“Marsha, jangan tinggalkan aku!” Derren berusaha mengejar langkah cepat istrinya memasuki kafe. Ia menghilang di telan banyaknya pelanggan yang antre di depan kasir untuk memesan minuman.
Derren yang kehilangan wanita, segera menyisir setiap sudut ruangan dengan menggunakan penglihatannya.Karena ini tempat umum dan bukan hutan, ia tak mungkin berteriak seperti mencari orang hilang di sepanjang jalan, bukan? Satu-satunya yang bisa ia andalkan hanya penglihatannya yang ter-fokuskan.“Ke mana ia pergi?” Derren naik ke lantai dua.Sementara orang yang tengah ia cari malah berada di salah satu bangku bagian tengah kafe. Ia yang mengenakan pakaian tidur, harusnya menjadi clue yang mudah untuk Derren. Namun karena banyak pengunjung, mungkin tubuh Marsha tenggelam di antaranya.“Marsha? Kenapa kamu ada di sini?” tanya Dena, menatap putri tunggal yang ia keluarkan dari rahimnya—menatap Dena dengan tatapan bengis.“Aku melihat Danie“Derren.” Bima melambaikan tangan meminta menantu bungsunya mendekat. Derren yang baru keluar dari kamar Marsha setelah memindahkan istrinya ke tempat tidur, kini telah menyiapkan mental untuk di sidang Ayah Mertuanya. Ia duduk di samping Bima yang duduk di sofa ruang tengah sambil menatap ke arah taman samping yang di terangi lampu bulat berwarna kuning yang membuatnya terlihat menarik. “Apa yang di lakukan Marsha hari ini? Apa ada masalah yang bisa aku bantu untuknya?” Bima mengembuskan napas lembut. Kekhawatiran lelaki itu terlihat tulus. Wajahnya yang keriput sedikit memberengut saat tahu ia tak pernah membantu Marsha akhir-akhir ini. “Semakin bertambahnya usiaku, anak-anakku semakin tak mau menyulitkan Ayah dan Ibu mereka. Mereka berusaha menyelesaikan semua masalah mereka sendiri walau harus mematahkan mental dan hati mereka.” Bima kembali membuang napas lembut. “Aku yakin tak ada pikiran untuk meminta bantuan dariku.
Klap .... Bima meninggalkan rumah Marsha dengan di kawal lelaki yang tak pernah di tahu oleh Derren. Ini pertama kalinya ia melihat Bima di kawal oleh seseorang—terutama dengan sangat ketat. “Hati-hati di jalan, Ayah.” Derren melambai dan melihat mobil yang di tumpangi Bima meninggalkan tempat. Adri, lelaki berusia 35 tahun yang menjabat sebagai sekretaris Bima, menatap Tuannya dengan tatapan aneh. “Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Bima melihat wajah sekretarisnya yang gelisah. “Saya ingin bertanya, Tuan Besar.” Adri yang duduk di sebelah sopir menoleh pada Bima yang duduk tepat di belakangnya. “Apakah lelaki yang saya temui tadi adalah suami Nona Marsha?” Bima mengangguk kecil. “Kenapa? Kamu merasa mengenalnya?” Ia memalingkan wajah dan menatap keluar jendela dengan menopang dagu pada bingkai kaca. “Bukan hanya kamu, seluruh orang di negara ini pasti mengetahuinya.” Tampaknya hal yang di takutkan Ad
“Akh ... bisa gila kalau seperti ini terus.” Diana menatap Dean yang diam dengan tatapan pasrah. Mereka terkurung dalam satu kamar yang cukup besar dengan fasilitas yang nyaman. Namun keduanya tak bisa keluar sebab pintu keluar kamar tersebut di jaga oleh orang-orang yang entah dari pihak mana. “Bagaimana kalau kita kabur saja? Kita bisa menggunakan koneksi kita untuk keluar dari tempat ini, kan?” Diana menatap Dean. Tatapan tajam nan menusuk itu terlihat mulai putus asa. “Jangan bertindak gegabah. Kau kira keluarga istriku akan membiarkan kita pergi dari sini dengan selamat? Seandainya kita memang bisa keluar dar sini, itu bukan karena kita berhasil melarikan diri. Namun karena pihak mereka yang melepaskan kita,” papar Dean. Diana mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Kalau begitu lakukan sesuatu pada keluarga istrimu itu. Bukannya kamu orang yang cukup berpengaruh di ko—“ “Kamu kira aku apa?” Dean menatap tajam. Wanita yan
Marsha duduk diam di samping ranjang Derren. Ia menatap Gama yang terus mondar-mandir di sisi seberang dari Marsha duduk dengan wajah yang tak kalah resah. “Gama, tidak bisakah kamu diam? Aku pusing melihatmu seperti itu,” omel Marsha mengembuskan napas kasar berulang kali. “Ada orang yang mau membunuh suamimu. Dan kenapa kamu sangat tenang seakan sudah tahu siapa yang melakukannya?” sergah gama, mendekati Marsha dan meminta penjelasan. Wanita itu hanya menghela napas panjang dan mengacuhkan Gama yang terus menatapnya dengan tatapan menuntut. “Jangan begitu, gama.” Zahra masuk ke dalam ruangan dengan beberapa perawat. “Karena kamu, adikku yang belum sembuh jadi tidak nyaman, kan?!” Wanita berhijab itu menghela napas kasar. Sementara Gama yang mendengar omelan itu hanya memalingkan wajah dan memilih duduk di sofa—sekedar memberikan ruang untuk para perawat melakukan tugasnya. “Keadaannya sudah stabil.” Marsha menjelaskan den
Brak! Marsha menatap ke dalam ruangan. Ia melihat Diana tengah di tenangkan beberapa perawat. Sementara lelaki yang menerobos masuk dan melakukan tindakan tak senonoh sudah di amankan oleh pihak keamanan. “Marsha.” Diana menatap murka. Seakan ia sedang menuduh wanita itu telah melakukan tindakan keji. Namun Marsha yang melihat itu hanya mengerutkan kening dan mengalihkan tatapannya pada lelaki berusia 40 tahunan yang menjadi tersangka. “Bawa ia keluar dan panggil pihak berwajib untuk menanganinya.” Marsha memerintahkan. Pihak keamanan segera mengangguk dan melaksanakan perintah Marsha dengan patuh. “Baik, Diretur.” Marsha mendekati Dian adan menatapnya lekat. Ia memastikan apakah wanita itu memiliki luka atau tidak di tubuhnya. “Ia mengalami kedera d bagian belakang lehernya, Prof.” Valerie menjelaskan dengan cekatan. Marsha berjalan lebih dekat dengan Diana dan menarik bahu wanita itu agar ia
“Katakan!” Derren dan Gama menatap Marsha dengan tatapan intens. Mereka sudah menunggu lebih dari satu jam agar wanita itu berbicara tentang kebenaran yang membuat keduanya bisa mati penasaran. “Kalau sekarang kamu sudah boleh jujur, kan? Jam kontrol dokter sudah lewat 15 menit yang lalu. Sudah tidak ada orang yang akan datang ke tempat ini untuk menjenguk Derren. Tak akan ada orang yang bisa menguping pembicaraanmu,” ujar Gama cukup gemas melihat bungkamnya Marsha. Wanita itu melirik kedua lelaki yang ada di depannya dengan tatapan penuh kepuasan. “Pembunuh yang di samarkan. Aku melihat salah satu anak buah kalian yang menghilang dan di gantikan oleh orang lain.” “Daniel menemukan ini i gudang penyimpanan barang lantai satu.” Marsha menunjukkan sebuah foto seorang lelaki tanpa busana—hanya mengenakan pakaian dalam—sedang meringkuk kedinginan sambil memeluk dirinya. Derren menatap istrinya yang memperlihatkan foto tak senon
“Jadi mau bagaimana sekarang?” Marsha memandang Derren dan Gama yang berpikir keras untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa mereka dengan wajah yang sangat serius. Namun tampaknya kedua lelaki itu menunggu penyelesaian dari Marsha yang sudah sering mendalami permasalahan seperti ini. Ya, Marsha adalah orang yang tepat. Di bandingkan Derren yang notabenya seorang tentara yang lebih suka memenggal langsung kepala musuhnya atau Gama yang lebih suka menyiksa langsung anak buah musuhnya dan meledakkan markas mereka, Marsha adalah orang yang paling normal untuk menangkap penjahat agar tetap dalam kondisi hidup dan dapat di adili dengan baik di pengadilan. “Bagaimana kalau kamu memberikan kami saran, Marsha? Aku yakin kamu jauh lebih bijak dari kami berdua hehe ...,” cicit Gama. Marsha memutar bola matanya malas dan mengambil dokumen di dalam tasnya. “Aku masih memiliki banyak sekali pekerjaan karena libur 1 minggu dari rumah sakit. B
“Kamu yakin memintaku untuk ini?” Gama menatap lurus pada Derren. Beberapa saat yang lalu anak itu mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal padanya. Gama yang tak bisa melakukan bela diri dengan benar ini malah di minta untuk menjaga Marsha dan secara pribadi di minta menginap di rumahnya—dengan status Gama yang merupakan mantan tunangan Marsha, Derren terlihat terlalu santai, bukan? “Tunggu ... jangan melucu!” Gama menunjukkan penentangan keras. Walau hal ini bisa di sebut keberuntungan saingan, namun yang seperti ini sangat tidak benar adanya. “Menginap di rumahmu untuk menjaga Marsha yang lebih pandai 10x lipat dalam pertarungan dari pada diriku? Terlebih lagi, ada 2 orang bodyguard dari pihak Mi yang menginap di sana.” Gama menatap sangar. “Sebenarnya kenapa kamu mengatakan hal gila seperti ini, Pak Derren? Aku benar-benar tidak dapat memahaminya dengan baik loh ....” Gama menoleh pada Marsha yang sedari tadi hanya diam dan memperhatika