"Sedang apa? Ya sedang melihat-melihat perkebunan sekalian belajar memetik teh dong, Mas. Masa Mas tidak melihat pakaian dan perlengkapan saya ini?" Lara menunjuk diri sendiri, ambul berikut sepatu boots yang ia kenakan."Saya hampir terpeleset ini lho, Mas. Untung ada Aris. Tanah di sini memang licin rupanya." Lara dengan halus melepaskan tubuhnya dari pegangan Aris. Selanjutnya ia mendekati Bagas yang berdiri bersisian dengan Agni."Mas benar kalau perkebunan ini licin, makanya Mas tidak mau membawa saya ke sini tadi. Mas memang suami yang baik dan pengertian. Maafkan kengeyelan saya ya, Mas?"Lara memeluk lengan Bagas manja. Seketika Lara bisa merasakan kalau lengan Bagas mendadak kaku. Sebenarnya bukan hanya Bagas yang rikuh, tetapi Lara juga. Setelah malam panjang yang mereka lalui berdua, sulit bagi Lara untuk bisa menatap Bagas tanpa mengingat kegiatan yang mereka lakukan berdua. Namun mengingat kemungkinan daerah teritorinya akan diinvasi kembali oleh Agni, Lara merasa harus
Lara keluar dari balik punggung Bagas. Saat ini dirinya adalah Sesilia Hadinata, putri dokter Shinta dan insinyur Hardi Hadinata. Bukan Asmaulara Maulida, anak seorang ART dan supir. Ia akan membela diri sesuai dengan kapasitasnya. Orang seperti Agni harus ditegasi agar sadar diri. "Mbak Agni menyebut saya apa tadi? Perempuan gatal? Perempuan gatal dari mana? Lha wong saya gatalnya dengan suami sendiri." Lara berdiri di hadapan Agni. Menatap tajam Agni tepat di matanya, agar poin-poin kalimat yang ia tekankan masuk ke kepala Agni. "Mbak bilang saya tidak ada malunya sama sekali. Lha saya melakukannya dengan suami sah saya sendiri. Jadi ngapain saya malu? Benar tidak? Yang seharusnya malu itu, Mbak Agni. Ngapain Mbak pagi-pagi buta menemui suami orang?" Lara mendekatkan wajahnya pada Agni. Menantang Agni dalam jarak sejengkal. "Mas Bagas itu dulunya pacar saya. Dia menjadi suamimu karena terpaksa. Dia tidak mencintaimu!" Agni menembakkan senjata andalannya. "Mas Bagas itu dulunya
"Rencana apa yang ada di kepalamu hingga kamu berani mengarang cerita bohong pada Agni?" Bagas menepis lengan Sesil yang masih memeganginya. "Tidak ada rencana apa-apa, Mas. Saya hanya membeberkan kenyataan di depan mata Mbak Agni dan mata Mas juga," sahut Lara sambil menurunkan ambul di punggungnya. Punggungnya terasa gatal. Mungkin ada bilah-bilah ambul kecil yang menusuk punggungnya.Setelah ambul diturunkan, Lara langsung menjaga jarak dengan Bagas. Agni sudah tidak ada di antara mereka. Jadi ia tidak perlu bermain drama lagi. Ia bebas menjadi dirinya sendiri. Aksi Sesil yang seketika menjauh setelah bayangan Agni tidak terlihat, mengherankan Bagas. Tadi Sesil berusaha membuat Agni melihat kemesraan mereka berdua. Dan sekarang Sesil bersikap seolah-olah alergi berada di dekatnya. Aneh sekali. Kontradiktifnya sikap Sesil ini membuat Bagas makin curiga. Pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi Sesil menikahinya. Tapi apa itu? Sampai hari ini Bagas tidak bisa menebaknya. Baiklah, cu
"Mbak Sesil, ayo kita istirahat dulu." Bu Prapti, salah seorang buruh pemetik teh menghampiri Lara yang masih terus memetiki daun teh. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas siang. Waktunya untuk beristirahat dan menimbang teh hasil petikan ke rumah hujan. Setelah makan siang dan beristirahat sebentar pekerjaan baru akan dilanjutkan."Iya, Bu. Sebentar, nanggung." Lara mengisi ambul dengan beberapa pucuk daun teh lagi. Setelah ambulnya padat barulah Lara berjalan mengikuti Bu Prapti dan ibu-ibu lainnya menuruni bukit Menoreh."Capek ya, Mbak? Harusnya Mbak memetik tehnya iseng-iseng saja. Jangan mengikuti kami yang memang mencari nafkah di sini. Mbak pasti kelenger." Bu Prapti menasehati Sesil. Ia kasihan melihat nyonya mudanya kepayahan dengan tubuh basah kuyup karena keringat."Nggak apa-apa kok, Bu. Saya ini masih muda. Masih kuat. Lha Ibu yang sudah punya cucu saja masih bisa bekerja lebih dari delapan jam sehari. Sambil membawa beban di pinggang lagi," Lara menenangkan Bu Prapti.
Lara menjauhkan ponsel. Ia menimbang-nimbang sejenak jawaban yang akan ia berikan pada Sesil. Ia tidak tahu sampai sejauh mana Sesil mengetahui hubungannya dengan Priya."Apa maksud Non Sesil?" Lara memutuskan untuk berpura-pura bodoh saja. "Halah, jangan belagak bego lo! Kata Mbok Ningsih, Mas Priya mencari lo sampai ke rumah. Mas Priya juga mengaku pada Mbok Ningsih kalo dia itu pacar lo!"Priya tidak terima ia putuskan sepihak begitu saja rupanya. Makanya Priya mendatanginya ke rumah."Iya, kami memang sempat berpacaran. Tapi saya sudah memutuskan Mas Priya, Non. Saya sadar kalau status sosial kami terlalu jauh. Makanya saya bilang pada Mas Priya kalau hubungan kami tidak mungkin diteruskan.""Bagus kalo lo sadar! Gue nggak nyangka ya kalo anak babu kayak lo ini berani-beraninya bermimpi menjadi mantu calon walikota. Ngaca lo, anak babu. Ngaca!"Lara memegang ponsel dengan mata berair. Sesil kerap memanggilnya anak babu dibanding namanya sendiri. Tujuannya tentu saja ingin memperj
"Tidak ada waktu spesifik untuk melakukan hal itu, Sesil. Saya tahu kamu tidak senaif itu tidak mengetahui perihal pembuahan. Lain cerita kalau kamu berusaha menampilkan citra polos untuk menarik perhatian saya. Saran saya, jangan. Saya muak dengan segala hal yang berbau manipulatif," ancam Bagas tegas."Itu--panen bagaimana?""Mengenai panen, ada Aris dan beberapa mandor senior lainnya. Kamu tidak usah mengkhawatirkan masalah pekerjaan. Saya sudah mengorganisir semuanya."Lara terdiam dengan tatapan nyalang. Ia kehabisan alasan. Ia tidak tahu harus mengatakan apalagi demi menunda eksekusi.Kegugupan dan piasnya wajah Sesil membuat Bagas berpikir keras. Mengapa Sesil ini terus berubah-ubah sikapnya? Sebentar mengatakan mencintainya. Sebentar lagi air mukanya menunjukkan keengganan bahkan ketakutan. Bagas makin penasaran. Ia harus mencari tahu apa yang menyebabkan Sesil bersikeras ingin ia nikahi."Kamu bohong saat mengatakan bahwa kamu mencintai saya dan akan melakukan apapun agar sa
"Silakan masuk, Mbak." Ahsan membuka pintu mobil baris kedua dengan sopan. Ia ingat akan pesan Bagas di telepon tadi. Bahwa ia harus memperlakukan istrinya dengan baik sopan. Bagas juga berpesan agar istrinya duduk di baris kedua saja. Bukan di sampingnya seperti kebiasaan Bagas selama ini."Terima kasih M--Ahsan." Lara masuk ke dalam mobil seraya mengucapkan terima kasih. Lara nyaris memanggil Ahsan dengan sebutan Mas. Karena ia tahu bahwa usia Ahsan pasti jauh di atasnya. Ahsan ia taksir berusia pertengahan tiga puluhan seperti Bagas dan Aris. Tapi sesuai dengan tutur dan statusnya sebagai istri Bagas, pasti Ahsan akan menolak dipanggil Mas seperti Aris. Oleh katanya Lara memanggil Ahsan dengan namanya saja."Kita singgah ke pasar Plono dulu ya, San? Saya ingin membeli beberapa barang," pinta Lara. Pergi dengan terburu-buru dari Jakarta membuat bawaannya terbatas. Apalagi isi kopernya semua adalah gaun-gaun mewah nan seksi kepunyaan Sesil. Lara jadi hanya memakai dua stel pakaian ru
Pak Sasongko terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia memang tidak menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan Jaya Antareja. Termasuk anak laki-lakinya ini. Masalahnya Agni terus menerus menangis karena ditinggal menikah Bagas. Makanya sebagai seorang ayah, ia marah. Ia tidak terima jika putrinya disakiti. "Kalau kamu tidak serius dengan Agni, jangan memacarinya. Mengerti kamu?" geram Pak Sasongko lagi. "Tidak serius Bapak bilang? Saya pernah mencari Bapak untuk meminta izin melamar Agni tahun lalu. Dan Bapak bilang, selama Bapak masih hidup, jangan harap saya bisa menikahi Agni. Bapak masih ingat atau sudah pikun?" cecar Bagas lagi. "Saya tidak mau tahu. Hibur dan bujuk Agni agar ia tidak sedih lagi. Kalau tidak, siap-siap saja. Saya akan menghancurkanmu. Saya bersumpah!" ancam Pak Sasongko seraya berjalan ke arah mobilnya. "Saya tidak main-main. Kalau kamu tidak bisa membuat Agni kembali ceria, saya akan menghancurkanmu hingga tidak bersisa," ancam Pak Sasongko sekali la