Share

Bab 6

Tiba-tiba, notifikasi panjang telepon dari nomor asing mengagetkan Charlotte. Ia semakin terkesiap kala mengangkat panggilan dan mendengar suara dalam nan teduh dari seberang sana.

            “Hallo, Assalamu’alaikum...” sapanya tenang.

Charlotte membeku. Lidahnya kelu. Rasanya sulit sekali membalas salam dari suara di seberang.

            “Assalamu’alaikum. Betul ini nomor Charlotte? Saya Ustadz Fajri, Nak,” ujarnya lagi.

Perempuan bermanik hazel itu sedikit menepi ke dinding. Ia takut suaranya mengganggu Dea yang sedang beristirahat dengan lelap. “Wa’alaikumussalam. Na’am Ustadz, ana Charlotte.”

Terdengar helaan napas lega Fajri. “Gimana keadaan istri saya?” tanyanya tak berbasa-basi.

            “Kata dokter, Ustadzah Dea kelelahan, hal biasa pada ibu hamil. Sekarang beliau lagi istirahat, sambil nunggu infusan habis,” jawab Charlotte tenang tanpa mendramatisir keadaan.

            “Baik, kalo gitu. Ustadz minta tolong, titip dan jaga istri Ustadz dulu, ya, Nak. Ana udah di perjalanan menuju kesana. Boleh tau dimana ruang rawat istri Ustadz?” tanya Fajri sekali lagi.

Charlotte gegas memberi tahu letak ruang rawat Dea pada Fajri. Perempuan itu buru-buru memutuskan sambungan telepon setelah dirasa tak ada lagi percakapan di antara mereka.

********************

Di luar, pesona lembayung mulai menghiasi langit sore. Hari beranjak petang, namun Fajri tak kunjung datang. Mungkin perjalanannya dari Ponorogo menemui sedikit kendala. Jarum infus yang menancap di punggung tangan kanan Dea sudah dilepas beberapa menit lalu. Sembari menunggu Fajri, Charlotte memutuskan untuk menyuapi perempuan hamil itu terlebih dulu.

Entah karena faktor lapar atau ancaman opname dari dokter, Dea menerima setiap sendok makanan yang disodorkan Charlotte dengan lahap. Perempuan berparas Eropa itu tentu senang dibuatnya. Meski sesekali Dea harus menahan rasa mual dan ingin muntah. Charlotte sigap memegangi kantong plastik hitam untuk menampung cairan kental nan pahit tersebut.

            “Biar Ibu aja, Nak. Jijik,” ucap Dea seraya berusaha meraih lembaran tissue dari tangan Charlotte. Tampak sekali mimik tak enak hati terpancar dari wajah manisnya.

            “Gak apa-apa Ustadzah. Namanya juga lagi sakit,” tukas Charlotte cepat. Dengan telaten ia mengelap bagian bibir maupun dahi Dea yang banjir keringat dingin.

Dea memerhatikan aktivitas Charlotte yang tengah merawat dirinya dengan sorot tak terbaca. Terbesit rasa khawatir di hati mendapati perempuan muda ini kembali ke Tanah Air. Tapi di sisi lain, ia tersentuh dengan kelemah-lembutan Charlotte. Bahkan sejak pertama kali bertemu.

            “Mau dihabiskan makannya Ustadzah? Tinggal sedikit lagi,” tanya Charlotte lembut sambil memperlihatkan sebuah piring keramik putih ke arah Dea.

Dea gelagapan. “Gak, makasih. Perut Ibu udah gak sanggup nampung lagi,” balasnya gugup.

Charlotte mengangguk. “Kalo gitu, antum minum obat dulu, ya.” Dengan teliti, ia membuka setiap bungkus obat milik Dea yang baru saja ditebusnya di bagian farmasi rumah sakit. Charlotte lalu mengangsurkan enam butir obat berlainan warna dan bentuk tersebut kepada Dea.

Tok tok tok

Tiba-tiba suara ketukan di pintu menyapa sepasang rungu dua perempuan lintas usia itu. “Masuk,” titah Charlotte singkat. Tanpa mengalihkan perhatian, ia membantu Dea meminum air mineral dari botol yang diberi sedotan untuk memudahkan ibu hamil itu menenggak obat.

            “Dik, kamu gak apa-apa?” Laki-laki bertubuh jangkung merangsek masuk lalu menuju brankar pasien dengan terburu-buru. Meski gerak-geriknya dibuat setenang mungkin, kepanikan jelas tergambar di wajahnya. Refleks, ia merengkuh tubuh sang istri ke dalam dekapannya.

Dea terperanjat. Ia berusaha melepas pelukan Fajri dengan kedua manik yang gelisah menatap Charlotte. “Mas...” Dea menegur suaminya dengan suara lirih seraya melepaskan diri.

Fajri tersadar dan lekas merenggangkan kedua lengan. “Masih ada yang sakit?” tanyanya lembut. Laki-laki itu juga mengecek setiap detail tubuh sang istri. Dea hanya mampu menggeleng.

Sementara Charlotte yang terjebak di situasi canggung ini segera meletakkan botol air mineral ke atas nakas di samping brankar. Sesaat, ia memandangi pasangan suami-istri yang tengah melepas rindu dan risau tersebut. Ia mengulas senyum tipis tatkala netranya menangkap sorot penuh cinta dari manik legam Fajri pada istrinya sekaligus wajah Dea yang memerah sebab menahan malu.

Ia berdeham kecil, tapi mampu menarik atensi Dea maupun Fajri. “Afwan Ustadzah, Ustadz, saya nunggu di luar kalo gitu. Mari...” pamit Charlotte seraya mengayun langkah ke arah pintu.

Sebelum menutup pintu, indera pendengaran Charlotte tak sengaja menangkap suara Dea yang tengah memuntahkan sesuatu dari dalam tubuhnya. Ingin sekali ia masuk kembali dan membantu. Tapi hal itu urung ia lakukan setelah memerhatikan interaksi guru dan istrinya tersebut. Mereka sepertinya sedang membicarakan hal penting. Perempuan keturunan Indonesia itu memilih duduk menunggu di deretan bangku panjang tepat di seberang ruang rawat Dea.

********************

Kepergian Charlotte dengan langkah kikuk saat keluar dari ruang rawat justru memantik rasa gemas Fajri. Laki-laki berusia empat puluh tiga tahun itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum seraya dua pasang matanya tak berkedip sedikit pun menyorot pergerakan Charlotte.

Gelagat tak biasa Fajri tentu tertangkap netra sekaligus rasa Dea sebagai seorang istri. “Mas...” desisnya lirih, namun suaminya tak bergeming sama sekali. Kontan saja hatinya terberangus panas dan nyeri meski ini bukanlah kejadian pertama kali. Seolah mengalikan kesakitannya, tiba-tiba saja organ pencernaan Dea bergejolak seperti ada sesuatu mendesak ingin keluar dari sana.

Mendengar suara muntahan konstan sang istri, Fajri akhirnya tersadar dari keterpakuannya. Ia buru-buru meraih sembarang kantong plastik di atas nakas. Dea yang sudah tak tahan gegas merebutnya dari tangan Fajri. Laki-laki itu refleks memijat tengkuk Dea dengan lembut. Fajri juga mengelus-elus punggung kemudian mengelap mulut Dea menggunakan tissue.

            “Masih mual?” tanya Fajri cemas. Tangan kanannya mengusap kening Dea yang berkeringat. Sementara istrinya tersebut hanya menggelengkan kepala sebagai bentuk jawaban.

Fajri menghela napas perlahan. “Kamu opname aja, ya? Mas khawatir ada apa-apa kalo di rumah,” bujuk laki-laki asli Riau itu. Kekhawatiran benar-benar melanda dirinya pada kehamilan sang istri kali ini. Bagaimana tidak, Dea mengandung di usia tepat kepala empat.

Dea menggeleng keras. “Gak mau, Mas!” tolaknya. “Mas udah janji ngebolehin aku pulang ke Kediri buat acara nikahan ponakanku.” Dea kukuh dengan pendiriannya tak ingin dirawat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status