Dia mengembuskan napas berat, lalu menghapus sisa air mata yang masih berjejak di bawah mataku. “Ya sudah, jangan nangis lagi. Mas enggak tenang kerjanya, kalau wajah kamu cemberut terus kayak begini.”Aku mengangguk, dan memaksa sedikit tersenyum.Mas Hada beranjak. Sebelum pergi, dia mengusap pucuk kepalaku sesaat. Kemudian meninggalkanku untuk kembali bekerja. Di sini, aku duduk diam, memperhatikannya. Sesekali dia menoleh ke arahku hanya untuk melempar senyum, kemudian kembali sibuk melayani para pengunjung bersama pelayan lain.Pria itu, andai aku tahu dari dulu kalau ada pria selembut dia, mungkin aku tidak akan begitu peduli dengan materi dan tampang semata. Bahkan, wanita seperti Maria rela melakukan hal seperti itu hanya untuk menarik perhatian Mas Hada. Kini aku sadar, kalau materi itu tidak bisa membeli sebuah kebahagiaan dan kenyamanan. Karena kini meskipun kami hidup sederhana dengan segala keterbatasan, rasa bahagia dan nyaman itu lebih terasa. Itu semua karena kami hidu
Sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Hana keluar kamar mandi tanpa mengenakan penutup kepala. Tubuhnya terlihat indah dengan dress selutut berwarna cokelat. Rambutnya yang berwarna pekat, dibiarkan tergerai. Hana tersenyum tipis, lalu berjalan mendekat. Aku berusaha mengendalikan diri supaya tak terpancing, karena belum saatnya kami melakukan hal tersebut.“Mas, apa boleh aku tidur dengan pakaian yang seperti ini?”Aku diam seraya menatap wajah yang sudah tampak segar itu lekat. Kusentuh pipinya yang bersemu merah, kemudian mengusapnya pelan. Aku lebih mendekatkan wajah ke arah Hana. Matanya terpejam kuat dengan wajah sedikit menjauh, saat aku mencium kecil daun telinganya. Jujur, aku ingin melakukan hal yang lebih dari ini, mengingat dia telah halal buatku. Namun, ini masih belum waktunya, karena aku belum jujur pada Prio tentang semua. Setelah aku mengatakan segala sesuatunya, baru aku akan mengambil hakku sebagai seorang suami pada Hana.“Cantik,” bisikku yang berhasil membua
Bisik-bisik terdengar nyaring, saat aku menuruni anak tangga menuju gedung ekonomi di kampus. Setiap kali ada orang yang berpapasan denganku akan berbisik dengan temannya, dan memperhatikanku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Aku berusaha bersikap biasa saja dan masa bodo dengan apa yang mereka katakan. Apa Kiki, Isna, dan Maria sudah mengatakan kalau aku menikah dengan seorang office boy di universitas ini?Seseorang menarik lengan dan mengajakku ke suatu tempat. Aku menoleh dan mendapati Isna yang menyeretku di sana.“Na, bukan aku! Demi Tuhan.”“Apa?”Isna memperlihatkan sebuah video di YouTube yang sedang viral. Di sana video pernikahanku tersebar dengan judul Pernikahan Paling Fenomenal. Aku terdiam lama, mencoba memahami apa yang baru saja aku alami. Di video itu terlihat jelas bagaimana hancurnya riasanku saat mencoba mengejar Mas Irwan yang seperti kesetanan membawa sebilah parang. Video berakhir, saat Mas Hada maju ke depan. Hanya saja, di sana tak terlihat wajahnya kare
"Aku kecewa sama kamu, Ki,” kataku sambil sesekali menyeka air mata.“Maaf, Han. Tolong jangan masukkan aku ke penjara. Kasihan bapakku yang sudah bersusah payah menguliahkanku. Kamu tahu keadaan keluargaku itu seperti apa. Bapakku hanya pensiunan PNS. Harapannya besar padaku, jangan sampai aku terjerat kasus hukum yang membuatnya pusing, Han.”Isna mendekat, lalu memegang tanganku. “Han, aku tahu Kiki. Kita tahu dia seperti apa. Dia pasti dihasut oleh Maria sampai tega memberikan video itu.”“Kalian bahkan percaya, kan saat Maria bilang aku menamparnya? Padahal, cerita sebenarnya enggak seperti itu. Dia memberi Mas Hada makanan, dan aku ada di sana. Kalian tahu pukul berapa dia menemui Mas Suhada di kampus ini?”Mereka berdua menggeleng. “Hampir pukul 22.00, dan dia nekat mencium Mas Hada. Bagaimana aku enggak marah? Kalaupun aku bukan istrinya Mas Hada, aku pasti akan memperingatkan. Alasannya, karena dia teman kita.”Isna dan Kiki saling berpandangan. “Kami benar-benar dihasut Mar
POV : Hana***Bu Wiwin memegang bahuku, lalu mengajak duduk.“Nak Hana, kamu apa kabar?” tanyanya sambil memegang sebelah tanganku.“Baik, Bu.”Tiba-tiba gawai papa Maria berdering. Segera dia menjauh, dan mengangkatnya. Setelah beberapa saat, pria itu kembali dan pamit ada urusan penting. Tinggallah di depan kelas ini kami bertiga. Aku, ibunya Maria, dan seseorang yang sepertinya seorang pengacara.“Langsung saja. Sebelumnya Ibu minta maaf atas ulah kekanak-kanakannya Maria. Dia itu belum terlalu dewasa, jadi tolong kita selesaikan ini dengan cara kekeluargaan saja.”Aku melirik pria di sebelahnya. “Dia siapa, Bu?”“Dia pengacara keluarga kami. Dia selalu menang menangani kasus apa saja. Dia hanya menemani Ibu ke sini, untuk berjaga-jaga.”“Oh.”“Hana, kamu itu sudah seperti anak Ibu sendiri. Berapa kali kamu tidur di rumah kami—”Belum selesai Bu Wiwin bicara, gawai bergetar. Aku mengeluarkannya dari tas, terlihat nama Mas Irwan di layar. Kugeser tombol hijau, dan menempelkannya ke
Bicara dengan Ibu tak ada habisnya. Selesai menceritakan masalah video, aku menceritakan masalah Maria, lalu tentang kebaikan Ibu dan Mbok Romlah di rumah. Tidak ketinggalan, cerita keseharianku di kampus yang beberapa hari ini cukup menguras hati dan pikiran. Hingga tibalah kami di depan halaman rumah. Aku segera memarkir mobil di garasi dan turun dari sana. Setelahnya, masuk beriringan dengan Ibu yang dibukakan pintu oleh Mbok di rumah.“Sudah lama enggak setor pakaian kotor, Non Hana?” tanya Mbok, saat aku dan Ibu berjalan ke arah belakang.“Libur dulu, Mbok. Entah nanti.” Kami terkekeh secara bersamaan.Tak lama setelah kami sampai di rumah, Mas Irwan juga sampai. Dia menceritakan pertemuannya dan ibu Maria, juga pengacaranya. Akhirnya setelah diberi tahu alasan mengapa kami ingin Maria dihukum, ibu wanita itu bisa menerima. Bahkan, sekarang mendukung penuh dengan apa pun yang akan kami lakukan, dengan harapan anaknya bisa benar-benar berubah. Puas bercerita soal ibu Maria, aku me
“Mas akan memberitahu semuanya padamu. Hanya saja, perlu kamu tahu, Mas sudah mencintaimu sejak dulu. Perasaan itu nggak pernah berubah sedikit pun. Dari kamu yang dulu manja sampai menjadi mandiri seperti ini, rasa itu tetap sama. Enggak bertambah, juga nggak pernah berkurang. Mas selalu mengagumi kelebihanmu, tapi enggak pernah berusaha menghakimi kekuranganmu. Karena kita masih sama-sama belajar, bertahap menjadi yang lebih baik lagi.”Aku tertegun mendengar pengakuan itu. Dia bahkan tidak pernah membenciku, meskipun dulu, aku sudah bersikap tidak adil padanya. Dugaanku yang mengira kalau dia ingin membalas dendam akan masa lalu terbantahkan dengan sikapnya selama ini dan pengakuannya malam ini. “Kalau Mas mencintaiku, seharusnya Mas jujur dari awal mengenai alasannya."“Mas pikir, belum waktunya. Tapi, jika kamu benar-benar ingin tahu, Mas akan mengatakannya malam ini. Karena Demi Tuhan, Mas juga tersiksa menyimpan rahasia ini darimu.”Kemudian aku diam. Mas Suhada menyandarkan d
Setelah melewati jam pertama mata kuliah, aku permisi pada kedua temanku untuk menemui Mas Hada di perpustakaan. Tampak dia asyik berdiri di salah satu rak buku di tengah-tengah ruangan ini. Aku tersenyum dan mendekatinya. Kuambil satu buku, dan berdiri di samping pria itu. Mengikuti cara dan gayanya membaca buku. Awalnya dia tidak terganggu, tapi setelah aku mengubah posisi berdiri tepat di hadapan Mas Hada, dia tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Jahil,” bisiknya sambil menarik tanganku, mengajak duduk di kursi yang ada di sudut ruangan. “Dah, baca di sini saja.” Akhirnya kami duduk bersebelahan. Mas Hada terlihat serius membaca buku di hadapannya, sampai keberadaanku diabaikan olehnya. Aku menatapnya lama, tapi dia tidak sadar juga. Aku pura-pura merajuk, lalu memanggilnya dengan bibir cemberut.“Mas!" “Em.”Menyedihkan sekali pesonaku dikalahkan oleh lembaran buku ekonomi itu. Mas Hada tertawa kecil dan akhirnya aku ikut tersenyum.“Nanti malam, libur kerja, ya?” tanyaku sek