"Sejak kapan Zea berubah?"Samar kudengar suara Bu Hanum bertanya. Suaranya sangat pelan bahkan terkesan seperti berbisik."Kalau gak salah, antara dua atau tiga hari kebelakang, deh Bu," sahut Arsen singkat.Aku yang merasa tak cukup hanya dengan menguping pembicaraan merekapun langsung mengintip. Kebetulan, posisi Arsen dan Bu Hanum yang sedang duduk di sofa itu membelakangiku. Jadi, aku bisa lebih leluasa melihat mereka berdua."Tadi, Zea juga mengomentari pekerjaan ibu. Ia protes soal piring yang dia anggap masih berdebu, katanya ... harusnya ibu lap itu piring meskipun gak dipakai," tutur Bu Hanum.Aku merengut mendengar hal itu. Kupikir, seharusnya Bu Hanum tak usah mengadukannya pada Arsen. Atau, apa mungkin Bu Hanum tersinggung dengan ucapanku?Padahal, selama ini aku juga gak pernah mengkritik apapun padanya. Semuanya selalu kulakukan sendiri jika ada sesuatu yang menurutku kurang. Hanya saja, untuk saat ini aku memang sedang lelah, apa salah jika aku berkomentar?"Apa? Zea
Klek!Kuputar anak kunci dan membuka pintu secara perlahan. Senyum Arsen menjadi hal pertama yang kulihat begitu pintu terbuka."Udah ya, jangan ngambek lagi! Yuk, kita bobo!" ucap Arsen seraya meraih tanganku. Sepertinya kali ini ia sudah tidak marah lagi.Tok! Tok! Tok!"Pakeet!"Aku kembali menarik tangan dari genggamannya dan segera berhambur ke pintu utama saat mendengar suara diluar sana."Dengan Mbak Alifa Zea Amanda?" tanya kurir tersebut begitu aku membuka pintu."Iya, benar mas!" sahutku cepat. Aku segera mengambil paketnya dan langsung membayarnya secara cash. Rasanya aku begitu tak sabar untuk segera mencoba alat tersebut."Ze, kamu pesen apa malam-malam gini?" tanya Arsen yang baru saja menyusulku keluar."Ada, lah pokoknya!" sahutku singkat kemudian bergegas kembali kedalam.Aku menoleh saat ternyata Arsen membuntuti aku dari belakang. Saat hendak masuk ke kamar mandi, Arsen bahkan juga terlihat ingin ikut."Kamu mau ikut ke kamar mandi juga?" ketusku seraya memberinya
"Hai! Akhirnya kalian pulang juga!" seru Bang Gavin begitu kami membuka pintu.Pagi-pagi buta, aku, Arsen dan juga Bu Hanum sudah terbangun gara-gara bel yang terus berbunyi. Nyatanya, Bang Gavin sudah bertamu sepagi ini."Arggh ... loe ngapain sih, bertamu pagi-pagi buta gini? Ganggu orang aja! Masih ngantuk, tau!" celetuk Arsen membuatnya langsung mendapat cubitan dari Bu Hanum."Eh, berisik, loe! Gue mau ketemu Zea! Ada yang mau gue omongin!" ketus Bang Gavin seraya nyelonong masuk."Apa? Gak boleh! Ini masih terlalu pagi! Jangan bahas hal-hal berat dulu!" ucap Arsen."Apaan sih? Gak usah aneh-aneh deh, orang Bang Gavin mau ngomong, kok gak boleh?!" kesalku seraya menatap sinis padanya."Tuh, denger! Zea aja mau!" ledek Bang Gavin.Sedangkan, di samping itu, Bu Hanum malah pergi meninggalkan kami. Mungkin dia enggan melihat kami yang terus adu mulut setiap kali bertemu."Enggak boleh! Masalahnya, Zea lagi hamil muda. Dia gak boleh terlalu capek atau stres dulu!" ucap Arsen membuat
Siang ini aku sudah siap untuk berangkat, hanya tinggal menunggu taksi datang saja. Beberapa kali Arsen membujukku agar aku pergi bersamanya saja, namun ... entah kenapa perasaanku padanya selalu saja dipenuhi oleh kekesalan hingga aku enggan untuk dekat-dekat dengannya.Arsen juga nampaknya kesal. Ia meninggalkanku di teras dengan menekuk wajah."Ze, sini sebentar! Ibu mau bicara," ucap Bu Hanum yang baru saja keluar.Aku mengangguk. Lantas menghampirinya yang kini duduk di kursi teras."Kalian berantem lagi?" tanyanya."Iya Bu! Eh, enggak! Eh gimana, ya?" sahutku kikuk.Bu Hanum hanya tersenyum mendengar jawabanku. Ia kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya lembut."Ibu paham apa yang sedang kamu alami saat ini. Soalnya, ibu juga pernah rasain," gumamnya."Beneran, Bu?" tanyaku antusias."Iya!" sahutnya."Dulu, sewaktu ibu mengandung Arsen, ibu juga bawaannya itu kesel mulu sama papahnya," sambung Bu Hanum."Kira-kira, berapa lama ya, Bu? Soalnya, aku juga ngerasa gak enak sama
"Begini saja, berapa harga gelang itu? Biar kubayar. Bila perlu, dua kali lipat!" ucap Arsen memotong pembicaraan diantara aku dan satpam yang terus menekanku untuk mengaku."Maaf, pak! Ini bukan perkara harga. Tapi, istri bapak sudah terbukti mencoba untuk mencuri. Itu adalah tindakan kriminal yang harus dipertanggungjawabkan. Kami rasa hukuman pantas istri bapak terima agar memberi efek jera," tuturnya.Brakk!Arsen menggebrak meja. Rahangnya terlihat mengeras dan sorot matanya begitu tajam."Kalian tidak lihat belanjaan kami?! Apa kalian pikir kami tak mampu membeli gelang seperti itu hingga harus mencuri?!" sentak Arsen membuat orang-orang bungkam."Cek CCTV sekarang juga! Aku yakin istriku tidak melakukan hal serendah itu. Jika sampai kalian salah, maka aku gak akan segan untuk menuntut kalian semua yang ada disini yang sudah memojokkan Zea!" sambungnya.Satpam yang sedari tadi mengintrogasiku dan bersikeras menuduhku itu langsung gelagapan."B-baik. Kita cek sekarang!" ucapnya g
Sesampainya di Polsek. Aku dan Arsen segera turun. Tak lupa, Arsen juga memastikan bahwa satpam tadi juga ada bersama kami.Dengan tergesa, Arsen kembali menarik paksa wanita tadi untuk segera masuk."Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang polisi yang tengah berjaga."Saya mau membuat laporan!" tegas Arsen."Baik, silahkan duduk!" ucapnya.Arsen duduk di kursi yang sudah disediakan. Disampingnya wanita itu juga turut duduk. Sedangkan aku berdiri di belakang Arsen bersama satpam tadi."Siapa namanya, pak?" tanya polisi tadi seraya menatap Arsen."Arsen!" sahut Arsen singkat."Boleh nama lengkapnya?" tuturnya lagi."Arsenio Cleosa Raymond!" sahut Arsen cepat."Alamat?" polisi itu kembali bertanya. Setiap pertanyaan yang ia ajukan selalu dimintai jawaban yang detail.Arsenpun terus menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Hingga ujungnya polisi tersebut meminta KTP milik Arsen.Arsen mengernyitkan dahinya. Ia pun lantas bertanya balik."Maaf, pak! Disini saya ma
"Saya terima nikahnya Alifa Zea Amanda bin Syaron Wardana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Deg!"Kenapa pria ini mampu mengucapkan kalimat tersebut dengan lancar?" batinku tak percaya kala mendengar ikrar suci tersebut. Dadaku tiba-tiba saja terasa sesak dan penuh dengan rasa kekesalan dan kekecewaan.Biar bagaimanapun, aku telah lama menantikan momen sakral ini. Namun sayangnya, bukan dengan pria yang kini duduk di sampingku."Horee ...! Arsen akhirnya punya istri!"Tiba-tiba saja, ia bersorak seraya bangkit dari duduknya. Melompat-lompat bak anak kecil yang senang karena dapat permen. Kontan saja hal itu menambah rasa ilfill-ku padanya. Untungnya, Bu Hanum yang kini telah menjadi mertuaku itu, langsung menghampiri anak semata wayangnya dan membujuk Arsen untuk kembali duduk dan mengaminkan doa yang belum selesai dibacakan."Arsen duduk dulu, ya! Aminkan doanya, supaya pernikahan kalian diberkahi oleh Allah," bisiknya.Pria yang memiliki nama lengkap Arsenio Cleosa Raymo
Aku mengerjapkan mata, lalu berjalan menghampiri Arsen."Apa kamu bilang? Pakein?" tanyaku memastikan."Iya, biasanya ibu yang melakukannya. Tapi, ibu bilang sekarang tugasnya digantiin sama kamu," sahutnya."Em, ta-tapi–""Oh, iya. Aku juga belum mandi, biasanya ibu yang mandiin," ucapnya menghentikan kalimatku, “jadi, kamu bisa bantu aku, kan?”"A-apa?" Lagi-lagi aku dibuat kaget dengan ucapannya. "Seberat inikah tugas seorang istri di malam pertama?" batinku lirih."Aku belum mandi dan udah gerah sekali. Biasanya, ibu yang mandiin." "Iya, aku udah denger," sahutku mulai frustasi."Loh, kan tadi kan kamu nanya, makanya aku jawab," tuturnya seraya mengadu-adukan kedua jari telunjuknya.Aku menghela nafas, lalu mencoba untuk tersenyum padanya."Arsen, emang kamu gak bisa mandi sendiri?" tanyaku seraya menatapnya dari atas hingga bawah. Namun, pria itu hanya menggeleng dengan tampang polosnya. Sontak, aku mengusap wajahku perlahan. Ucapan dan tingkah Arsen memang seperti anak keci