Philophobia adalah ketakutan untuk jatuh cinta atau menjalani hubungan dengan orang lain.
Philophobia lebih umum dialami oleh orang yang memiliki trauma atau luka masa lalu. Orang-orang yang harus menyaksikan perceraian orang tuanya, mengalami segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga atau penganiayaan di rumah saat masih kecil, mungkin enggan untuk menjalin hubungan atau kedekatan dengan orang lain yang akan melakukan hal yang sama pada mereka.Lantas Marsha memiliki penyakit tersebut sejak perceraian sang Ayah kandung dan Ibunya.Setelah mendengar perkataan Derren, tubuhnya mulai gemetar hebat. Ada rasa mual di sertai ritme jantung yang tidak beraturan.Bats!Marsha mendorong Derren untuk mundur.Ia menatap lelaki itu dengan raut wajah yang tidak baik.“Apa yang baru aku dengar?”Suara Marsha gemetar.Keringat dingin dan sorot matanya yang ketakutan membuat Derren terdiam.“Maaf.”Derren menoleh ke belakang dan melihat Yana tengah masuk ke dalam rumah dengan pakaian serba hitam. Yang membuat Yana dan Derren bingung adalah Marsha yang tiba-tiba berteriak sampai menangis dan memeluk Derren dengan erat. “Marsha? Kamu kenapa? Itu hanya Yana. Kamu pikir apa?” tanya Derren, membantu Marsha untuk tenang dengan menepuk punggungnya beberapa kali dalam posisi berpelukan. Marsha menghentikan tangisnya dan melihat ke arah Yana yang diam dengan tatapan syok—syok melihat Marsha yang begitu takut melihatnya. “Kakak kenapa? Aku baru saja olahraga. Mangkanya pakai baju serba hitam.” Yana berjalan mendekat dan melepaskan hoodie yang menutup kepala serta masker hitam yang menutup wajahnya. “Kakak baik-baik saja?” tanyanya, cemas, melihat wajah Marsha yang begitu pucat dengan tubuh yang gemetar. Marsha menghela napas lega. Namun ia kesulitan mengatur napas dan tetap berada di dalam posisinya dengan nyaman—dudu
Brak! Derren menyerahkan dokumen yang di berikan istrinya pada 2 orang kacung yang telah menjadi budaknya selama 3 minggu terakhir. Tama mengerutkan kening. “Apa ini?” Andika melirik kertas yang ada di meja dengan tatapan selaras. “Apa Anda menemukan buktinya?” Derren menggelengkan kepalanya. “Bukan aku. Dan ini juga bukan bukti. Ini hanya alamat seseorang yang selama ini kita cari!” jelasnya. Andika membuka isi dokumen itu dan meletakkannya di meja secara berurutan. “Jangan bilang Anda punya agen lain selain kami.” Andika memicingkan mata. “Ia lebih detail dari kami. Kenapa Anda tidak meminta ia menyelesaikan misi ini saja?” Tama mengangguk setuju. “Benar ... benar ... sepertinya ia lebih hebat dari kami, kan?!” “Tidak bisa.” Derren menolak dengan tegas. “Ia bukan agen yang bisa aku pekerjaan karena suka dengan uang seperti kalian.” “Pokoknya, jangan mengharapkan informasi bocoran seperti ini
Naya membuka mata. Tak ada seorang pun yang ada di dalam pandangannya. Ia mengalihkan tatapan ke arah jendela dan kembali terpejam melihat cahaya senja menyusup masuk di balik tirai tipis yang menutup semua gordennya. “Kamu bangun?” Marco menatap dari sisi seberang. “Kamu tidak haus?” Naya kembali membuka mata dan menoleh pada Marco yang mengambil segelas air untuknya. Dengan sabar Marco memberinya minum dengan bantuan sedotan. Naya menghela napas panjang nan lembut sambil melihat langit-langit kamar yang bernuansa biru laut. “Kenapa kamu datang?” tanya Naya, tanpa menatap lawan bicaranya. Marco tampak gelisah. Tampaknya Naya juga marah kepadanya. “Tidak ada. Aku hanya ingin minta maaf karena tidak memperhatikan kamu akhir-akhir ini.” Marco menundukkan kepala. Ia terlihat sangat bersalah. “Aku tidak akan tahu kamu melakukan hal gila karena sebuah gosip.”
Tin ... tin .... Andika membunyikan klakson. Ia menatap seorang lelaki berusia 21 tahun tengah melamun di depan pintu rumah sakit dengan beberapa wanita yang mengelilinginya. “Apa yang di lakukan anak itu?” Tama menatap dari balik jendela kursi belakang. “Tebar pesona?” pekiknya. Rio, lelaki yang duduk di samping sopir—Andika, membuka jendela tempatnya duduk dan melongok keluar. “Woi, Pak!!” teriaknya, tanpa tahu malu. Derren segera tersadar dari lamunannya dan melihat ke arah mereka. Ia bergegas pergi, namun Marsha mencegat langkahnya. Dua orang itu mengobrol sebentar. Tama menerima sesuatu dari Marsha, sebelum meninggalkan wanita itu pergi meninggalkannya. “Apa yang di berikan istrimu?” tanya Tama. Ia melihat kehadiran Derren di sampingnya dengan kening berkerut samar. Derren memberikan masing-masing kepada mereka. Sebuah alat berbentuk headphone. “Ah, aku lupa membawanya.
Brak! Derren, Andika, Rio dan Tama terkejut mendengar suara keras notebook yang di banting di atas meja oleh seorang detektif perempuan bernama Gina. Paras cantik dan manis itu terlihat sangat garang ketika kedua alisnya menyatu di tengah kening. Sorot mata tajam senantiasa menusuk pada keempat orang yang di tuding sebagai pelaku pembunuhan berencana. Namun sepanjang interogasi berlangsung, keempat orang itu menutup mulutnya rapat-rapat dan membuat pihak kepolisian semakin curiga. “Kalian akan tetap diam?” Gina menelisik setiap sorot datar empat orang lelaki di depannya. “Saya ingatkan sekali lagi. Namun hukum Desa Bonglon berbeda dengan kota kebanyakan. Kami tidak pernah melepaskan pelaku pembunuhan, tikus negara apalagi kelompok pembunuh seperti kalian!” “Anda tidak memiliki bukti bahwa kami adalah seorang ‘pelaku’. Lalu bagaimana Anda bisa sangat yakin jika kami adalah orang yang membunuh keduanya?” Andika buka
Marsha memesan banyak makanan lezat untuk Derren dan teman-temannya. Setelah membayar semua makanan itu, Marsha tidak bergabung dengan mereka—melainkan keluar dari restoran dan duduk di dekat pohon besar yang ada di depan restoran tersebut. Tik! Pematik api menyala. Benta itu hendak menyulut ujung tembakau yang di linting oleh wanita berusia 25 tahun yang terlihat kesepian di tengah angin malam sejuk. “Apa yang ingin Anda lakukan.” Tama menyahut pematik itu dan membuangnya begitu jauh agar Marsha tidak bisa mencarinya. Ia bahkan merebut lintingan tembakau di tangan wanita tersebut dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada tepat di sebelahnya. Hufff .... “Apakah seperti ini karakter Anda?” Tama memicingkan mata. Ia melihat Marsha yang tengah tersenyum cantik dengan sedikit menundukkan kepalanya karena malu mendengar omelannya—dengan tatapan tajam. “Apa Atasan saya tahu
Satu hantaman berhasil mengenai wajah Marco. “Lo kasar ke cowok aja. Ngapain lo kasar ke cewek? Lo gak sadar yang lo bentak itu anak umur 11 tahun, hah? Gak malu lo sama umur!” Naya mengerutkan kening dan benar-benar bangun setelah mendengar suara tangis adiknya dan suara teriakkan Wilhem yang memekakkan telinga. “Udah-udah! Kalian ngapain sih?!” marah Naya. Namun suaranya yang kalah kencang dengan Marco dan Wilhem yang saling cek-cok di depan sana, membuat Naya mengambil jalan yang lebih kasar untuk melerai keduanya. BUK! Bantal di lempar begitu keras sampai membuat Marco atau Wilhem terentak mundur selangkah dari posisinya. “Berisik lo pada. KELUAR!!” teriak Naya, penuh emosi. Marco dan Wilhem langsung berjalan keluar dengan terburu-buru dan menutup pintu kamar tersebut dengan cepat. “Kamu lihat wajahnya?” Marco mengangguk. “Menyeramkan.” Naya menghela napas kasar dan mela
“Ayah. Ayah!” Lea berlari masuk ke dalam ruang kerja Sean dengan senyum mengembang sempurna. Di tangan wanita itu telah ada sebuah kotak besar yang baru saja di kirim oleh kantor pos. “Ayah sungguh membelikan aku benda itu?" Lea duduk di sofa single dan mulai membuka bingkisannya dengan semangat. “Karena putri Ayah yang meminta, bagaimana Ayah tidak menurutnya?” jawab Sean, bergabung dengan Lea di tengah-tengah ruangan. “Kamu baru saja pulang dari bekerja. Apakah tidak mau istirahat dulu baru membuka benda itu?” Lea menggeleng antusias. “Aku akan mencobanya terlebih dahulu baru pergi istirahat!” Sean mengusap lembut puncak kepala putrinya dan melihat Lea mengeluarkan beberapa senapan dan pisau lipat. “Ini sesuai yang aku mau. Terima kasih, Ayah!” Sean hanya mengangguk dan melihat Lea mulai memasang peluru dan menodongkannya ke sebuah pigura. DOR! Pigura i