Share

Bab 5. Supreme Black Card

“Dasar bego! Kamu tuh harusnya bersyukur. Tinggal cium sepatunya Aldi, masa depanmu bakalan lebih baik.” Seorang wanita tiba-tiba menimpali, “4 juta loh, jauh lebih besar dibandingkan ngebabu di keluarganya kak Echa.” 

Niko menatap nyalang pada teman-temannya, “Masa depan tidak ada yang tahu. Jangan suka menghina orang lain, mungkin saja orang yang kalian hina masa depannya jauh lebih baik dari kalian!”

Ucapan Niko malah disambut tawa keras dengan tatapan menghina dari teman-temannya.

“Memotivasi diri sendiri itu penting, tapi sadar diri itu jauh lebih penting,” ucap Aldi penuh ejekan. 

“Atau kemiskinan telah membuatmu jadi punya gejala gangguan jiwa?”

Mereka kembali tertawa. 

Sayangnya, mereka salah besar mengira Niko kali ini diam saja. Mood-nya sudah buruk akibat pertengkarannya dengan Echa tadi. Belum lagi, wanita tadi membawa-bawa keluarga wanita itu. “Apa kalian tidak bosan melakukan hal ini kepadaku?”

“Bosan? Tidak ada kata bosan untuk membully makhluk sampah sepertimu.” Aldi tersenyum tipis. “membullymu adalah hal yang aku sukai.”

“Melihatmu seperti melihat tai. Jadi, kami tidak pernah bosan,” sambung Yono, dan lagi-lagi gelak tawa kembali terdengar.

“Empat tahun aku sudah bersabar. Aku akan membalas perlakuan buruk kalian kepadaku!” Niko menatap mereka semua, mengingat wajah-wajah menyebalkan yang perlu dikasih pelajaran di kemudian hari.

“Cih, mau ngebalas?” Aldi tertawa renyah. “Beli parfum saja kamu tak sanggup.”

Di saat bersamaan ada beberapa dosen yang melewati tempat itu. Memanfaatkan situasi, Niko pun bergegas pergi. Tentu semua temannya tidak bisa melakukan apa-apa dan memberikan jalan untuknya.

Saat Niko sudah berada di luar kampus, sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya.

“Pak Niko, Pak Niko …,” panggil seseorang dari dalam mobil.

Niko menghentikan langkah dan menoleh ke arah kaca mobil samping pengemudi yang terbuka, “Siapa anda? Anda mengenalku?” Niko mencoba mengingat, sepertinya dia pernah melihat wajah orang itu.

Tanpa turun dari mobil, orang itu menjawab, “Aku Danish, orang kepercayaan Pak Abraham.” 

Setelah mengetahuinya, ekspresi Niko berubah datar, “Oh.”

“Pak Abraham mengutusku untuk memberikan ini kepadamu.” Danish menyodorkan sebuah kartu berwarna hitam. “ambillah. Ini warisanmu.”

“Apa ini?” tanya Niko.

“Isinya tidak banyak. Cuma 100 triliun. Kakek anda akan memberikan secara bertahap,” jawab Danish. “pin-nya sudah aku kirimkan melalui email.”

“100 triliun?” Niko terkejut.

“Ya. Pak Niko tahu, Kakek anda adalah orang yang sangat kaya. Ambillah, ini sudah lebih dari cukup untuk keperluan anda.” Danish kembali menyodorkan supreme black card itu.

Tangan Niko bergetar menerima kartu black card itu. Batinnya bertanya-tanya apakah ini sungguh nyata?

Usai menyerahkan supreme black card itu, Danish tancap gas meninggalkan Niko.

“Tunggu.” Niko memanggil, tetapi Danish tetap tancap gas.

Niko yang masih penasaran, lantas dia pergi ke mesin ATM yang ada di sekitar sana. Saat dia mengecek dan menatap layar mesin ATM itu, matanya terbelalak sempurna saat melihat angkanya memiliki 14 nol. Dia masih belum menyangka bahwa hidupnya akan benar-benar berubah 180 derajat.

Karena ingin bukti yang nyata, Niko mencoba menarik saldo sebesar 10 juta. Tanpa menunggu lama mesin ATM itu bekerja sesuai perintah. Untuk sekian kalinya, Niko terperanjat. Sungguh ini bukan sebatas mimpi belaka.

“Aku mau ke bar,” ucapnya tiba-tiba. “ya, aku harus ke bar.”

Niko bermaksud melampiaskan rasa marah dan kecewanya ke minuman karena kehidupannya yang penuh dengan cemoohan dan hinaan dari semua orang yang mengenalnya.

Satu jam kemudian, Niko sudah duduk di depan meja bartender di sebuah bar, “Tolong berikan segelas bir untukku.”

Sang bartender tak langsung melayani permintaan Niko. Matanya memandang penampilan Niko yang kurang meyakinkan.

Mengerti apa yang dipikirkan sang bartender, lantas Niko langsung mengeluarkan uang 10 juta dari kantong celananya dan meletakkan di atas meja. 

“Apakah ini masih kurang?” Niko tersenyum tipis, lalu mengambil uangnya kembali dan disimpan di kantong celana.

Sontak sang bartender dengan sigap menjalankan tugasnya, “Maafkan saya, Tuan,” ucapnya merasa bersalah. 

Niko pun meminum segelas bir yang dia terima dalam sekali teguk, “tambah satu lagi,” titahnya sambil menyodorkan gelas kecil yang sudah kosong.

“Siap, Tuan.” Sang bartender cepat menuangkan bir ke dalam gelas itu.

Niko meneguknya kembali, padahal sebelumnya Niko tidak pernah meminum bir beralkohol tinggi. Akibatnya 2 gelas kecil saja sudah membuat tubuhnya terasa panas dan kepalanya berputar.

Di titik ini, tiba-tiba seorang wanita berpakaian ketat nan seksi datang menghampiri Niko.

“Hallo, tampan. Mau aku temani malam ini?” Sikap dan ucapan wanita itu begitu sensual.

Niko tersenyum tipis, teringat ucapan Aldi dan kawan-kawannya kalau tidak ada tante-tante yang mau dengannya. Tapi buktinya justru saat ini ada seorang wanita muda yang merayunya. Tapi mungkin saja wanita itu sudah melihatnya mengeluarkan setumpuk uang.

Saat wanita itu ingin menyentuh bahunya, Niko meresponnya dengan tatapan mata tajam, sehingga batal melakukannya.

“Pergi!” Cukup satu kata sudah cukup membuat wanita itu terdiam dan pergi mendengus kesal.

Niko hanya ingin melampiaskan ke minuman. Dia tidak akan tergoda dengan rayuan wanita yang bukan istrinya, apalagi dengan si kupu-kupu malam.

“Lagi!” Niko menyentuh gelasnya. Sang bartender yang mengerti pun langsung menuangkan bir.

Di titik ini lagi-lagi seorang wanita datang dan begitu saja duduk di kursi di samping Niko.

“Ni–” baru saja wanita itu hendak bersuara, Niko langsung memotongnya.

“Aku bilang pergi!” Akibat pengaruh alkohol, kali ini Niko mudah sekali terbawa emosi.

“Berhentilah minum!” Wanita itu justru melawan.

“Dasar wanita Ja …” Saat Niko melirik ke arah wanita itu, dia menghentikan ucapan kotornya.

Niko mendapati wajah wanita yang terlihat familiar, pakaiannya juga terkesan sopan dan tertutup. Namun, pengaruh alkohol membuatnya mengabaikan dan berniat lanjut minum untuk ketiga kalinya.

Namun, wanita itu meraih gelasnya terlebih dahulu.

“Hei itu gelas milikku,” ucap Niko datar, mencoba menahan rasa kesalnya.

“Niko, pulang! Aku ingin bicarakan hal penting denganmu,” balas wanita itu.

Mendengar namanya disebut, Niko pun kembali melirik dan memperhatikan wajah wanita itu. 

Niko yang merasa mengenal wanita itu, lantas menepuk-nepuk kepala dan mengusap matanya untuk mengembalikan kesadarannya, “Nona?”

“Iya, ini aku, Echa,” jawab wanita itu. “minum berapa gelas kamu? Dan semenjak kapan kamu suka main ke sini?” cecarnya.

Niko tersenyum kecil, mengira Echa mencarinya untuk meminta maaf atas kesalahpahaman tadi siang.

“Sebaiknya Nona pulang. Tempat ini tidak pantas untuk Nona,” ucap Niko.

“Oke, ini kuncinya.” Echa memberikan sebuah kunci mobil yang biasa digunakan Niko.

Niko terkekeh pelan, “Bukankah Nona sudah memecatku?” ledeknya. “jadi, aku bukan lagi sopir atau pembantu Nona.”

“Niko, ikut aku keluar dari sini! Aku ingin berbicara 4 mata denganmu.” Nada bicara Echa mulai menunjukkan kekesalannya.

“Tidak.” Niko menggelengkan kepala. Ekspresinya begitu datar. “Nona bukanlah majikanku lagi. Jadi aku punya hak untuk menolak perintah Nona. Dan masalah–”

Ucapan Niko terpotong oleh suara Echa, “Menikahlah denganku!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status