Share

Suami Muda Nona Konglomerat
Suami Muda Nona Konglomerat
Penulis: Damaya

1. Siasat licik

"Saya memang miskin, tapi bukan berarti Mbak bisa merendahkan saya dengan cara seperti ini."

"Saya tidak bermaksud merendahkan. Saya hanya berpikir apa yang saya berikan nanti, cukup sepadan dengan kesediaan Abang. Bukannya begitu?"

"Tapi maaf. Saya memilih tetap konsisten pada keputusan awal, dan saya harap Mbak bisa menghargai itu."

Dewa masih berusaha menahan diri menghadapi Tika—perempuan keras kepala yang sebenarnya sudah cukup membuatnya muak. Bagaimana tidak, belum genap dua jam bersama, Dewa merasa otot-otot lengannya menegang kaku lantaran harus mempertahan bersikap tenang. Kendati sebenarnya gemuruh di dalam sana sudah siap diledakkan, bahkan sejak Tika mengutarakan keinginannya.

Selain itu, Dewa juga menyesali keputusannya telah mendatangi Tika, tanpa pernah memperhitungkan hal tersebut bisa saja terjadi. 

"Katakan. Apa yang bisa membuat Abang berubah pikiran?"

Desahan kasar kembali lolos dari mulut Dewa. Tika terlalu sembrono dengan menanyakan sesuatu yang bisa sangat membahayakan dirinya sendiri.

Tidakkah Tika sadar seberapa besar resiko atas pertanyaan tersebut? 

Rasanya cukup mustahil, perempuan cerdas seperti Tika tidak bisa memperhitungkan sebab akibat dari tindakan yang sudah dilakukan. Tapi melihat seberapa keras Tika memaksakan kehendak, Dewa semakin waspada. Sudah pasti ada alasan yang mendasari Tika melakukan semua itu.

Namun, apapun masalah Tika, Dewa tidak ingin tahu, apalagi peduli. Perempuan itu sangat merepotkan dengan keinginannya yang dirasa, konyol.

"Saya akan menyiapkannya sekarang juga. Katakan. Berapa yang Abang inginkan?" lanjut Tika yang seketika menyentak punggung Dewa. 

Sikap congkak Tika benar-benar melukai harga diri Dewa yang setinggi langit. Apa perempuan itu pikir harta yang dia miliki bisa membeli segalanya? Hingga ia rela merendahkan diri untuk bisa mendapatkan sejumlah uang? 

"Tidak heran jika orang sepertimu menganggap segalanya bisa dibeli dengan harta. Tapi maaf. Seberapa banyak Mbak menawarkannya kepada saya, itu tidak akan merubah apapun."

Sayangnya alih-alih responsif, Tika justru semakin menjadi. "Yakin dengan jumlah yang mencapai ratusan juta tidak bisa membuat Abang berpaling? Seratus juta, dua ratus juta, atau lima ratus juga? Jangan sungkan untuk memberitahu saya. Katakan saja, hm."

Semakin jengah, Dewa seketika terjingkat berdiri ingin segera pergi. Tika sudah sangat keterlaluan, dan melampaui batas.

"Jika Abang berniat pergi selangkah pun dari sini, saya akan berteriak. Bisa dipastikan apa yang terjadi setelahnya."

"Cih! Berani mengancam saya?" kata Dewa disertai senyum sinis. "Jangan melampaui batasanmu, saya bisa saja hilang kendali dan pastinya kau yang akan menyesal."

"Perlu diingat lagi, Abang ada di tempat saya. Tentunya saya yang lebih memegang kendali." 

Berdecak kesal, Dewa tengah matian-matian menahan amarah yang semakin membumbung tinggi. Sikap Tika tidak bisa ditolerir lagi. Bukan hanya terlalu keras kepala, tetapi Tika juga sudah sangat berani bertindak dan mengambil keputusan. Perempuan ceroboh yang sebenarnya telah mengabaikan keselamatan sendiri demi memuaskan hasrat pada satu tujuan lain, dan Dewa menyebutnya konyol.

Jika saja Tika laki-laki, maka akan lain cerita. Dewa tidak perlu menahan diri untuk langsung memberinya pelajaran. Tidak seperti sekarang yang sedang ia lakukan. 

"Ternyata benar, sesuatu yang terlihat indah di luar, belum tentu sama dengan apa yang ada di dalam," lirih Dewa penuh penekanan. Ia sudah sangat muak menghadapi kegilaan Tika.

"Terkadang seseorang bisa menghalalkan segala cara demi suatu tujuan. Memilih egois dengan mengorbankan orang lain. Bukankah sudah seperti hukum alam? Jika ada yang dirugikan, tentunya ada pihak lain yang diuntungkan. Benar begitu?" 

Jawaban Tika tak urung membuat Dewa bertambah kesal. Ditatapnya nyalang perempuan itu yang sedang  berjalan pelan memutari meja bundar, penghalang mereka. 

"Begitu juga dengan saya," lanjut Tika disertai senyum licik.

Dewa segera memalingkan wajah, bukan hanya tidak ingin melihat wajah menyebalkan Tika. Tetapi juga keberanian perempuan itu yang mengambil jarak begitu dekat dengannya, mampu memunculkan sengatan-sengatan kecil yang membuatnya berubah gelisah.

Meski dengan tinggi tubuhnya hanya sebatas bahu Dewa, tidak ada keraguan sedikitpun di wajah Tika untuk balas menatap dingin lelaki itu. Tindakan sembrono yang sebenarnya tidak ia sadari telah mengusik kelelakian Dewa. 

"Apapun itu bukan urusan saya, dan sekali lagi saya tegaskan! Saya tidak mau terlibat dalam masalah Mbak yang sama sekali tidak saya inginkan." 

Bisa melihat wajah cantik Tika, serta semua keindahan yang perempuan itu miliki dengan jarak sedekat itu, iblis dalam diri Dewa semakin meronta. Sesuatu yang tidak Tika ketahui, bahwasanya lelaki muda yang bersamanya itu bukanlah pemuda polos yang hanya cukup memandangi dirinya tanpa menuntut sesuatu yang lebih.

"Tapi saya bisa melihat raguan di wajah Abang. Benarkah Abang masih tetap teguh sekarang?"

Sialan. Dewa hanya bisa menegang kaku saat Tika terus merapatkan diri padanya. Bisa berakibat fatal jika ia tidak segera menghindar.

"Tidak sepantasnya perempuan bermartabat seperti Mbak melakukan ini pada laki-laki asing."

Glek! 

Seakan tamparan keras menyadarkan Tika yang langsung berpaling dan menjauh.

"Saya tahu Mbak tidak seperti itu. Jangan merendahkan diri lebih dari ini." 

Tika hanya mampu tertunduk malu. Kalimat pamungkas Dewa benar-benar telah menghujam tepat ke ulu hati. "Silahkan cari laki-laki lain yang mau menerima tawaran itu, permisi." Dewa bergegas pergi. Ia butuh pengalihan atas apa yang sudah mempengaruhi benaknya. 

Namun, baru beberapa langkah menjauh, kalimat Tika seketika menghentikannya.

"Karena saya tahu Abang orang baik. Abang tidak seperti mereka yang menganggap uang segalanya. Untuk itu saya berani bertindak sejauh ini."

Naasnya bukan hanya suara bergetar Tika yang mampu menggelitik telinga, tapi juga pernyataan perempuan itu yang terlalu dini menyimpulkan dirinya orang baik. Tak urung membuat Dewa mendenguskan senyum geli.

"Terlalu naif menilai saya baik bahkan di pertemuan pertama yang singkat ini. Saya yakin Mbak akan menyesali keputusan hari ini di lain waktu."

"Tidak akan. Terserah bagaimana tanggapan Abang tentang penilaian saya. Tapi saya yakin. Abang memiliki hati yang baik."

Semakin geli dengan pujian yang Tika lontarkan, Dewa menggaruk satu alis yang tiba-tiba gatal seraya membalik badan. Sebenarnya ia merasa kesal telah dipermainkan, tetapi pujian demi pujian Tika tak urung membuat kesalahan itu sedikit teralihkan.

"Maaf atas sikap saya yang sudah menyinggung Abang tadi. Sungguh, saya tidak bermaksud merendahkan ataupun melukai harga diri Abang. Saya hanya berpikir setiap tindakan tetap harus mendapat imbalan yang sepadan, itu saja. Sekali lagi saya minta maaf," ungkap Tika tulus disertai gurat penyesalan. 

Ia telah salah menduga dengan menganggap Dewa seperti laki-laki lain yang rela melakukan segalanya hanya demi harta. Penolakan Dewa seakan membuka matanya, jika penampilan berandal lelaki itu bukanlah cerminan yang sebenarnya. Karena itulah Tika merasa bersyukur, Inez telah mencarikan dirinya seseorang yang tepat. 

"Jadi semua itu hanya—"

"---maaf. Saya tahu sudah keterlaluan," sela Tika.

"Lantas, bagaimana dengan permintaan Mbak tadi?"

Berhasil menguasai diri, sekarang Dewa merasa gemas dengan Tika yang lebih banyak menunduk. Dimana keberanian yang beberapa saat lalu ia lihat.

"Sebenarnya itu—"

Brak! Brak

 

Tiba-tiba suara gedoran pintu yang disertai teriakan seseorang mengejutkan keduanya. Dewa mengerutkan alis saat melihat kepanikan di wajah Tika.

"Siapa itu yang datang?"

"Emm… itu, anu, dia.."

"Tika buka pintunya!! Aku tau kau ada di dalam!! Keluar Tika atau aku akan masuk dengan caraku!!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rai Seika
keren, semangat terus, Kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status