Share

Suami & Sepupu Pengkhianat
Suami & Sepupu Pengkhianat
Penulis: Anggarani

Awal Mula

"Apa yang kalian lakukan di belakangku?" batin Sassi menjerit. Namun lidahnya kelu. Otot-otot di tubuhnya terasa tercabut. Pandangannya berkunang. 

 

Di saat ia kehilangan orang yang paling dicintai, ia harus menerima kenyataan suaminya berada di atas ranjang bersama sepupunya.

 

***

Awal mula.

 

Langit penuh dengan awan hitam. Perlahan namun pasti, tanah-tanah mulai digugurkan. Menutupi lubang yang menjadi tempat persemayaman terakhir seorang pengusaha nomor satu di Jakarta.

 

Sassi Kirana Hadiyaksa mengenakan gaun hitam sebatas betis. Sebuah syal hitam tergulung di lehernya. Angin memainkan sedikit rambut cokelatnya. Sassi berdiri terisak di samping pusara yang hampir tertutup rapat. Matanya sembab. Wajah putihnya terlihat semakin pucat. Bibirnya terus bergetar menyebut nama ayahnya. Hatinya terasa perih. Inilah pemakaman kedua yang ia rasa paling menyakitkan setelah pemakaman ibunya. Kenapa ia harus tinggal lebih lama di dunia ini tanpa kedua orang yang amat ia cintai?

 

"Selamat jalan, Papa," ucapnya sambil terisak.

Sassi menebar bunga sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk ayahnya teriring doa dan puji-pujian yang terdengar dari pemimpin prosesi pemakaman.

 

Satu per satu tamu pergi meninggalkan tenda VVIP yang terpasang di pemakaman. Tinggal tiga orang yang berdiri di belakang Sassi. Sassi bergeming. Ia tetap bersimpuh di depan makam. Tanah pemakaman ini begitu luas, bukankah masih ada tempat untuk dirinya agar ayahnya tidak berada sendirian di dalam sana? Batin Sassi terus bergolak, ingin rasanya ia menolak takdir yang ia terima.

 

"Kita harus pulang, Sas," ucap Ganendra. Mau tidak mau, ia harus mengajak istrinya pulang. Ia ikut berjongkok di samping Sassi.

 

"Kau pulang saja lebih dulu, Mas. Aku masih ingin berada di sini," jawab Sassi.

 

"Masih ada prosesi yang harus kita urus di rumah. Kau putrinya, jadi kau harus hadir di sana," bujuk Ganendra sambil menarik lembut Sassi ke dalam pelukannya.

 

Sassi mengusap air mata di pipinya berkali-kali. Sungguh, ia tak ingin pergi dari sini.

 

"Kau pergilah, Mas. Kau menantunya. Bukan hal yang aneh, jika kau yang menerima para tamu yang datang berkabung. Alleta akan menemanimu. Ia juga sudah dianggap anak kandung oleh Papa."

 

Ganendra membelai kepala Sassi, membiarkan wanita itu meluapkan kesedihan untuk kesekian kali.

 

"Pulanglah, Mas. Aku khawatir banyak tamu yang datang ke rumah," lanjut Sassi lagi.

 

"Baiklah. Jangan terlalu lama dan Abdi akan menemanimu di sini," ucap Ganendra.

 

Sassi mengangguk dan kembali menegakan kepalanya dari dada Ganendra. Kemudian mereka berdua berdiri. Ganendra melangkah menghampiri kemudian berdiri di samping Abdi. Sedangkan Alleta segera memeluk Sassi. Kedua saudara sepupu itu kembali menangis dalam pelukan.

 

"Tolong gantikan aku di rumah, Al. Aku masih ingin di sini," ucap Sassi.

 

"Aku paham, Sas. Jangan terlalu lama ya. Aku tunggu di rumah," pinta Alleta.

 

"Tolong jaga Sassi, Di," ucap Ganendra.

Abdi mengangguk pasti.

 

Setelah mengantar Ganendra dan Alleta sampai ke pintu tenda, Abdi kembali menemui Sassi yang bersimpuh di depan makam sambil memeluk batu nisan. Pemuda pendiam itu menabur bunga ke atas makam.

 

"Kau pasti bisa melewati semua ini, Sas," ucap Abdi.

 

Sassi terdiam. Ia tetap memeluk nisan.

"Nggak ada kesulitan yang nggak bisa dilalui. Kalimat itu yang selalu Om Darma katakan padaku," tambah Abdi.

 

"Aku nggak punya kata-kata untuk menghiburmu, Sas. Jadi menangislah. Aku akan menunggumu di sini. Sampai selesai."

 

Sassi menuruti perkataan Abdi. Ia kembali menangis tanpa suara.

 

Abdi kembali duduk di kursi tamu yang tadi ia tempati. Pandangannya terpaku pada makam yang ada di depannya, tubuh orang yang sangat ia hormati tertanam di sana. Abdi ingat, bagaimana dulu ia ikut ke rumah mewah milik Darma. 

 

Ia hanyalah seorang anak jalanan yang bertahan hidup dengan menyemir sepatu di depan Kedai Kopi Oey di Jalan Sabang yang menjadi langganan Darma di setiap Minggu pagi. Abdi sangat suka menyemir sendal kulit yang dipakai Darma, karena Darma selalu memberinya tips yang besar. 

 

Satu hari, Darma menemukan Abdi sedang berkelahi dengan remaja yang jauh lebih besar tubuhnya dari Abdi. Abdi dibuat babak belur, tetapi nyali anak itu tidak ciut sedikitpun. Darma melerai perkelahian itu kemudian mengajak Abdi masuk ke kedai kopi bersamanya. Tak ada pertanyaan yang Darma ajukan kepada Abdi. Mereka hanya sarapan bersama.

 

Darma membawa Abdi pulang. Kemudian memasukkan Abdi ke sekolah yang sama dengan Sassi. Darma meminta Abdi untuk serius belajar dan selalu menjaga putri semata wayang yang paling dicintai. 

 

Sejak sekolah dasar, Abdi selalu mengawal Sassi. Namun, selepas SMA, gadis itu memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sassi tidak suka memeras otaknya setiap hari. Menurut Sassi itu adalah hal yang menyebalkan. Walau pun Darma menawarkan putrinya itu untuk mengambil kuliah apa saja sesuai keinginannya, Sassi tetap menolak. Ia lebih suka berada di rumah, belajar memasak dengan para pengurus rumah.

 

Sassi ingin seperti almarhumah ibunya, yang selalu berada di rumah, menyiapkan segala sesuatu untuk anggota keluarganya. Terutama soal makanan. Ia akan senang sekali menyambut kedatangan ayahnya untuk makan malam bersama. Sassi akan menceritakan  semua proses memasak yang ia lakukan.

 

Namun, Sassi tidak egois. Sassi tahu jika otak Abdi jauh berada di atasnya. Abdi selalu mendapat peringkat satu di sekolah. Jadi, Sassi tetap meminta Abdi untuk terus melanjutkan kuliahnya. Di rumah, sudah banyak penjaga yang menjaganya, jadi Sassi hanya perlu pengawalan Abdi jika pergi keluar rumah. Itu pun tidak setiap hari.

 

Tugas Abdi selesai saat Sassi setuju untuk menikah dengan Ganendra. Kemudian Darma menugaskan pemuda itu untuk menjadi sekretaris pribadinya.

 

Untuk semua itulah, Abdi sangat menghormati Darma dan juga Sassi.

 

Roda Bugatti Veyron Super Sports terus bergulir meninggalkan kompleks Memorial Park. 

 

"Hari yang melelahkan," ucap Alleta yang berada di samping Ganendra.

 

"Betul kan, Mas?" lanjutnya lagi.

 

"Memang sudah seharusnya seperti ini," jawab Ganendra dari balik kemudi.

 

"Menurutmu, apa Sassi akan baik-baik saja kali ini, Mas?" tanya Alleta.

 

"Aku harap begitu. Sepertinya ia sangat terpukul dengan kepergian Papa."

 

"Lalu, bagaimana denganmu?" tanya Alleta dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan.

 

Ganendra tertawa kecil mendengar pertanyaan Alleta.

 

"Pertanyaan yang aneh. Papa mertuaku meninggal, Alleta. Menurutmu apa yang aku rasakan?" jawab Ganendra sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

 

"Kau tidak terlihat seperti orang yang bersedih," ucap Alleta.

 

"Benarkah?" tanya Ganendra.

 

"Ya. Di mataku, kau tampak seperti itu."

 

Ganendra hanya melirik sambil sedikit tersenyum  kepada Alleta.

 

"Apa kau tidak ingin sedikit bersenang-senang hari ini, Mas?" tanya Alleta, tangan kanannya meraba paha kiri Ganendra secara perlahan.

 

"Hari ini bukan saat yang tepat, Alleta," ucap Ganendra tanpa menghentikan gerakan tangan Alleta yang semakin aktif.

 

"Benarkah? Tapi aku sangat menginginkannya saat ini, Mas," rengek Alleta.

 

"Astaga. Kau nakal dan berbahaya sekali, Alleta."

Alleta tertawa mendengar ucapan Ganendra.

 

"Tunggu saat kita sampai di rumah. Aku akan menghabisimu!" ucap Ganendra sambil menekan gas mobilnya semakin cepat.

_______________

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status