Part 39
"Biar Bang Riswan yang memutuskan, apakah dia bisa bersikap adil atau tidak."
Maharani tersentak, tubuhnya mendadak gemetar, dia tidak menyangka jika Risma mampu mengetahui isi hatinya.
"Maafkan saya, Mbak Risma, maafkan saya," lirihnya, tangisnya terdengar menyedihkan. Risma pun mulai ikut menangis.
"Saya tidak mungkin menolak apa yang Allah perbolehkan, para Nabi-nabi pun tidak ada yang berani menentang. Mbak Rani seseorang yang lebih dulu mengenal Bang Riswan dibandingkan saya, berhak untuk mengetahui keputusan apa yang akan diambil oleh suami saya nanti." Terdiam sesaat Risma, sebelum akhirnya melanjutkan bicara.
"Bang Riswan sudah memiliki kriteria untuk memiliki lebih dari satu istri, jadi biarkan Bang Riswan yang memutuskan tanpa ada tekanan dari kita berdua, hanya saya minta, apa pun keputusan suami saya nanti, kita berdua harus ikhlas ya, Mbak." Maharani mengangguk, sembari mengusap air matanya.
"Mari kita temui Bang Riswan
Samsiah yang memang juga sedang jengkel, membiarkan Ela menumpang menangis di rumahnya. Dia sendiri sedang kebingungan, hari ini mau masak apa. Uang simpanannya habis digunakan Gufron untuk bermabok-mabokan, walaupun dia sudah memindahkan berkali-kali tempat dia menyembunyikan, suaminya selalu bisa mengetahuinya.Beberapa saat, Samsiah pun mulai duduk di bangku samping Ela, hanya terdiam mendengar Ela menangis, dia sendiri sedang pusing dengan perilaku suaminya."Teteh tuh kesel sama Kang Tohir, ada saja barang-barang di rumah dijual-jualin. Nggak tahu uangnya buat apa, lama-lama nanti isi rumah ludes semua." Tanpa ditanya adiknya, Ela bercerita dengan sendirinya, sembari mengusap air matanya."Semakin jarang di rumah sekalinya pulang hanya untuk mencari barang-barang yang bisa dijual, lama-lama juga nanti teteh yang dia jual," ucap Ela dengan rasa kesal. Samsiah menarik nafas dalam, dadanya pun terasa sesak."Kang Gufron pun sama saja, Teh. Uang simpanan
Part 41Mobil yang membawa keluarga Riswan mulai memasuki perbatasan menuju ke desa Cisauk. Sebuah gapura besar bertuliskan nama desa tersebut menyambut siapa saja yang memasuki wilayah tersebut.50 meter memasuki wilayah desa, mobil Riswan menepi sejenak di sisi jalan yang tidak jauh dari sebuah warung sembako sederhana berukuran kecil di mana terlihat ada beberapa orang sedang berkumpul. Toni mulai turun dari mobil bermaksud untuk mendekati para warga yang sedang berkumpul di situ."Assalamualaikum.""Waalaikum salam." Hampir berbarengan semua warga yang berkumpul tersebut membalas salam dari Toni."Permisi bapak-bapak, ibu-ibu, numpang bertanya, ada yang tahu di mana rumah Ibu Saanih?" tanya Toni. Sejenak warga yang sedang berkumpul saling berpandangan, dan salah satu dari ibu-ibu yang ada di situ lantas memberi tahu, hampir semua yang ada di situ berpakaian cukup pantas dan rapih, seperti habis selesai berkunjung ke suatu tempat."Oh itu
Part 42Pagi menjelang siang di hari yang sama.Selepas mendapatkan uang, hasil dari menggadaikan sertifikat tanah sekaligus rumah milik bapak, di tengah perjalanan. Tepatnya di ladang tebu milik warga, Amran menghentikan kendaraan motornya, dan mengajak adik bungsunya Samsiah untuk turun."Kok berhenti di sini, Kang?""Iya, kita pisahin uang untuk kita berdua di sini saja. Takutnya jika di rumah, Ela bisa tahu.""Ya sudah, terserah Akang saja."Amran lantas mengajak adiknya itu untuk masuk lebih ke dalam ladang tebu, dan Samsiah lantas mengeluarkan bungkusan uang berwarna cokelat yang berisi uang 60 juta dari dalam tasnya.Amran lantas mengambil uang tersebut, berniat memisahkan uang yang sepuluh juta untuk dia bagi dua bersama Samsiah tanpa sepengetahuan adiknya yang satu lagi, Ela.Mendadak dari kerimbunan batang tebu. Tiga orang memakai topeng menyergap mereka, dengan bersenjata tajam, berupa clurit dan parang, langsu
Part 43Kang Amran, kita kena jebak, Kang," keluh Samsiah. "Nanti bagaimana cara kita bayarnya," keluhnya lagi."Biar akang over alih mobil truck akang aja," ujar Amran pasrah. Nengsih istri dari Amran tiba-tiba datang menghampiri."Motor Akang hilang ya, Kang!"Amran diam saja tidak menjawab, Ela dan Samsiah pun ikut bungkam."Nengsih nanya, Kang! Motor Akang beneran hilang!" Amran masih bungkam."Si Asih cerita, mendengar si Ela bilang jika motor punya kita hilang. Benar apa nggak Kang!" teriaknya semakin melengking."Benar Teh Nengsih, motor Kang Amran memang hilang, kena begal." Ela akhirnya yang menjelaskan."Akang gimana sih! Udah lagi susah begini segala motor dibikin hilang!""Bukan hilang Nengsih, tapi dibegal! Kamu mau akang mati dibacok karena pertahanin motor!" Amran menjelaskan dengan suara yang jauh lebih keras. Nengsih terdiam.Tidak beberapa lama, Tohir kembali dengan membawa motor dan sudah bergan
PART 32Tohir seperti tersadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya bergetar hebat, golok yang berada di genggaman tangannya lantas terlepas. Matanya nanar menatap jasad Kardi yang separuh tubuhnya masuk ke dalam Empang piaraannya sendiri.Kakinya mundur beberapa langkah, raut wajahnya mulai terlihat panik, sebelum akhirnya berbalik badan dan berlari cepat seperti dikejar rasa ketakutan dengan beberapa kali terperosok, lalu meninggalkan lokasi Empang milik sang lintah darat Kardi dengan terburu-buru.Cipratan darah Kardi mengenai pakaian yang dikenakan Tohir, sedikit pada wajah dan lengan tangannya. Menghidupkan motornya, lalu berlalu cepat meninggalkan lokasi pembunuhan.Sepanjang jalan menuju rumah, Tohir dicekam rasa ketakutan. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya masih gemetar. Pikirannya kalut. Bagaimana nanti nasib anak dan istrinya Ela, penyesalan perlahan menyesap ke dalam hatinya. Merutuk diri, merasa bodoh karena sudah bersikap gegabah.Sesamp
Part 45Tubuh-tubuh para pemabok itu bergelimpangan di tanah, tidak ada satu pun dari mereka sanggup berteriak untuk meminta ataupun mencari pertolongan. Rasa seperti terbakar yang dirasakan pada dada dan perut, membuat mereka hanya bisa merintih kesakitan. Baru berhenti merintih, saat mereka tidak sanggup untuk bernapas lagi. Minuman keras itu sanggup menghanguskan jantung mereka, hingga membuatnya berhenti berdetak.Mereka mati dengan cara yang menyedihkan. Bergelimpangan dengan pakaian penuh dengan kotoran tanah dan muntahan mereka sendiri. Mata melotot, mulut terbuka, dan wajah memerah seperti terkena panas membakar.Mang Sukri, pria paruh baya berbadan kurus dengan separuh rambut sudah memutih, adalah penjaga dan pemilik warung kopi tersebut. Menjelang sore, Sukri berniat untuk menutup warung dagangannya, dan saat hendak pulang, dia lalu teringat, jika masih tertinggal beberapa gelas kopi yang tadi dipesan oleh anak-anak muda yang biasa kumpul-kumpul di bel
Part 46"Gak apa-apa, Kang, Samsiah nggak marah, justru malah senang Kang Mursan memperhatikan Samsiah." Sembari tersenyum malu-malu. Samsiah sudah seperti merencanakan jika Mursan akan dia jadikan sebagai sumber penghidupannya. Mursan yang mendengar Samsiah memujinya seperti itu jadi semakin bertambah senang.Apa yang harus ditangisi, Kang. Sifat suami pemabok seperti itu sering mencuri dan menyusahkan. Samsiah malah senang dia tidak ada," ucap Samsiah tajam, yang ditujukan kepada almarhum suaminya. Mursan yang mendengar jawaban seperti itu, semakin merasakan senang."Berarti sama dengan akang, Yah. Akang pun senang si Robby ikut tewas, saat masih hidup bisanya hanya menyusahkan saja, itu akibat terlalu dimanjakan si Rohani.""Berarti hati kita sama, Kang," ucap Samsiah, mulai memberi tanda-tanda pancingan buat Mursan, dan ayah tiri dari almarhum Robby itu cukup bisa membaca kode-kode yang Samsiah ucapkan, dan Mursan mulai senyum-senyum sendiri.
Part 47Di depan teras rumahnya, ditemani dengan segelas kopi dan separuh bungkus rokok kretek, Amran terlihat sedang asyik mendengarkan kicau burung piaraannya. Kepul asap rokok terus saja keluar dari mulut dan hidungnya, sedang ada pikiran yang mengganggunya.Beberapa kali terbatuk-batuk, tetapi tidak membuatnya ingin membuang rokok yang terus diisapnya. Malah dia kembali menyalahkan sebatang rokok baru saat rokok yang dimiliknya mulai terasa panas di mulutnya.Dia bingung tentang surat sertifikat tanah yang sekarang masih ada di rumah almarhum Kardi. Bagaimana cara dia mendapatkan kembali surat-surat penting tersebut. Kemungkinannya sangat kecil jika istrinya almarhum Kardi mau menyerahkannya begitu saja, karena yang dia dengar, Sutini nama istrinya Kardi pun berprofesi sama dengan suaminya, lintah darat."Kang Amran!" teriakan Nengsih dari dalam rumah mengagetkannya. Perempuan itu semenjak Amran tidak lagi menjadi penampung sampah pabrik semakin cerew