberikan stiker rumah ini tengah jadi pengawasan," ucap salah satu laki-laki berdasi. "Oh jangan, Pak. Saya akan bayar, berapa tiga bulan, Pak?" tanya Mas Haris sambil mengeluarkan ponselnya. "Kalau dikasih stiker, mau ditaro mana muka saya, Pak? Saya ini manager, gaji saya besar," ungkap Mas Haris lagi. Gaji besar tapi berikan nafkah istri seadanya. Jadi ini adalah teguran untuknya. "Totalnya empat juta setengah, Pak, silakan melakukan pembayaran langsung ke rekening rumah Anda, Pak," jawab laki-laki satunya. "Tunggu sebentar, saya akan masuk ke mobile banking dulu," timpal Mas Haris, kemudian ia fokus ke arah layar ponsel dan matanya terbuka lebar ketika tidak bisa transfer. "Sebentar, Pak. Saya cek saldo dulu, sepertinya ada yang salah," tambah Mas Haris gugup. Aku menyunggingkan senyuman, saldo rekening pun sudah aku pindah ke rekening pendidikan m