"Secepatnya aku akan melamarmu," ucap Qasam yang tak sabar dengan hari indah yang dapat mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.Ameena tersenyum riang sekali. "Jadi... Setelah lamaran, kamu akan langsung nikahin aku kan?"Qasam tiba- tiba teringat Qizha, wanita yang kini telah menjadi istrinya. Oh Tuhan, Qasam baru sadar bahwa dia bukan lajang lagi. Dia bukan jejaka yang sama seperti lainnya."Aku akan melamarmu secepatnya supaya kau terikat hubungan dengan jelas bersamaku. Dan orang tuamu juga tidak sanksi dengan keseriusanku. Tapi soal pernikahan, beri aku waktu satu tahun lagi," ucap Qasam dengan tatapan yang tak nyaman. Ia pun tak suka dengan kalimat yang ia ucapkan itu. Seharusnya ia sudah bisa hidup bersama dalam mahligai penuh cinta bersama dengan wanita yang dia cintai itu. Tapi karena kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Qizha, terpaksa ia menundanya, ia harus menuntaskan urusannya dengan Qizha.Waktu satu tahun sudah cukup menyelesaikan urusannya dengan Qizha.
"Allahu Akbar Allahu Akbar..."Sayup- sayup suara kumandang adzan bersahut- sahutan. Panggilan yang sangat indah dan menggetarkan kalbu. Qizha meremang setiap kali mendengarnya. Siapa tahu ini adalah panggilan shalat terakhir kali yang bisa ia dengar, pikiran itu membuatnya kerap bergegas berwudhu, mengutamakan shalat dari pekerjaan lainnya.Secepatnya ia meninggalkan pekerjaan apa pun setiap kali mendengar suara adzan.Qizha segera menjalankan ibadah shalat subuh. Setelah shalat, ia mengambil mushaf dan mengaji, melantunkan ayat- atat suci dengan suara indah. Tentu saja suaranya diperkecil supaya tidak mengganggu Agata atau pun Sina yang tentunya masih ngorok. Kalau mereka merasa terganggu, pasti sendal pun bisa terbang.Qizha menyudahi bacaannya, ia mengembalikan mushaf ke rak dan melipat mukena. Kembali pandangan Qizha mengarah ke kasur. Qasam kemana? Pria itu pergi dan tidak kembali sejak semalam.Apakah begini yang namanya suami istri? Qizha bahkan tidak tahu suaminya pergi
“Zha, suamimu dimana? Kok, nggak kelihatan?” Nah, akhirnya pergunjingan yang dikhawatirkan pun muncul juga. Tetangga rempong yang rewang ke rumah mempertanykana keberadaan Qasam yang emmang sejak awal mereka rewang dari pagi sampai malam begini, Qasam tak kunjung muncul.Semua orang yang mayoritas adalah ibu- ibu yang sedang sibuk rewang itu pun saling berbisik. “Dia kerja,” jawab Qizha canggung.“Kerja apa?” sahut salah seorang ibu berdaster kuning yang lembaran dasternya lebih mirip seperti saringan santan. Saat ia berdiri di pintu, maka akan tampak terawangan yang bikin bulu kuduk meremang.“Kerja dimana?” sahut yang lainnya.“Memangnya dia kerja ya?”Mereka penasaran karena memang sosok Qasam terlihat sebagai pria pengangguran yang belum jelas bekerja dimana. “Bukannya lontang lantung nggak jelas,” bisik salah seorang emak- emak yang bisikannya tetap terdengar di telinga Qizha.“Qasam kerja di luar kota,” sahut Qizha yang mulai tak betah berada di dapur. Ingin rasanya ia k
"Seenggaknya, besok kamu tanyain kemana kepergiannya, jadi kamu tahu dia pergi kemana. Kalau tau- tau dia tenggelam dan nggak ada orang tau gimana?" "Wah, nggak pa- pa lah tenggelam, mati syahid tuh," celetuk Ica kemudian menabok mulutnya sendiri ketika mendapati tatapan Qizha yang lebar. "Fir'aun juga mati tenggelam." Qizha menyeletuk.Celetukan yang membuat Ica nyengir sambil menyahuti, "Beda kriteria kali. Dia itu ditenggelamkan."Hana hanya terkekeh saja mendengar perdebatan dua temannya. "Ngomong- ngomong kalian percaya nggak sama kehebohan yang kemarin sempet viral di komplek ini? Kehebohan yang mengatakan kalau aku dan Qasam berbuat zina hingga kami dinikahin?" tanya Qizha menatap wajah- wajah sahabatnya."Aku sih nggak yakin, Zha. Masa sih kamu yang paham sama agama berbuat maksiat gitu? Aku yakin kamu pasti takut dosa dan takut azab," sahut Hana. "Siapa tau kebelet kawin dan nggak tahan, bisa jadi sih zina," celetuk Ica sengaja berseloroh. "Bibirmu sekali- kali memang m
Qizha mencuci piring dan mengemasi apa saja yang masih berserakan supaya menjadi rapi. Sesekali ia mengelap peluh yang membanjir menggunakan lengan baju. Badannya letih sekali. Ia ingin segera beristirahat. Sudah tengah malam. Matanya pun ngantuk berat. Ia lalu masuk kamar dan tidur.Agata memasuki kamar Sina dengan membawa kotak perhiasan, ingin menyimpannya dengan rapi supaya tidak kemalingan. Menyusul Sina yang membawa uang ratusan juta dalan kemasan indah."Tarok sini aja ya biar aman?" Agata meletakkan kotak perhiasan ke bawah ranjang yang tamidak tinggi. Kemudian ditutupi dengan helm."Iya, Bu. Aman di situ. Ini uangnya aku tarok di sini aja." Sina meletakkan uang ke ransel."Besok kita belanja keperluan nikahanmu ya?""Iya, Bu. Kita juga bisa makan enak. Beli baju, dan beli apa aja yang bisa bikin level kita naik. Beli motor bagus mungkin.""Eh, jangan. Soal motor mah urusan Arsen. Biar dia yang beliin motor buatmu. Uang ini milik kamu, terserah kamu mau buat apa.""Iya juga
“Agata! Hentikan!” Bily mengejar Agata dan menahan tangan istrinya yang hendak menghunuskan pisau dapur ke arah Qizha.“Lepas! Jangan halangi aku! Anak ini perlu dikasih pelajaran. Dia pasti akan mengaku jika sudah dihukum!” Agata memberontak, berusaha melepaskan diri dari lengan Bily yang menghalanginya.“Dia anakmu juga.”“Bukan. Dia bukan anakku.”“Setidaknya jangan berbuat kriminal. Pisau ini berbahaya.” Bily terus memegangi badan istrinya.Tepat saat kaki Bily diinjak oleh Agata, saat itulah pelukan lengan Bily menjadi longgar. Agata menendang suaminya hingga tersungkur.Qizha sudah berada di pintu hendak kabur ketika Agata menyambar sapu dan melemparnya ke kaki Qizha, seketika Qizha jatuh dan ambruk. Agata tak mau menyia- nyiakan kesempatan itu. Ia mendekati Qizha dan melukai paha Qizha dengan pisau. Darah segar mencuar dan merembes.“Aaakhh…” Qizha merintih. Tak berhenti di situ, Agata memburu Qizha dengan menjambak rambut putrinya itu hingga jilbab Qizha terlep
“Apa yang sudah kau lakukan pada istriku?” tanya Qasam dengan tenang, sorot matanya gelap ke arah Agata.“Lihat aku! Lihat kondisiku yang kacau begini, iblis itu menyerangku!” Agata menunjuk- nunjuk pelipisnya yang dialiri darah sambil menatap Qizha. Entah bagaimana bentuk kepalanya yang terlapis rambut itu, mungkin lebam parah akibat hentaman gelas.Qasam menatap qizha, penampilan istrinya benar- benar terlihat kacau. Baju berantakan, leher bajunya menurun melewati pundak, pahanya terluka dan berdarah, rambutnya dipangkas amburadul. Andai saja ia berdiri di pinggir jalan, pasti tak akan ada orang yang mengenalnya, mengira dirinya seperti orang gila.“Kau pikir aku tidak tahu kenapa Qizha menyerangmu, hm? “ Qasam mencengkeram leher baju Agata erat- erat. “Dia hanya sedang membela diri, dia melakukan perlawanan atas seranganmu.”“Tt tidak begitu.” Agata ketakutan melihat sorot tajam mata Qasam. “Aku sudah bilang jangan lagi mengganggu istriku, kenapa kau langgar?” Suara Qasa
Perjalanan cukup jauh. Mereka berboncengan menembus panas dan hujan. Qasam sama sekali tak menghentikan motor meski hujan mengguyur, berganti panas terik. Qizha memilih diam saja, membuarkan Qasam melakukan apa yang dia mau.Huh, jika sepanjang perjalanan terkena panas dan hujan, lama- lama Qizha bisa jadi ikan asin. Ketika hujan deras mengguyur, tubuh Qizha menggigil. Dan saat hujan berlalu, baju Qizha yang basah dengan cepat mengering oleh kencangnya angin dan panas yang menerpa.Mereka hanya berhenti saat mengisi minyak di pom bensin. Rasanya nyaris seperti musafir yang melakukan perjalanan jauh.Bleb bleb bleb ..Penyakit motor kumat lagi. Mereka terpaksa berjalan kaki. Qasam mendorong motor. Qizha mengikuti di belakang.Kaki Qizha mulai pegal dan letih berjalan agak jauh. Bisa- bisa betisnya jadi segede tales bogor jika begini terus. Pahanya yang terasa nyeri akibat terluak itu membuatnya kesulitan berjalan dengan cepat."Aku lapar!" celetuk Qizha.Kenapa suara Qizha jadi jauh?