Setelah makan malam, Bima langsung pulang–meninggalkan rumah Marsha sebelum si pemilik rumah pulang.
Karena Bima ingin bersama Aini, Nada pun harus terpaksa ikut pulang, padahal ia masih ingin berada di sana untuk bertemu Marsha setelah sekian lama.“Terima kasih untuk makan malamnya. Aku tidak tahu kamu adalah koki yang hebat.” Nada memberikan sebuah buah tangan padanya. “Dan jangan lupa memakai hadiahku pada acara besok malam.”Derren melihat apa yang ada di dalam tas besar yang di berikan Nada. “Setelan jas? Apakah besok ada acara resmi?”Nada mengerutkan keningnya. “Kamu belum mendengarnya dari Marsha? Besok ada acara amal yang diadakan oleh Perusahaan Asland.”“Marsha belum mengatakannya padaku. Hem ... mungkin ia lupa karena akhir-akhir ini Marsha banyak pekerjaan. Nanti akan saya tanyakan.”Nada mengangguk paham dan melihat sebuah mobil Fortune masuk ke dalam halaman luas nan berkelas rumah bentuk Villa ini.Derren menegak segelas wine perlahan-lahan, seakan ia tahu bagaimana menikmati pesta seperti ini dengan berkelas. “Anda juga datang, Pak?” Sapa seorang lelaki berkulit putih dengan sedikit keriput di wajahnya, mendekat ke arah Derren dengan senyum lembut. Derren dan lelaki itu melakukan cheers pada gelas mereka. “Senang bertemu dengan Anda setelah sekian lama, Pak.” Derren menyapa balik dengan tak kalah ramah. Sepertinya, Marsha mulai tidak nyaman di ujung sana. Ia terus melirik Derren yang lebih menikmati pesta dengan kenalannya, dari pada ia yang terus dikenalkan dengan kolega bisnis baru oleh sang Ayah. “Suamimu–“ Zahra mendekat pada telinga Marsha dan berbisik. “Terlihat akrab dengan Kepala Sekolah Akademik Waston. Apakah mereka berdua mengenal dengan baik?” Marsha mendorong wajah Zahra agar menjauh darinya. “Bicara saja dari sana. Jangan dekat-dekat!” omelnya. Ia memandang Derren yang perl
“Aku pusing.” Derren menuntun Marsha duduk di pinggir pesta. Ia mendudukkan wanita itu di atas balkon dan memeluk pinggangnya–memegangnya dengan aman. “Kamu terlalu banyak minum alkohol, Marsha. Tentu saja kamu merasa pusing sekarang.” Derren berucap dengan nada lembut. Ia berhasil membuat Marsha sangat tenang dan hanya memandang wajahnya berlama-lama. “Tampannya.” Derren tersenyum. “Tentu saja. Hari ini aku mendapatkan servis dari istriku. Pasti aku sangat tampan hari ini.” Marsha ikut tersenyum. Pipinya yang merah karena alkohol membuat wajahnya terlihat menggemaskan saat bersikap malu-malu. “Aku ingin muntah!” Seketika senyuman keduanya lenyap. Dengan sigap Derren menurunkan Marsha dari atas balkon dan menadahkan tangannya di depan mulut wanita itu. “Muntahlah.” Marsha memandang kedua telapak tangan Derren yang menyatu di depan mulutnya dengan tatapan
Gama menyelam. Ia mencari bungkusan hitam yang di lempar para penculik itu ke dalam laut. Air dingin yang menyelimuti dirinya, perlahan-lahan membuat semua ototnya mengigil dan membeku. Hanya demi wanita yang tak mencintainya, ia bisa melakukan hal sebodoh ini. Gama sendiri cukup salut dengan pengorbanannya. “Di mana benda itu berada?” Gama menyelam semakin dalam. Ia melihat apa yang ia cari tengah bergerak semakin tenggelam di dalam sana. Ia mendekati benda itu dan mengoyaknya sekuat tenaga. “Kamu baik-baik saja?” tanya Gama dalam bahasa isyarat begitu melihat Derren keluar dari sana dan menendang pembungkus yang membelenggu dirinya menjauh dari mereka. Wajah lelaki itu terlihat panik. Ia segera menyeret Gama untuk berenang cepat menghindari pembungkus itu. “Apa yang terjadi?” tanya Gama, tetap menggunakan bahasa isyarat. Derren membuat bentuk lingkaran bersumbu dengan sebe
Marsha menatap sekeliling dengan waspada. Ia ingat terakhir kali, 2 orang menculik dan di sinilah ia berada–dalam keadaan terikat di sebuah tiang. “Anda sudah bangun?” Lelaki bertopi hitam berjalan mendekat. Wajah keriput karena luka, bola mata besar yang menonjol dan senyum menakutkan khas penjahat tingkat psikopat. “Wah ... mata saya akan baik-baik saja, kan?” celetuk Marsha, tak ada takut-takutnya. “Apa maksud perkataanmu?” Marsha hanya mengangkat bahunya tak acuh dan memalingkan wajahnya, seakan ia tidak peduli pada respons lelaki itu. “Andai saja aku di tugaskan untuk membunuhmu, sekarang pasti aku sudah memisahkan kepalamu dari badan kurus kering itu,” sarkas lelaki bertopi itu, dengan sorot mata yang sangat mengerikan. Marsha tak terlalu menghiraukannya dan hanya diam. Kini sorot matanya tak kalah tajam dengan lelaki yang terus mengawasinya dari jarak 10langkah itu. “Jangan meremehkan o
“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Tuan Bridam, menatap Zahri yang terdiam sepanjang hari. Zahri segera tersadar dari lamunannya dan memandang Bridam, Derren dan Anis yang menatapnya dengan tatapan selaras. “Kenapa? Kamu masih memikirkan kejadian kemarin?” tanya Anis, menembak. Zahri mengangguk. “Iya. Banyak hal yang janggal. Pola permainan mereka terlalu acak, bukan?” Zahri menatap Derren yang tampaknya memiliki pendapat yang sama. “Anda pasti curiga dengan hal itu, kan, Pak?” “Sedikit. Tapi semuanya baik-baik saja. Aku sudah cukup lega dengan hal itu,” jawab Derren. “Saya melihat ada lelaki di sekitar Istri Anda. 3 orang lelaki yang mengawasinya setiap saat.” Derren diam. Ia bukannya tak tahu pasal itu. Sebagai orang yang tinggal serumah dengan Marsha, tentu ia mengetahui banyak kejanggalan dengan wanita itu. Tapi ia selalu menahan diri untuk tidak mencari tahu. Karena mereka hanya menikah kontrak dan uru
“Kamu banyak diam akhir-akhir ini, Naya. Kamu punya masalah?” Lelaki berwajah manis dengan potongan rambut bergaya “Blow Cut” itu berjalan mengikuti langkah Naya yang terburu-buru meninggalkan kelas. “Ya? Memang terlihat sangat kentara?” tanya Naya, menatap wajah tampan lawan bicaranya, dengan ujung jari yang menyapu lembut pipi bagian kirinya. Lelaki itu mengangguk. “Jika ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, kamu bisa mengatakannya padaku.” Naya menatap ragu. Walau ia tidak memiliki seorang teman yang baik di sisinya, ia masih memiliki lelaki ini untuk bercerita. “Jika aku menceritakan kisahku, kamu mau merahasiakannya dengan baik?” Lelaki itu tersenyum lebar. “Bukannya aku orang yang paling rapat menutup mulut jika kamu membagi sesuatu?” Naya tersenyum manis. “Mungkin sudah waktunya aku mengenal kamu dengan baik sebagai seorang teman.” Senyum cerah terpahat di wajah tampan anak
“Aku belum memastikan kondisimu.” Marsha memandang Derren yang tertidur di sofa–bermalas-malasan, dengan tatapan lurus. “Kamu baik-baik saja?” Derren menatap Marsa yang duduk di seberang meja dengan tatapan mengamati. "Sudah sehari berlalu. Bukannya kamu terlalu lambat mengajukan pertanyaannya?” Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Kamu tahu aku sibuk. Maafkan aku.” Derren menghela napas kasar. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit meriang karena masuk ke laut terlalu lama. Bagaimana denganmu? Aku lihat pergelangan tangan kamu sampai memerah.” Derren melihat bekas merah yang mulai memudar di pergelangan tangan Marsha dengan tatapan teliti. “Apakah masih sakit?” tanya Derren. Marsha menatap kedua pergelangan tangannya sejenak, lalu tersenyum masam. “Tidak. Sudah tidak berasa. Hanya bekas merahnya saja yang belum hilang. Kamu jangan khawatir.” Derren turun dari sofa dan duduk berhadap
Klak .... Marsha membuka sebuah lemari pakaian tua yang ada di pojok kamar Derren. Ia melihat jajaran senjata api yang tergantung dengan rapi. Di bawahnya, berbagai macam peluru dan senjata tajam tertata tak kalah rapi. Salah satu pistol telah di curi Marsha. Untuk alat pengaman. Entah Derren tahu atau tidak, yang jelas, ia tidak pernah melihat Derren mencari barang yang telah di curinya itu. “Ia memang seorang prajurit!” gumam Marsha, memandang berbagai macam senjata api yang tidak di kenali type-nya oleh Marsha. Marsha menutup lemari itu dan beralih ke meja belajar Derren. Ia membuka setiap laci–seakan sedang mencari sesuatu. Padahal, sebenarnya Marsha hanya ingin melihat-lihat. Beberapa dokumen tentang dirinya dan keluarnya. Satu berkas tebal tentang perusahaan Gama. Bahkan ada berbagai macam alamat rentenir beserta kontak dan bio data anggotanya, yang meminjamkan uang pada Ayah dan Ibunya. “Hahahaha, aku kira