Memperhatikan wajah lawan bicaranya dengan saksama sudah menjadi rutinitas kedua mata Marsha sejak beberapa saat yang lalu.
Kedua wanita itu sudah duduk lebih dari 2 jam tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Bahkan teko kaca yang tadi berisi teh bunga yang hampir penuh, sekarang sudah tandas setengahnya.“Kalau tidak ada yang mau di bicarakan, kenapa kamu mengundangku datang ke sini? Jangan mengira Kakakmu yang hobi traveling ini tidak akan punya pekerjaan saat kembali ke kota,” sindir Nada dengan suara yang kalem.Marsha meletakkan cangkir tehnya. Ia berhenti mengawasi secara sembunyi-sembunyi dan melihat lawan bicaranya dengan berani.“Tidak adakah sesuatu yang ingin kamu bicarakan dengan adik perempuanmu ini?” singgung Marsha terlihat canggung.Nada menyandarkan punggung di kepala kursi kayu yang mereka singgahi.Tanpa meletakkan gelas teh yang ia sesap, wanita itu menatap lawan bicaranya dengan heran.“Kamu y“Duduklah di sini, Naya.” Derren menarik salah satu kursi meja makan untuk adik perempuannya. Naya menurut dan duduk di sana dengan tenang tanpa menghiraukan banyaknya menu makan malam yang di hidangkan di atas meja makan. “Padahal Kak Marsha tidak akan pulang sore, kenapa kamu membuat banyak hidangan, Kak? Apa ada tamu yang akan datang??” Derren menatap beberapa menu di meja makannya dan tersenyum masam. “Tidak ada yang seperti itu kok, makanlah dengan tenang. Kalau bisa, cicipi semua masakan yang Kakak buat hari ini.” Naya mengambil piring yang di berikan Derren dan mengambil nasi serta beberapa lauk pauk yang ada di atas meja. “Kamu sangat kurus.” Derren memperhatikan lengan dan wajah Naya yang membentuk tegas garis rahangnya. “Mangkanya hari ini Kakak masak banyak agar kamu bisa makan banyak juga. Lihat tubuhmu yang tinggal kulit dan tulang saja seperti Kak Marsha itu. Aih, memang cantik ..
Akh .... “Anak itu mendengar semuanya ....” Marsha mengeluh dengan penuh keresahan. Ia mengira jika anak yang patut ia waspadai hanya Naya karena gadis itu lebih senang mendendam sebelum akhirnya meledak dengan parah. Tapi siapa sangka jika adik Derren yang paling kecil adalah iblis mungil yang menggemaskan. Tok ...tok ... tok .... Marsha menatap ke arah pintu amarnya yang sedikit terbuka. Di sana ia melihat sang suami sedang berdiri sambil mengawasinya dari balik pintu. “Apa?” pekik Marsha sedikit mendesak lelah. “Boleh aku masuk?” sahut lelaki itu membuka pintu kamar itu cukup lebar sampai seluruh badanya terlihat jelas. “Kenapa?” Marsha tidak memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Ia malah bangkit dari meja kerja yang ada di dalam kamarnya dan menghampiri suaminya. Klek .... Marsha menutup pintu dari luar. Ia tidak mengizinkan Derren masuk ke dalam kamarnya. “Kita b
Naya dan Marsha saling menatap. Keduanya terlihat bingung melihat situasi di antara Yana dan Derren yang terlihat canggung. “Kalian pasti bertengkar.” Naya telah menyimpulkan dan membuat keduanya langsung tersinggung. “Tidak!” balas Derren dan Yana dengan kompak. Marsha dan Naya mengembuskan napas panjang dan melanjutkan acara makan mereka. Keempat orang yang ada di meja makan dan duduk saling berhadapan itu akhirnya makan dengan tenang setelah dua pembuat onar tidak bisa berisik seperti biasanya. “Kak Marsha, bagaimana kalau hari ini Kakak mengantarku pergi sekolah. Kakak libur, kan?” Marsha mendongak dan melihat Naya yang sedang makan dengan elegan. “Mengantar kamu? Bukan kalian ya?” Gadis berusia 13 tahun itu mengangguk. “Ya. Aku! Bukan kami berdua. Karena ada yang ingin aku bicarakan berdua dengan Kakak, bisakah Kakak meluangkan waktu untukku? Hanya saat sampai aku tiba d sekolah." “Bukan m
Ugh .... Daniel mengusap wajahnya dengan kasar. Ia masih tidak percaya Marsha baru saja memperdaya dirinya dengan uang. Terlebih lagi, gadis kecil yang ia terima sebagai murid beberapa saat yang lalu adalah gadis lemah yang memiliki masalah di jantungnya. “Dasar gila,” pekik Daniel masih menyesal akan keputusannya. “Hei kau, kemarilah!” Daniel melambaikan tangan dan meminta Naya mendekat. “Ya.” Naya berlari mendekat dengan setengah pincang. Setelah berlari 5 putaran di lapangan 700x400 meter itu, dia merasa sangat lelah sampai kesulitan bernapas. “Aku dengar kamu memiliki janji setelah lewat pukul tuju nanti. Bagaimana kalau kamu bersiap sekarang? Marsha bisa marah kalau aku menyiksamu lebih dari ini,” ucap Daniel terlihat tidak puas. Naya melihat ke belakang Daniel. Dari jarak 2 meter tempat mereka berdiri, dinding kelabu di belakang sana memiliki alat pengukur waktu. “Tapi sekarang masih jam
Melihat wajah Haidar yang amat sangat terkejut, Naya terkekeh pelan dan menepuk pundak Derren. “Jangan menatapnya setajam itu, Kak. Kamu bisa membelah dirinya,” guraunya. Derren membuang napas kasar. “Baiklah, ayo pergi. Kak Marsha dan Yana sudah menunggu di mobil.” Naya mengangguk dan segera mengikuti langkah Derren meninggalkan Haidar. Klek .... Naya duduk di bangku tengah bersama dengan Yana. Di sana juga ada dua anak kecil yang belum pernah Naya lihat sebelumnya. “Siapa ini, Yan—“ “Bagaimana bisa kamu dekat dengan Haidar? Apa ia menggodamu?” tanya Marsha tiba-tiba. Naya duduk di samping Yana dan menatap Marsha yang menoleh ke arahnya dengan tatapan curiga. “Hanya tidak sengaja bertemu dan berkenalan saja, Kak. Tidak ada yang perlu di khawatirkan.” Marsha tetap memasang tapang curiga. Begitu pula dengan Derren yang menatap Naya dari kaca spion tengah dengan pandangan horor. “Ugh
[Pakai gaun yang mewah] [Aku tidak akan memaafkan kamu jika tidak menurut dengan perkataanku, Kak. Lihat saja kalau kamu membantahnya^^] Zahra menghela napas kasar dan melihat beberapa pasang pakaian yang akan ia kenakan jika Marsha tidak mengirim pesan ancaman itu. “Kamu mau ke mana?” Dena mengintip di balik pintu ruang ganti pribadi istrinya. Wanita itu terlihat kebingungan saat melihat beberapa setel pakaian di atas etalase kaca tempatnya menyimpan koleksi jam tangan. “Entahlah. Marsha memintaku pergi dengannya ke sebuah acara. Ia bilang aku harus berpakaian cantik.” Zahra melihat suaminya dengan senyum masam. “Bisa aku minta bantuan?” Dean diam beberapa saat dan masuk ke dalam sana. “Jika baju yang cantik, bukannya kamu harus mengenakan pakaian itu?” Zahra menatap suaminya dengan tatapan bingung. “Kamu yakin?” Dean mengangguk dengan antusias. “Hanya pakaian itu yang membuat kamu cantik, Ra.
Langkah kaki yang di balut sepat hak tinggi, benturan ujung sepatunya dengan lantai, cuku menggema di dalam ruang hening yang tengah mereka tempati. Adik perempuannya, Marsha, mengatakan jika ia akan memberikan kejutan padanya. Namun Zahra tak pernah berpikir jika itu akan menjadi kejutan besar untuknya. Di tempat mewah dengan banyaknya petinggi negara yang hadir, beberapa saat yang lalu Zahra melihat wajah tak asing yang sangat tidak ingin ia temui. “Kakak,” panggil Marsha dari ujung ruangan. Ia cukup merasa gemas melihat Kakaknya mondar-mandir dengan wajah gelisah. “Apa kamu tidak suka dengan hadiah—“ “Kamu sudah gila?!” Zahra berteriak lantang. Tampaknya kebaikan hati Marsha untuk menunjukkan sesuatu yang seru telah menyebabkan dirinya berada di dalam masalah. “Aku masih waras. Jika aku gila, aku tidak akan membawa kamu ke tempat ini.” Marsha melipat kedua tangannya dan menyilangkan kakinya agar salin
“Bukannya kamu sudah sedikit keterlaluan dengan Dean?” Derren menatap wajah suntuk istrinya yang terus ia perlihatkan sepanjang acara makan malam setelah pertempuran mulut dan mental beberapa saat yang lalu. “Kamu berpikir begitu?” Marsha melirik suaminya yang terus memperhatikan dirinya dengan tatapan memelas sampai-sampai lupa menyentuh makanannya. Derren mengangguk singkat. “Ya, walau kamu tidak suka dengannya, aku tidak akan mengira kamu menunjukkan perasaan bencimu sejelas itu di depannya.” Marsha menaikkan sebelah alisnya, ekspresi yang tampak bingung serta jari telunjuk yang terus mengetuk di permukaan meja dengan gundah. “Memangnya kenapa kalau aku melakukan itu? Apa kamu merasa keberatan?” Lelaki itu menggeleng pelan. Ia sedikit menunduk dan mengaduk makanan dalam piringnya tanpa berniat menghabiskannya. “Itu karena aku sedikit merasa asing melihat kamu yang seperti itu.” Lirikkan Derren membua