"Kau tidak mendengarkan perkataanku, Serena?" geram Rafael, menyudutkan Serena dan mengurung perempuan ini diantara tubuhnya -- mengungkung Serena di antara tembok dan tubuhnya dengan saru tangan menyangga ke tembok dan satu lagi menekan pundak Serena. "Apa kau keukeh tetap ke kantor untuk bertemu dengan Maxim?" dingin Rafael, menatap tajam dan menusuk ke arah Serena. Wajahnya marah dan aura mengerikan menguar dari tubuhnya. Pagi-pagi sekali perempuan ini bangun hanya untuk diam-diam pergi ke kantor. Rafael tahu, dia bangun dan memperhatikan Serena yang diam-diam bergegas ke kantor. Namun Rafael memilih hanya diam, dia ingin tahu sejauh mana Serena berani melanggar perkataannya. Dan … perempuan ini sangat mengecewakan! Dia nekat pergi -- mengundang kemarahan Rafael di pagi hari ini. "Kamu salah paham, Rafael. Aggk, sakit. Tolong lepaskan tanganmu--" pekik Serena dengan mendorong pergelangan tangan tangan Rafael, agar menjauh dari pundaknya. "Aku ke kantor untuk mengambil barang-ba
Namun kekehan Rafael langsung berhenti, mendadak wajahnya kaku dengan tatapan mata melotot tak percaya -- tiba-tiba saja Serena menganggukkan kepala. Deg'Rafael diam, menatap tajam ke arah Serena sembari memasang air muka dingin dan flat. "Kau sedang bercanda." Rafael berkata dingin, memilih melepas tangannya dari pinggang Serena kemudian memutar tubuhnya dan berniat beranjak dari sana. "Lupakan." Rafael kembali berkata dingin. "Ini terakhir kali aku melihatmu di dapur. Tidak ada memasak ataupun pekerjaan lainnya," ucapnya mengintimidasi, melirik tajam ke arah Serena. Kemudian setelah itu dia beranjak dari sana. Serena terdiam dengan wajah murung dan sedih. Dia sangat serius tetapi Rafael hanya menganggapnya sebatas candaan. Bukankah Rafael sangat ingin mendapatkan cintanya? Jadi kenapa sekarang Rafael seperti menolak kenyataan? "Bastard." Serena bergumam pelan, menatap punggung Rafael yang melangkah menjauh dari dapur. "Monster, psycho, dan … kau juga aneh, El.""Kau memaksaku
"Kamu yang bilang kan aku harus loncat dari lantai itu dulu baru kamu percaya pada cintaku. Ya udah, aku loncat agar kamu percaya jika aku mencintaimu!"Deg deg deg'Rafael terdiam. Kemarahan dalam dirinya seketika lenyap, berganti dengan wajah tegang bercampur sayup. Tatapannya berubah lirih dan begitu dalam, menunduk menatap Serena dengan yang mendongak dan menatap nyalang ke arahnya. Wajah Serena begitu serius, tatapan matanya memancar semangat dan bara. Rafael menangkup kedua pipi Serena, merundukkan kepala agar wajahnya lebih dekat dengan wajah Serena. "Aku bercanda." Rafael melirih. BugSerena memukul dada bidang Rafael dengan sekuat tenaga. "Tapi aku serius!" pekiknya marah bercampur sedih. Kenapa ketika Serena serius dengan semua ini, Rafael menganggapnya candaan? Apa Serena seperti mainan bagi Rafael?!"Humm." Rafael berdehem, menarik lembut Serena ke dalam dekapannya. Dia memeluk tubuh kecil istrinya tersebut dengan perasaan yang melebur; terasa hangat dan penuh ledaka
"El, temani aku cek up." Jenner segera mencekal tangan Rafael, menggenggamnya dengan kuat ketika pria itu akan pergi dari ruangannya sendiri. Jenner panik! Dia mendengar informasi jika Rafael akan pergi berbulan madu dengan Serena. Tidak! Jenner tak akan membiarkan itu terjadi. Jikalau bisa, harus Jenner yang berbulan madu dengan Rafael. Harus Jenner! Karena itu impian Jenner. "Cik." Rafael langsung menyentak tangannya dari Jenner. "Aku memberikanmu kesempatan, sebaiknya gunakan itu untuk menjauh dariku." Rafael berucap dingin, menatap tajam dan mengintimidasi ke arah Jenner. "Ba--bagaimana bisa aku menjauh darimu, El." Jenner memekik, kembali meraih tangan Rafael dan menggenggamnya erat. "A--aku hamil," cicitnya pelan dan lirih, bersamaan dengan air matanya yang jatuh dari pelupuk. "Hamil?" Rafael mengerutkan kening, menatap lamat dan penuh tanda tanya pada Jenner. Jenner menganggukkan kepala. "Iya, aku hamil bayimu, El. Ka--karena itu aku memintamu menemaniku cek up dan … kare
Rafael menyela dan memotong cepat. "Apa permintaanmu?" "Hah?!" Serena mengerutkan kening karena bingung. Apa mungkin Rafael menebak apa yang akan dia katakan? Pria ini kan suka sekali menebak isi pikiran Serena. Ah, mungkin saja. "Iya, itu. Maksudku … kamu ingin minta apa?" Rafael berdiri, berjalan ke arah Serena dengan bersedekap di dada. Setelah di depan perempuan itu, dia berhenti -- merunduk untuk menatap istrinya yang duduk di pinggir ranjang serba putih tersebut. "Bukan." Rafael menggelengkan kepala, "kau ingin meminta apa?" "Hah?" Serena mengerutkan kening, semakin tak paham dan bingung. Apa sebenarnya maksud Rafael? "Maksud kamu apa sih, El? Aku bingung.""Kau menang." Rafael mengulurkan tangan di atas pucuk kepala Serena, mengelus dengan penuh kasih sayang sembari tersenyum manis ke arah Serena. "Jadi apa permintaanmu, Darling?""A--aku menang?" Serena berucap tak mengerti. Peraturan mengatakan jika yang berhasil membuat jatuh cinta pasangan lebih dulu lah yang menang. D
"Aku mencintaimu, Maxim. Aku menyadarinya sekarang …." Jenner berkata lirih, menatap sendu dan juga sayup ke arah Rafael -- berharap jika cintanya kali ini mendapat balasan. Tapi, Maxim mencintainya dan sudah lama suka padanya bukan? Jadi harusnya ini mudah bagi Jenner. "Mudah sekali perasaanmu beralih." Maxim menyunggingkan seringai tipis, memilih melanjutkan kembali pekerjaannya dan sedikit acuh pada seorang perempuan di depannya. "Bukan mudah, Max." Jenner kembali mengeluarkan suara lembutnya yang lirih. "Aku hanya baru menyadarinya. Dan beberapa hari ini aku tertampar oleh satu kalimat yang kutemui di sebuah buku. Katanya daripada memilih orang yang kita cintai lebih baik kita memilih orang yang mencintai kita.""Silahkan." Maxim berucap cepat dan singkat. Jenner tersenyum penuh kemenangan, dia bahagia dan merasa jika rencana kali ini akan berhasil. Jika dia menikah dengan Maxim dia akan tinggal di mansion itu, dan suatu saat dia akan bersama Rafael lagi. Tidak! Dia tidak aka
"Terus kenapa kamu nggak bisa, El?" "Apa?!" Rafael menoleh cepat dan tajam ke arah Serena. Ini sedikit menyinggung dan sensitif. "Kamu bisa buat cendol, dan untuk pemula ini sangat sempurna. Rasanya enak dan pas. Tapi-- ngucapin cendol kamu nggak bisa. Hehehe ….""Aku bisa." Rafael berucap cepat dan penuh keyakinan, langsung menyerong tubuhnya untuk menghadap sepenuhnya ke arah Serena yang sebenarnya duduk di sebelahnya. "Coba." Rafael melirik ragu dan tak yakin ke arah istrinya. "Cen--" ucapnya dengan kembali melirik Serena gugup. "Cen?" Serena membeo, menaikkan alis dan menunggu Rafael untuk melanjutkan perkataannya. "Cen-- dol." Rafael menyelesaikan ucapannya. Lalu dia tersenyum bangga, merasa lega juga karena dia bisa mengatakannya walau hanya sepenggal-sepenggal. Dia lalu menyenderkan punggungnya ke sofa, benar-benar puas dan lega. "Jangan sepenggal-sepenggal. Coba ngomong langsung, bilang cendol. Ayo, El." "Cik, cendrol," ucap Rafael cepat, berhasil mengundang tawa Seren
"Kita kabur saja. Si pemiliknya tak akan tahu," usul perempuan satunya lagi, yang rambutnya dikucir kuda dan memaki poni pada bagian depan. "Ada cctv, Aayara!" Jenny menepuk jidat dan berjongkok. "Ini mobil mahal, yang punya pasti orang kaya. Harusnya dia nggak masalah lah, hanya goresan sikit saja. Kecuali ini mobil pinjaman atau mobil yang belum lunas cicilannya," ucap gadis bernama Aayara tersebut dengan nada mencerocos dan cempreng. "Iya, tapi kita tetap harus bertanggung jawab, Yara." "Begini, Teman. Jika memang ini mobil milik orang kaya, yang benar-benar kaya, goresan kecil begini mah nggak bakalan di permasalahin. Tapi kalau mobil ini punya orang yang masih nyicil, mending kita kabur, Jen. Soalnya kita bisa di polisiin, masalah kecil ini bisa dia perpanjang. Dan parahnya kita disuruh tanggung jawab yang tak sesuai logika, aturan kita ganti rugi sejuta dua juta nanti malah disuruh ganti rugi sebesar cicilan mobilnya sampe lunas. Jadi mending kita kabur," cerocos Aayara lagi