Klak ....
Marsha membuka sebuah lemari pakaian tua yang ada di pojok kamar Derren.Ia melihat jajaran senjata api yang tergantung dengan rapi. Di bawahnya, berbagai macam peluru dan senjata tajam tertata tak kalah rapi.Salah satu pistol telah di curi Marsha. Untuk alat pengaman. Entah Derren tahu atau tidak, yang jelas, ia tidak pernah melihat Derren mencari barang yang telah di curinya itu.“Ia memang seorang prajurit!” gumam Marsha, memandang berbagai macam senjata api yang tidak di kenali type-nya oleh Marsha.Marsha menutup lemari itu dan beralih ke meja belajar Derren. Ia membuka setiap laci–seakan sedang mencari sesuatu. Padahal, sebenarnya Marsha hanya ingin melihat-lihat.Beberapa dokumen tentang dirinya dan keluarnya. Satu berkas tebal tentang perusahaan Gama. Bahkan ada berbagai macam alamat rentenir beserta kontak dan bio data anggotanya, yang meminjamkan uang pada Ayah dan Ibunya.“Hahahaha, aku kiraGama menoleh ke belakang. Ia tidak menemukan Marsha di sana. Ia menelisik semua area dan melihat Marsha di seret 2 orang wanita berpakaian hitam pergi menjauh darinya. Gama berlari sekuat tenaga. Ia mengejar Marsha dan berhasil menyusul. Greb! Gama menggenggam tangan Marsha dan menariknya dari belenggu kedua wanita yang tidak ia tahu identitasnya. “Siapa kalian?” tanya Gama, menatap tajam kedua wanita yang terlihat gentar begitu melihatnya. “Ka-kami ....” “Kabur bodoh! Ia akan memenjarakan kita!” seru teman satunya, menggandengnya untuk berlari pergi. Gama menghela napas kasar. Ia melihat Marsha yang tertekan dengan situasinya. “Kamu takut?” tanya Gama. Marsha memandang wanita itu dengan tatapan datar. “Bahkan sekarang aku ingin mematahkan leher mereka.” Marsha menunjukkan tangannya yang mengepal erat pada Gama–membuat lelaki itu menatanya ngeri. “Aku bar
“Kamu membenciku?” Marsha mengerutkan keningnya sepanjang perjalanan pulang. Ia berpikir keras tentang itu. Ia tidak mengira jika Gama akan sangat jujur atas perasaannya pada dirinya. “Apa yang di pikirkannya?” Marsha menimang apa yang mengubah sikap Gama. Sikap pemberontak itu sangat tidak cocok dengan Gama yang tenang dan tegas. “Apa ia sangat frustrasi?” Marsha menggelengkan kepala. Berusaha menepis semua perkataan itu dari kepalanya. Tapi yang di ingat Marsha hanya raut wajah Gama yang tampak buruk. Tok ... tok .... Marsha menoleh pada seorang lelaki yang berdiri di balik pintu mobil taksinya. Lelaki itu mengenakan seragam kerjanya—kemeja putih serta celemek putih yang belum ia lepas. “Kamu tidak keluar? Kasihan sopirnya kalau menunggu kamu selesai melamun,” ucap Derren, menatap lurus pada Marsha. Marsha terkejut dengan kehadirannya dan melihat Derren dengan kedua mata y
Gama memilah beberapa kandidat sekretaris dengan teliti. Ia harus mencari wanita yang kompeten untuk sekretaris di kantor. “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda menemukan orang yang cocok?” tanya Vian, sekretaris pribadi Gama. “Tidak ada yang memenuhi kualifikasiku.” Gama menatap Vian. “Kamu tidak punya orang lain? Orang kekurangan lebih baik. Mereka akan mudah di cuci otaknya.” Vian terdiam beberapa saat. Ia mengingat seseorang wanita paruh baya yang cukup hebat dalam pekerjaannya. “Saya kenal seseorang. Tapi Anda harus merekrutnya secara langsung. Ia orang yang pandai. Hanya saja ....” “Apa?” Gama memiringkan kepalanya. “Kenapa dengan orang itu?” “Ia sudah cukup tua untuk menjadi seorang sekretaris.” “Benarkah? Berapa usianya??” Vian menggaruk tengkuknya canggung. “41 tahun.” Gama menganga kaget. Ia tidak menyangka Vian akan menyarankan seorang sekretaris lansia padanya. “Yang benar saja. M
“Derren?” Marsha mengerutkan keningnya bingung melihat Derren sudah berpakaian rapi, padahal ia bilang kalau hari ini ia tidak akan pergi keluar, kecuali kencan dengannya. Derren yang merasa di panggil pun menoleh. Ia melihat ke arah tangga. “Ya? Kamu sudah bangun? Aku sudah buatkan sarapan untuk kamu dan dua adikku.” Marsha mendekatinya. Ia berdiri di belakang punggung Derren yang memaki sepatu bots, di belakang pintu. “Kamu lupa nanti kita akan ke mana?” tanya Marsha, sedikit canggung. Mengingat ia seperti sedang merengek agar lelaki itu tidak pergi. “Tidak kok. Aku akan pulang sebelum jam 11. Aku hanya keluar sebentar Marsha. Kamu jangan risau,” ucapnya, menenangkan sang istri. Walau sulit untuk percaya, Marsha hanya mengangguk kecil dan mengantar kepergian lelaki itu sampai ke depan gerbang rumah mereka. Marsha mengerutkan kening begitu ia melihat suaminya naik ke atas sepeda Naya
Derren menyugar rambutnya kasar dan menatap Tama dengan tatapan buruk. “Nona Lea?” “Heh, aku tidak percaya kamu tetap memanggilnya dengan awalan ‘nona’ setelah tahu kegilaannya selama ini.” Tama hanya memalingkan pandangannya dan menyembunyikan pipi meronanya, karena malu. “Ya, perasaan suka pada seseorang pasti akan sulit di kendalikan.” Derren menghela napas panjang nan berat. “Aku akan berusaha mengerti kamu.” “Ehem, terima kasih, Pak.” “Lalu apa yang akan Anda lakukan dengan mereka, Pak? Bahkan Tuan Sean juga terlibat dengan hal ini.” Andika berasumsi. Ia tahu kalau lawan mereka hanya “Lea” atasannya itu tidak akan terlalu memusingkannya. Karena ia bukan orang penting yang bekerja untuk negara. Namun lain cerita jika Tuan Sean—ayah Lea! Ia adalah orang berpengaruh di negara mereka. Jasanya sangat di kenang masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi dalam dunia pendidikan.
Brak! Marsha membulatkan matanya. Ia melihat seorang anak lelaki berdiri di depannya—di seberang sana—dengan air mata berlinang. “A-apa yang terjadi padanya?” tanya Marco, gemetar. Marsha mengerutkan keningnya. Ia memandang ke luar ruangan dan ada seorang anak lelaki lain yang ada di sana. Namun ia tak masuk dan hanya berdiri di depan pintu dengan posisi berjongkok—melihat keadaan Yana dan Derren dengan cemas. “Derren.” Marsha memanggil dengan suara tegas. Sorot matanya bahkan terlihat sangat dingin dan menusuk. “Ya, Marsha?” Derren bangun dari tempatnya berdiri dan masuk ke dalam ruangan. Tatapannya terus tertuju pada sang adik yang tertidur pulas dengan kondisi pucat di bawah perawatan Marsha. “Bawa anak lelaki ini keluar! Aku tidak mau melihatnya!” perintahnya. Marco membulatkan matanya. Ia melihat sorot kebencian di mata wanita cantik itu dengan sanga
“Aku kembali.” Derren masuk ke dalam rumah dan melihat beberapa kardus berisi furnitur di depan pintu masuk. Derren masuk ke dalam. Melihat, apakah Marsha ada di dalam rumah atau tidak? “Marsha?” panggil Derren, tidak melihat kehadiran wanita itu di dalam ruang kamar, dapur atau kerjanya. “Marsha? Kamu kelua—“ Tuk ... Derren melihat ke bawah kakinya. Ia melihat sepasang tangan sedang menjulur ke depan dengan pemilik tubuh yang terkapar dengan posisi tengkurap di atas karpet berbulu di depan ruang TV. “Kamu tidak punya kamar?” Derren berkacak pinggang dan sesekali menyenggol tangan Marsha dengan ujung kakinya. Tapi wanita itu tidak bergerak dan hanya terus bernapas dengan keras—mendengkur. Derren menghela napas kasar dan membalik tubuh Marsha. Betapa terkejutnya ia melihat kedua lubang hidung Marsha telah mengeluarkan darah dalam posisi tertidur. “Astaga, sebenarnya
Philophobia adalah ketakutan untuk jatuh cinta atau menjalani hubungan dengan orang lain. Philophobia lebih umum dialami oleh orang yang memiliki trauma atau luka masa lalu. Orang-orang yang harus menyaksikan perceraian orang tuanya, mengalami segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga atau penganiayaan di rumah saat masih kecil, mungkin enggan untuk menjalin hubungan atau kedekatan dengan orang lain yang akan melakukan hal yang sama pada mereka. Lantas Marsha memiliki penyakit tersebut sejak perceraian sang Ayah kandung dan Ibunya. Setelah mendengar perkataan Derren, tubuhnya mulai gemetar hebat. Ada rasa mual di sertai ritme jantung yang tidak beraturan. Bats! Marsha mendorong Derren untuk mundur. Ia menatap lelaki itu dengan raut wajah yang tidak baik. “Apa yang baru aku dengar?” Suara Marsha gemetar. Keringat dingin dan sorot matanya yang ketakutan membuat Derren terdiam. “Maaf.”