Dua mobil SUV sengaja disediakan untuk mengangkut perabot office sekaligus computer untuk bekerja. Satu mobil ditumpangi Aliesha dengan Ben, dan satu lagi anak-anak kantor.Perabot serta perangkat sengaja dibagi di dua kendaraan agar lebih memudahkan untuk dibawa.“Sebenarnya tidak perlu membawa meja kerja lipat ini, Aliesha…” Ben mengingatkan. “Meskipun tempatnya di tempat yang agak terpencil, di sana ada beberapa meja kerja yang bisa kalian pakai.”“Tidak masalah. Aku sudah cukup banyak merepotkanmu.” Gumam Aliesha sambil menata posisi duduknya.Ben melajukan mobil yang diikuti oleh anak buah Aliesha di belakang.“Aku ucapkan banyak terima kasih, Ben. Semenjak mengenalmu, aku sudah banyak berhutang budi pada kebaikanmu. Terlebih saat kamu membantuku menyelesaikan kasus dengan Eros.” Aliesha menghela nafas panjang.Pikirannya sempat terganggu saat Eros dan klien yang menuntut pengembali
“Enakan kerja di sini, Bu!” Anak buah Aliesha merasa lebih produktif bekerja di tempat berhawa sejuk serta dikelilingi oleh pemandangan hijau. Meski baru sehari, mereka merasa dampak positif. “Beneran?” Aliesha yang mengawasi pekerjaan anak buahnya, menyempatkan diri untuk membuat susu hangat di sela-sela kesibukannya. “Iya, Bu. Saya semalam sampe lembur gak berasa. Kerjaan yang biasanya dua sampai tiga hari kelar, sehari aja sudah finish. Saking semangatnya bekerja di sini!” imbuh Steven sambil menggambar desainnya. Aliesha hanya tertawa kecil. Dia juga merasa hal yang sama. Di sini, serasa berada di alam lain. “Bu, semalam Pak Ben tidur di mana?” celetuk anak buahnya tiba-tiba. Ditanya hal semacam ini, Aliesha tentu kebingungan menjawab. “Hmmm, semalam, dia tidur di atas!” Dengan ragu-ragu Aliesha menjawab. Meski tak dilanjutkan dengan pertanyaan yang lain, anak buahnya yang sudah dewasa tentu paham. Senyum kecil terkembang di wajah mereka. “Eh, tapi itu tidak seperti yang
“Bagaimana, Dok?” Noah terbangun dari duduknya. Diapun mendekati dokter yang baru saja mengobservasi Aliesha dari dalam ruangan. “Apakah Anda keluarga dari Aliesha Zhafira?” tanya asisten padanya. Noah mengangguk. Suasana masih sangat tegang. “Kalau boleh tahu, apa hubungan Anda dengan Aliesha? Anda adiknya?” Dokter itu angkat bicara. Noah terdiam sejenak. Lalu menjawab, “Suami, Dok.” Dokter yang akan melakukan tindakan itu tersenyum, “Maaf, saya kira adik laki-lakinya. Jadi begini, Pak. Kita harus memilih salah satu, Pak. Karena kondisi sangat membahayakan, jadi, saya menyarankan untuk memilih mana yang harus kita selamatkan!” “Selamatkan ibunya!” Tanpa pikir panjang, Noah akhirnya membuat keputusan. Dokter dan asisten perawatnya nampak kaget dengan apa yang disampaikan pria muda itu. “Apa Anda yakin?” Dokter menanyainya lagi. “Resikonya juga cukup tinggi karena pasien sudah berusia tiga puluh dua tahun. Dia sudah kepala tiga, Pak.” “Saya yakin, Dok. Dia adalah istri saya.
Tidak ada yang bisa Noah lakukan sekarang selain diam. Kakeknya adalah sosok diktator kejam yang tak akan menerima pembelaan. “Pikirkanlah sekarang, apa pantas kalian berkelahi memperebutkan wanita seperti dia, ha? Apa kelebihan yang dia miliki sampai-sampai kalian tidak ingat siapa diri kalian dan siapa wanita itu?” cerca sang kakek melihat kedua cucunya tertunduk malu. “Maaf, Kek.” Ben mendahului untuk berinisiatif meminta maaf. “Noah, apa kamu tidak merasa bersalah sedikitpun?” Kakeknya kali ini mengarahkan pandangan sepuhnya pada Noah, yang semua orang tahu dia adalah cucu kesayangannya. “Aku juga minta maaf.” Noah mulai berani mengangkat wajahnya dan kini menatap sang Kakek. Sesekali dia melirik ke Ben yang tampak masih menyesali perbuatannya. “Hahaha. Baguslah. Kalau kalian seperti ini, aku yakin umurku bisa mencapai seribu tahu lagi. Hahahaha.” Betapa bahagianya sang kakek karena cucunya masih bisa dia kendalikan hingga saat ini.
Kedua kakinya terasa kebas. Kepalanya pun merasakan sedikit pusing. Ada rasa hampa sekarang yang menyerang tubuhnya.Perut yang awalnya terasa berat dan penuh, kini seperti sunyi tanpa tendangan ataupun gerakan dari dalam yang sudah delapan bulan dia rasa.“Aliesha?” sebuah panggilan penuh mesra dia dengar.Ya, seseorang itu memanggilnya. Tangannya memegangi dan menguatkan.Matanya terbuka sedikit demi sedikit. “Ben?”“Iya. Ini aku.”Seingatnya, saat dia terjatuh dan mengaduh kesakitan, tangan yang menggendong dan membawanya bukanlah tangan ini.Hampir dia memanggil lelaki yang dia kira sekarang ada di sini. Ke mana dia pergi?Rasanya tak pantas bila sekarang Aliesha ingin mencari Noah. Entah mengapa dia begitu merindukannya. Dalam benaknya, mungkin anak-anak itu sudah tak bisa diselamatkan lagi.Ia tak berani bertanya karena takut kecewa.“Anak-anakmu selamat.” Ben
Memikirkan soal nama, Aliesha terkenang pada perbincangannya dengan seseorang di masa itu.Keduanya sedang menikmati udara pagi setelah semalaman hujan. Tangan Noah masih membelai mesra dirinya yang baru saja menunaikan kewajiban sebagai seorang istri.Terbalut dalam satu selimut, ada rasa nyamana yang terasa di masanya. Dia tak lagi khawatir karena yakin kalau Noah akan memberinya waktu untuk jeda sejenak.“Aku ingin punya anak kembar, Aliesha.” Bisiknya sambil membiarkan kepala Aliesha berada di dadanya.Sementara lengan kirinya merangkul agar kepala itu stabil.“Jangan punya keinginan yang aneh-aneh. Apa kamu sanggup merawat dua bayi sekaligus?” sebuah cubitan kecil diberikan Aliesha pada lengan suaminya.Lelaki muda berparas wajah khas Eropa itu ingin tertawa saat mengatakan hal yang membuat Aliesha terkejut, “Usiamu sudah tidak muda lagi, Aliesha. Kalau kamu hamil kembar, itu artinya kamu hemat waktu. Tidak perlu hamil dua kali tapi langsung dapat dua anak.”Benar juga apa yang d
Aura seorang ibu jelas berbeda dengan wanita hamil. Di pikiran Noah, Aliesha sekarang telah bermetamorfosis sebagai wanita yang sempurna.Pancaran matanya tak segarang dulu, terutama saat masih menjadi CEO-nya dan dia berperan sebagai sopir. "Sebentar saja. Katakan apa maumu." Masih saja Aliesha bersikap kaku dan dingin."Aku hanya ingin hak asuh anak kita. Itu saja." bibir Noah tak bisa lama-lama lagi menahannya."Tidak mungkin. Aku sudah bersusah payah mengandung dan melahirkan mereka." Seperti dugaan Noah, kalimat itu yang akan dia utarakan di sini.Aliesha sejak dulu memang keras kepala. Dia sulit untuk diajak kompromi oleh siapapun. Sekali dia sudah meyakini sesuatu, itu akan dipegangnya terus."Tapi aku adalah penyumbang benih dari mereka. Saat ini kamu sudah tak punya banyak pilihan lagi. Akuilah kekalahanmu." Noah mulai menunjukkan taring. Dia sudah membuat kesepakatan kalau Aliesha tak bisa diajak kompromi, maka ia akan gunakan plan B untuk mendapatkan apa yang dia inginkan
Aliesha tahu siapa yang harus dia datangi. Baru berapa hari kalimat ancaman itu dia layangkan, kini sudah diserangnya ibu muda itu tanpa ampun.Langkah kakinya sudah tak bisa dihalangi lagi.Meski sekuriti dan beberapa orang yang ada di lobby telah mencegahnya, Aliesha tetap saja naik ke atas lift dan menemui orang yang dia cari.Tulisan ‘ PT Anderson Utama’ terpampang jelas di dinding luar lift saat dia mencari ruangan CEO.“Maaf, apa Anda sudah ada janji?”Lagi-lagi dia harus melewati serangkaian protokoler yang memakan banyak waktu.“Saya tidak perlu membuat janji dengan mantan suamiku.” Itu saja yang Aliesha katakan pada seorang asisten pribadi Noah.“Biarkan dia masuk.” Tak dinyana sosok lelaki buronan Aliesha baru sampai di depan pintu.“Tapi, Pak Noah. Dia ini tadi nyelonong masuk office dan memaksa sekuriti untuk membiarkannya ke sini. jadi saya pikir…” Asisten pribadi Bernama Monica it uterus menjelaskan apa yang terjadi.Telinga Noah tak bisa mencernanya karena baginya ini a