Marsha memejamkan matanya. Selama 2 hari ia terus tinggal di dalam kamarnya dan jarang keluar.
Mungkin karena masalah terakhir kali, semangat Marsha yang biasanya membara itu telah lenyap seutuhnya.Tok ... tok ....Derren berdiri di depan pintu kamar Marsha dengan membawa nampan berisi makan malam.“Marsha, keluar dan ambil makananmu.”Derren menatap miris. Pintu yang biasanya terbuka karena sang Tuan jarang berada di rumah itu tertutup secara berturut-turut selama 2 hari terakhir.Tidak ada jawaban dari dalam sana. Tampaknya Marsha kembali tidur dan tidak mendengar panggilannya.“Marsha, bagaimana jika kamu keluar sekarang?”Tidak ada jawaban. Wanita itu masih bersikeras untuk tutup mulut dan tidak menggubris dunia luar.Derren mengusap kasar wajahnya dan menatap Naya yang mendekatinya.“Masih belum mau keluar?” tanya gadis itu. Ia berdiri di sebelah Derren dan melihat pintu di depaFuhh .... Derren menghela napas lega. Akhirnya ia bisa melepaskan diri dari Marsha walau ia harus kabur ke rumah Orlando. “Fuhh ... kenapa kamu tiba-tiba ke sini tanpa memberi tahu dulu? Bagaimana kalau kekasihku ada di sini?” Orlando terlihat kesal. Namun ia masih membukakan pintu, bahkan membuatkan suguhan untuk Derren. Derren yang mendengar itu hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Buktinya ia tidak ada di sini. Kenapa kamu mempermasalahkannya?” Orlando hanya mendenguskan napasnya kasar. Ia menatap Derren dengan mata menyipit. “Kamu yang sangat menyukai rumah karena ada istri cantikmu itu, sekarang kenapa tiba-tiba kabur dari rumah?” sindir Orlando menaruh kecurigaan. Derren hanya diam. Ia tidak ingin membahas hal memalukan itu kepada sahabatnya. Lagi pula, jika ia membahas hal itu dengan Orlando, maka ia akan mendapatkan ejekan. “Tidak ada. Memang kenapa? Aku tidak boleh menginap di sini?” Derren melipat kedua tangannya di depan dada. Wajah angkuh yang sangat menyeba
“Nona Marsha.” Salah satu anggota lelaki berjas hitam itu berjalan mendekat pada Marsha. Wanita itu menghadang jalan si pria agar tidak mendekati kedua adiknya. Lelaki bersurai panjang itu berdiri tepat di jarak 3 langkah dari posisi Marsha berdiri. “Tolong ikut dengan kami.” Perkataan yang tegas dan singkat. Nada bicara yang tak kenal sopan santun dan wajah angkuh yang menjengkelkan. Marsha tidak senang penampilan dan sikap dari lelaki itu dari atas sampai bawah. Tatapan permusuhan darinya terlihat sangat kental. Semua musuh yang ada di depannya pasti tahu jika Marsha menjadi kesal saat melihat wajah mereka. “Kamu—“ “Marsha, siapa orang-orang yang menghalangi jalan ke rumahmu ini?!” Marsha menatap ke arah pintu utama. Ia melihat Nada, kakak pertamanya, datang sambil menyeret tiga orang lelah seperti kantung sampah yang menjijikkan. “Astaga, ternyata ada orang yang mengganggu pagi adikku yang m
“Jadi begitu.” Marsha menghela napas panjang. Ia menatap wajah gugup Naya dengan tatapan santai namun masih terkesan dingin. Amarah yang bergejolak dalam dirinya sudah berusaha ia tahan. Namun ekspresi wajahnya yang buruk tidak bisa 100% ia sembunyikan. “Terima kasih sudah memberitahu hal yang sulit.” Naya hanya mengangguk tanpa menatap wajah Marsha. Wajah wanita itu terlihat menakutkan walau nada bicaranya sangat lembut dan kalem. “Kakak tidak marah, kan?” Marsha menaikkan sebelah alisnya. “Untuk?” Naya menunduk semakin dalam. Ia melihat kedua jarinya yang bertaut dengan tatapan pedih. “Aku kan sudah membuat masalah. Mangkanya, aku sedikit tidak nyaman. Maaf ya, Kak. Aku sudah membuat masalah untukmu dan Kak Derren.” Puk! Marsha menepuk pundak Marsha dan mengusap puncak kepala gadis itu sayang. “Aku dan Kakak lelakimu itu memang harus melindungi kamu. Jangan sungk
Brak! Derren mengepalkan tangannya. Ia terlihat kesal saat mendengar laporan ada penyusup masuk ke dalam rumahnya saat ia tidak ada di tempat. “Kamu baik-baik saja?” Ardi menatap Direkturnya dengan resah. Ia tidak pernah melihat Derren semarah itu, dan kini wajahnya sangat menakutkan. “Kau kira aku bisa baik-baik saja?” Derren yang semakin arogan membuat bawahannya tidak nyaman. Hari demi hari sikap pemarah itu membuat semua orang terusik. Hanya karena satu wanita, 70%kepribadiannya hampir berubah. Pemimpin dengan sikap tenang yang dewasa sangat jarang mereka lihat akhir-akhir ini. Ia sering mengambil tindakan gegabah dan ekstrem hanya karena istrinya. “Aku yakin kamu yang bilang dengan mulutmu sendiri jika kamu melakukan pernikahan kontrak dengan wanita itu.” Orlan melipat kedua tangannya di depan dada. Kehadiran yang tidak di harapkan itu membuat Derren naik darah. Terutama nada bicaranya yan
Derren bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya yang terlihat pucat cukup menjadi batasan Nada untuk menghentikan penjelasan ini. “Karena kamu sudah tahu, sebaiknya kamu mulai bergerak karena semua insiden ini sebenarnya bersangkutan satu sama lain.” Nada ikut bangun. Ia hendak meninggalkan ruangan namun Adik Iparnya itu tiba-tiba jatuh dan tak bangun lagi. Nada menatapnya dalam diam beberapa saat sebelum membuka pintu ruangan itu lalu menatap Sinta dan Adrian—dua sekretaris Derren yang siaga di depan pintu ruangan mereka. “Nyonya Nada, apakah urusan Anda sudah selesai?” Adrian maju satu langkah dari Sinta dan menyambut kedatangan Nada dengan senyum profesional. Sementara Nada yang mendapatkan sambutan itu hanya memasang wajah datar. Ia sedikit menepi dari ambang pintu agar kedua orang itu bisa melihat keadaan Bos mereka di dalam sana. “Dari pada mengurusku—“ Nada memberikan jeda. Ia memandang kedua raut wajah sekre
Memperhatikan wajah lawan bicaranya dengan saksama sudah menjadi rutinitas kedua mata Marsha sejak beberapa saat yang lalu. Kedua wanita itu sudah duduk lebih dari 2 jam tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Bahkan teko kaca yang tadi berisi teh bunga yang hampir penuh, sekarang sudah tandas setengahnya. “Kalau tidak ada yang mau di bicarakan, kenapa kamu mengundangku datang ke sini? Jangan mengira Kakakmu yang hobi traveling ini tidak akan punya pekerjaan saat kembali ke kota,” sindir Nada dengan suara yang kalem. Marsha meletakkan cangkir tehnya. Ia berhenti mengawasi secara sembunyi-sembunyi dan melihat lawan bicaranya dengan berani. “Tidak adakah sesuatu yang ingin kamu bicarakan dengan adik perempuanmu ini?” singgung Marsha terlihat canggung. Nada menyandarkan punggung di kepala kursi kayu yang mereka singgahi. Tanpa meletakkan gelas teh yang ia sesap, wanita itu menatap lawan bicaranya dengan heran. “Kamu y
“Duduklah di sini, Naya.” Derren menarik salah satu kursi meja makan untuk adik perempuannya. Naya menurut dan duduk di sana dengan tenang tanpa menghiraukan banyaknya menu makan malam yang di hidangkan di atas meja makan. “Padahal Kak Marsha tidak akan pulang sore, kenapa kamu membuat banyak hidangan, Kak? Apa ada tamu yang akan datang??” Derren menatap beberapa menu di meja makannya dan tersenyum masam. “Tidak ada yang seperti itu kok, makanlah dengan tenang. Kalau bisa, cicipi semua masakan yang Kakak buat hari ini.” Naya mengambil piring yang di berikan Derren dan mengambil nasi serta beberapa lauk pauk yang ada di atas meja. “Kamu sangat kurus.” Derren memperhatikan lengan dan wajah Naya yang membentuk tegas garis rahangnya. “Mangkanya hari ini Kakak masak banyak agar kamu bisa makan banyak juga. Lihat tubuhmu yang tinggal kulit dan tulang saja seperti Kak Marsha itu. Aih, memang cantik ..
Akh .... “Anak itu mendengar semuanya ....” Marsha mengeluh dengan penuh keresahan. Ia mengira jika anak yang patut ia waspadai hanya Naya karena gadis itu lebih senang mendendam sebelum akhirnya meledak dengan parah. Tapi siapa sangka jika adik Derren yang paling kecil adalah iblis mungil yang menggemaskan. Tok ...tok ... tok .... Marsha menatap ke arah pintu amarnya yang sedikit terbuka. Di sana ia melihat sang suami sedang berdiri sambil mengawasinya dari balik pintu. “Apa?” pekik Marsha sedikit mendesak lelah. “Boleh aku masuk?” sahut lelaki itu membuka pintu kamar itu cukup lebar sampai seluruh badanya terlihat jelas. “Kenapa?” Marsha tidak memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Ia malah bangkit dari meja kerja yang ada di dalam kamarnya dan menghampiri suaminya. Klek .... Marsha menutup pintu dari luar. Ia tidak mengizinkan Derren masuk ke dalam kamarnya. “Kita b