Marsha memandang lelaki yang ada di depannya.
Ia masih tetap bungkam walau 10 menit berlalu. Bahkan makanan Marsha hampir habis sekarang.“Ibu ...." Marsha memanggil. “Sebenarnya apa yang ingin Ibu katakan? Anda bisa menyampaikannya, Bu.”Marsha memandang tulus. “Jika Ibu sulit untuk mengatakannya, Ibu bisa meninggalkan pesan. Saya akan membacanya jika ada waktu luang.”Rina menatap Marsha dengan tatapan bingung. “Aku akan menyampaikannya sekarang.”Marsha menatap serius. ”Baiklah.”“Ini tentang Ibu. Aku harap kamu tidak membocorkannya pada yang lain. Bisakah?”Marsha mengangguk pelan.”Saya akan melakukan itu. Tapi jika itu hal yang harus di katakan pada semua orang, saya tetap akan memberi tahu yang lain.”Rina kembali bimbang.Ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun ia tidak ingin yang lain tahu tentang itu.Ini adalah rahasianya.“Baiklah kalau begitu.” Rina bTok ... tok .... Marsha mengetuk pintu dengan pelan. Ia langsung masuk dan melihat pemandangan buruk di sana. “Tu-an Sean, ampuni saya.” Hans menyatukan tangannya di depan wajah. Ia memohon pada lelaki itu dengan tatapan prihatin. Bahkan Hans telah memegang kaki lelaki bernama “Sean” itu dengan erat. “A-ayah! Jangan mau mengalah dengan lelaki iblis sepertinya!” Marco berteriak marah. Lelaki muda itu menangis melihat sosok Ayah yang menyedihkan di bawah sana–tanpa menghiraukan kondisi dirinya yang di cekik oleh Sean hingga sulit bernapas. “Ini rumah sakit!” Marsha berucap dengan penuh tekanan. “Apa yang Anda lakukan pada pasien saya?!” ujarnya, marah. Melihat wajah Marsha yang tegang karena amarah, Sean tersenyum culas dan mendekatinya. “Ternyata inilah wanita yang berhasil lari dari maut.” Sean mencekal wajah Marsha. Meremasnya dengan kuat sampai rahangnya terasa n
“Kalian sudah membuka baju?” Marsha datang dengan membawa kotak obat. Ia memandang Yana dan Naya dengan tatapan nanar. Luka di tubuh kecil itu terlihat bertumpuk sebelum mengering dengan baik. “Kakak ngeri?” Naya mengajukan pertanyaan yang menyayat hati Marsha. Wanita berusia 25 tahun itu segera menggeleng dan duduk bersila di depan keduanya. “Aku pernah melihat orang dengan kondisi yang lebih mengerikan dari kalian. Kehilangan sebelah matanya. Mayat tanpa lidah atau kepala.” Marsha menyeka air matanya yang sempat menetes dengan cepat. Ia mendudukkan kepala. Tak kuasa menahan tangis melihat betapa rusaknya tubuh kedua anak ini. “Bagiku, tubuh kalian lebih berharga dari pada barang-barang itu.” Marsha memandang keduanya dengan mata merah dan air mata yang berlinang. “Lain kali, tolong biarkan saja mereka pergi dan jangan biarkan tubuh kalian mendapatkan luka.” “Kalian mengert
“Bagaimana? Mama menjahitnya dengan baik, bukan?” Dena memandang Marsha yang bercermin dan melihat hasil jahitannya di kepala mungil itu. “Tidak terlalu buruk.” Marsha menghela napas lelah dan mengusap beberapa bagian wajahnya yang memiliki jejak darah yang hampir mengering. “Mama tahu siapa pelaku di balik insiden ini?” tanya Marsha, tanpa memandang wajah lawannya. Ia sibuk membereskan peralatan medis yang telah di gunakan Dena dan membuangnya ke tempat sampah. “Entahlah, Mama juga tidak tahu.” Dena memandang Marsha dengan tatapan menyelidik. “Bukannya kamu yang memiliki ‘clue’ untuk insiden hari ini?” Dena menunjuk pintu di pojok ruang kerja Marsha dengan gerakan dagu–yang jelas, ruangan itu isinya bukanlah kamar mandi. “Kamu orang yang teliti. Sudah pasti kamu mengamati kami setiap saat,” ucap Dena, tajam. Marsha menatap bilik kamar yang di tunjuk Dena dan tersenyum masam. “Sekeras apa pun a
Derren mengerutkan keningnya dalam. Ia tak mengerti perkataan wanita cantik di hadapannya ini. “Maksud Anda dengan Adik Ipar?” Derren memandang Nada dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Saya rasa Anda tidak mirip dengan Marsha atau Kak Zahra? Dan saya belum mendengar kabar dari Marsha kalau Kakaknya akan berkunjung.” Nada mengeluarkan ponselnya–hendak menghubungi Marsha untuk meyakinkan Derren tentang identitasnya. Tapi sayangnya, ponselnya mati. “Aih, ponselku mati. Bisakah kamu menghubungi wanita tengil itu?” Nada meminta dengan santai. Tampaknya, wanita ini lebih lugas dan santai dari pada Zahra. “Baiklah.” Derren mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan. “Marsha, apa kamu punya Kakak Perempuan lain, selain Zahra?” [Ya, aku punya. Kenapa kami tiba-tiba bertanya?] Marsha diam beberapa saat sebelum membulatkan mata. [Jangan bilang wanita itu sudah kembali dan sekarang ada di rumahku?!]
Setelah makan malam, Bima langsung pulang–meninggalkan rumah Marsha sebelum si pemilik rumah pulang. Karena Bima ingin bersama Aini, Nada pun harus terpaksa ikut pulang, padahal ia masih ingin berada di sana untuk bertemu Marsha setelah sekian lama. “Terima kasih untuk makan malamnya. Aku tidak tahu kamu adalah koki yang hebat.” Nada memberikan sebuah buah tangan padanya. “Dan jangan lupa memakai hadiahku pada acara besok malam.” Derren melihat apa yang ada di dalam tas besar yang di berikan Nada. “Setelan jas? Apakah besok ada acara resmi?” Nada mengerutkan keningnya. “Kamu belum mendengarnya dari Marsha? Besok ada acara amal yang diadakan oleh Perusahaan Asland.” “Marsha belum mengatakannya padaku. Hem ... mungkin ia lupa karena akhir-akhir ini Marsha banyak pekerjaan. Nanti akan saya tanyakan.” Nada mengangguk paham dan melihat sebuah mobil Fortune masuk ke dalam halaman luas nan berkelas rumah bentuk Villa ini.
Derren menegak segelas wine perlahan-lahan, seakan ia tahu bagaimana menikmati pesta seperti ini dengan berkelas. “Anda juga datang, Pak?” Sapa seorang lelaki berkulit putih dengan sedikit keriput di wajahnya, mendekat ke arah Derren dengan senyum lembut. Derren dan lelaki itu melakukan cheers pada gelas mereka. “Senang bertemu dengan Anda setelah sekian lama, Pak.” Derren menyapa balik dengan tak kalah ramah. Sepertinya, Marsha mulai tidak nyaman di ujung sana. Ia terus melirik Derren yang lebih menikmati pesta dengan kenalannya, dari pada ia yang terus dikenalkan dengan kolega bisnis baru oleh sang Ayah. “Suamimu–“ Zahra mendekat pada telinga Marsha dan berbisik. “Terlihat akrab dengan Kepala Sekolah Akademik Waston. Apakah mereka berdua mengenal dengan baik?” Marsha mendorong wajah Zahra agar menjauh darinya. “Bicara saja dari sana. Jangan dekat-dekat!” omelnya. Ia memandang Derren yang perl
“Aku pusing.” Derren menuntun Marsha duduk di pinggir pesta. Ia mendudukkan wanita itu di atas balkon dan memeluk pinggangnya–memegangnya dengan aman. “Kamu terlalu banyak minum alkohol, Marsha. Tentu saja kamu merasa pusing sekarang.” Derren berucap dengan nada lembut. Ia berhasil membuat Marsha sangat tenang dan hanya memandang wajahnya berlama-lama. “Tampannya.” Derren tersenyum. “Tentu saja. Hari ini aku mendapatkan servis dari istriku. Pasti aku sangat tampan hari ini.” Marsha ikut tersenyum. Pipinya yang merah karena alkohol membuat wajahnya terlihat menggemaskan saat bersikap malu-malu. “Aku ingin muntah!” Seketika senyuman keduanya lenyap. Dengan sigap Derren menurunkan Marsha dari atas balkon dan menadahkan tangannya di depan mulut wanita itu. “Muntahlah.” Marsha memandang kedua telapak tangan Derren yang menyatu di depan mulutnya dengan tatapan
Gama menyelam. Ia mencari bungkusan hitam yang di lempar para penculik itu ke dalam laut. Air dingin yang menyelimuti dirinya, perlahan-lahan membuat semua ototnya mengigil dan membeku. Hanya demi wanita yang tak mencintainya, ia bisa melakukan hal sebodoh ini. Gama sendiri cukup salut dengan pengorbanannya. “Di mana benda itu berada?” Gama menyelam semakin dalam. Ia melihat apa yang ia cari tengah bergerak semakin tenggelam di dalam sana. Ia mendekati benda itu dan mengoyaknya sekuat tenaga. “Kamu baik-baik saja?” tanya Gama dalam bahasa isyarat begitu melihat Derren keluar dari sana dan menendang pembungkus yang membelenggu dirinya menjauh dari mereka. Wajah lelaki itu terlihat panik. Ia segera menyeret Gama untuk berenang cepat menghindari pembungkus itu. “Apa yang terjadi?” tanya Gama, tetap menggunakan bahasa isyarat. Derren membuat bentuk lingkaran bersumbu dengan sebe