"Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian
"Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru
"Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam
Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."
"Demi Allah, Bu Shinta. Bukan Lara yang mencuri jam tangan Non Sesil. Lara berani bersumpah!" Dengan mata sembab Asmaulara Husna kembali mengulangi kata-kata yang rasanya sudah puluhan kali ia ulang sejak dari rumah tadi.Sesilia Hadinata, anak majikannya menuduhnya mencuri jam. Lara baru saja pulang sekolah dan masuk dari pintu samping, saat Sesil tiba-tiba merebut tas ranselnya. Sesil kemudian membalik tas dan menumpahkan segala isinya ke lantai. Di sana, di antara buku-buku pelajaran dan alat-alat tulisnya yang berserakan, terselip sebuah jam tangan mahal. Jam tangan milik Sesil.Sesil lantas menuduhnya mencuri jam tangan barunya. Karena Lara tidak bersedia mengakui perbuatan yang memang tidak ia lakukan, Sesil membawanya ke rumah sakit di mana dokter Shinta, ibu Sesil praktek. Lara mengerti, Sesil ingin mengadukannya pada dokter Shinta. Sesil juga membawa serta ibunya yang selama ini mengasuh Sesil sedari bayi merah. Dengan disopiri oleh sang ayah, yang juga bekerja sebagai supir
"Kamu sekarang sudah mulai berani melawan Ibu ya, Lara? Sudah merasa hebat ya kamu?" Bu Ningsih yang sengaja berhenti di tengah lorong rumah sakit, menoyor geram kening Lara. Lara menggigit bibirnya keras. Ia bertahan bungkam dalam kesedihan. Lara sadar, tidak ada gunanya ia membantah. Karena apapun yang ia katakan, tidak akan bisa melembutkan hati sang ibu."Hajar terus, Mbok. Si Lara ini sekarang memang tidak tahu diri. Sudah salah, melawan lagi. Lara tidak ada sopan-sopannya pada Mbok Ningsih." Sesil memanas-manasi hati pengasuhnya. "Eh, jawab! Kamu punya mulut 'kan?" Bu Ningsih mendorong punggung Lara kasar. Ia makin emosi karena dipanas-panasi Sesil. Lara tetap mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia semakin mempercepat langkahnya menuju tempat parkir. Di mana sang ayah menunggu mereka semua."Dasar benar-benar anak durhaka ya kamu, Lara? Orang tua berbicara hanya dianggap angin lalu belaka. Sini kamu!" Bu Ningsih mengejar Lara yang hampir mencapai parkiran. Ia menjambak keras kunci
Empat tahun kemudian."Ini ongkos untuk ke kampus besok ya, Nduk? Kamu ada bimbingan dengan dosen pembimbing di kampus 'kan? Ayah akan ikut Bu Shinta seminar ke Bandung selama tiga hari. Jadi Ayah tidak bisa mengantarmu. Kamu berangkat dengan taksi online saja ya, Nduk?" Pak Yono meletakkan dua lembar uang seratus ribuan di atas meja makan. Keluarga kecilnya baru saja selesai makan malam. "Ngapain Lara diberi ongkos sebanyak itu, Pak? Lagi pula walaupun Bapak ikut ke Bandung, tapi 'kan ada Farhan yang akan menggantikan Bapak mengantar Sesil dan Lara ke kampus?" Bu Ningsih tidak setuju suaminya memberi ongkos terlalu banyak pada Lara. Suaminya ini terlalu memanjakan anak tidak pada tempatnya."Ada Farhan?" Pak Yono membuat air muka mencemooh. "Non Sesil itu selalu menyuap Farhan setiap kali Bu Shinta keluar kota. Sesil akan meminta Farhan pulang dan ia akan menyopir sendiri. Lara biasanya ia turunkan di tengah jalan. Anak itu memang nakalnya sampai ke tulang. Makanya Bapak memberikan
"Mau ke mana kamu? Duduk sini dulu!" Bu Ningsih membentak Lara yang bersiap menyelinap ke kamarnya. Daripada ribut, Lara mengikuti perintah sang ibu. Ia duduk bagai robot di kursi makan. Sikap mempertahankan diri seperti ini sudah ia praktekkan bertahun lalu. Sejak ia sadar kalau ibunya tidak mencintainya seperti ibu pada umumnya. Namun ia selalu ingat pada pesan ayahnya. Bahwa ibunya mencintainya dengan cara berbeda. Keras karena ia ingin dirinya kelak mampu melewati dunia yang lebih keras lagi. Di dunia ini tidak ada ibu yang tidak mencintai anaknya. Hanya kalimat singkat itulah yang menjadi pelipur laranya jikalau ia sedih karena diperlakukan tidak simpatik. Kalau ia tidak terus mengingat-ingat nasehat ayahnya itu, ia pasti sudah depresi sejak lama."Kamu itu sudah besar, Ra. Sudah dewasa. Mengapa kamu tidak malu menerima uang dari orang lain?" cibir Bu Ningsih. Kalimat tidak simpatik sang ibu membuat Lara mendongak."Ayah bukan orang lain, Bu. Ayah adalah orang tua Lara. Begitu j