Share

2. Ibu Kandung Rasa Ibu Tiri.

"Kamu sekarang sudah mulai berani melawan Ibu ya, Lara? Sudah merasa hebat ya kamu?" Bu Ningsih yang sengaja berhenti di tengah lorong rumah sakit, menoyor geram kening Lara. 

Lara menggigit bibirnya keras. Ia bertahan bungkam dalam kesedihan. Lara sadar, tidak ada gunanya ia membantah. Karena apapun yang ia katakan, tidak akan bisa melembutkan hati sang ibu.

"Hajar terus, Mbok. Si Lara ini sekarang memang tidak tahu diri. Sudah salah, melawan lagi. Lara tidak ada sopan-sopannya pada Mbok Ningsih." Sesil memanas-manasi hati pengasuhnya. 

"Eh, jawab! Kamu punya mulut 'kan?" Bu Ningsih mendorong punggung Lara kasar. Ia makin emosi karena dipanas-panasi Sesil. 

Lara tetap mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia semakin mempercepat langkahnya menuju tempat parkir. Di mana sang ayah menunggu mereka semua.

"Dasar benar-benar anak durhaka ya kamu, Lara? Orang tua berbicara hanya dianggap angin lalu belaka. Sini kamu!" Bu Ningsih mengejar Lara yang hampir mencapai parkiran. Ia menjambak keras kuncir kuda Lara yang memang sudah melorot akibat dijambak sebelumnya oleh Sesil.

"Sudah, Bu. Sudah! Lara Ini anak kandungmu sendiri. Kenapa kamu memperlakukannya seperti maling begini?" Pak Yono yang sedang merokok, membuang rokolnya begitu saja. Tergopoh-gopoh Pak Yono menarik Lara ke sisinya. Mencegah sang istri yang begitu bengis memukuli anak kandungnya sendiri.

"Dia memang maling, Pak? Makanya Ibu malu karena telah gagal mendidik anak. Anakku menjadi maling di rumah majikan yang telah memberinya makan dan tempat berlindung. Ibu malu, Pak. Ibu malu!" Bu Ningsih menepuk dadanya sendiri.

"Siapa yang bilang kalau Lara maling?" tukas Pak Yono gusar.

"Memang Lara maling kok, Pak. Buktinya di rumah tadi Bapak juga lihat 'kan kalau jam baru gue ada di tas Lara. Maling itu cocoknya di penjara, Pak."

Yang menjawab pertanyaan Pak Yono adalah Sesil. Berbeda Mbok Ningsih yang selalu membelanya, Pak Yono ini tidak pernah memihaknya.

"Betul tadi Bapak melihat kalau di tas Lara ada jam Non Sesil. Tapi itu bukan satu-satunya bukti untuk menjadikan Lara tertuduh. Non Sesil tidak melihat dengan mata dan kepala Non sendiri kalau Lara yang mencuri jam itu bukan?" tantang Pak Yono. Ia sudah mengetahui pencuri yang sebenarnya dari Pak Daus. Satpam rumah yang baru saja memeriksa CCTV. 

"Gue memang tidak melihat dengan mata dan kepala gue sendiri. Tapi siapa lagi mencurinya kalau bukan Lara?" tuding Sesil geram.

"Non Sesil lah yang paling tahu siapa pencurinya. Bapak sudah meminta Pak Daus untuk memeriksa CCTV. Di sana terlihat jelas siapa yang mencurinya. Non ingin melihat pencurinya tidak?" tantang Pak Yono. Air muka Sesil seketika berubah. Pak Yono sudah memegang kartu As-nya. 

"Kata Non Sesil tadi maling itu cocoknya di penjara bukan? Bapak akan mewujudkan keinginan Non Sesil secepatnya. Bapak akan memberikan rekaman CCTV itu pada Bu Shinta. Dengan demikian--"

"Jangan, Pak!" seru Sesil panik. Jikalau ibunya melihat rekaman CCTV itu, dirinya pasti akan dihukum. Dirinya memang ceroboh karena lupa mematikan CCTV saat akan beraksi memfitnah Lara. 

"Kita sudahi saja masalah jam sampai di sini. Tidak perlu dibahas-bahas lagi. Kita pulang saja, Pak. Gue sudah lapar." Sesil berupaya mengubah topik pembicaraan. 

"Baik. Bapak tidak akan melaporkan soal maling yang sebenarnya ini kepada Bu Shinta. Tapi Non Sesil harus meminta maaf dulu kepada Lara. Karena Non Sesil sudah memfitnahnya. Setelahnya Non Sesil harus menjelaskan perkara ini pada Bu Shinta. Karanglah cerita sesuka Non Sesil. Yang penting Bu Shinta tahu kalau Lara bukanlah seorang pencuri." 

Pak Yono memberi persyaratan pada Sesil. Pak Yono ingin mengembalikan nama baik dan harga diri putrinya.

"Tidak sudi!" Sesil memberengut. 

"Kalau begitu, Bapak akan memperlihatkan rekaman CCTV itu pada Bu Shinta," ancam Pak Yono tegas.

"Oke... oke... Gue akan minta maaf." Sesil mengangkat tangannya ke udara tanda menyerah. Ia memutuskan untuk mengalah saja kali ini. Hitung-hitungannya akan lebih mudah kalau ia meminta maaf, daripada ia harus mendapat hukuman dari sang ibu.

"Gue minta maaf!" Sesil meminta maaf dengan suara ketus. Seumur hidupnya ia tidak pernah minta maaf kepada siapapun kecuali kedua orang tuanya. Meminta maaf kepada anak pembantunya seperti ini, membuat harga dirinya terjun bebas.

"Yang tulus kalau meminta maaf, Non. Sebutkan pula apa alasan Non meminta maaf. Kalau tidak, Bapak akan memberitahu semua orang siapa pencuri yang sebenarnya." 

Walau diucapkan dengan nada suara datar, ancaman Pak Yono sangat terasa.

"Baik. Gue minta maaf karena sudah menuduh lo mencuri. Padahal gue yang silap meletakkan jam itu di tas lo!" Dengan wajah merah padam karena malu, Sesil mengakui perbuatannya.

Lara meradang. Berarti Sesil dengan sengaja memfitnahnya.

"Jadi Non Sesil memang berniat memfitnah saya? Kenapa Non begitu keji pada saya? Apa yang sudah saya lakukan sampai Non membenci saya sampai sedemikian rupa?" 

Lara mempertanyakan motif Sesil memfitnahnya. Ia benar-benar penasaran. Ia ingin tahu apa yang sudah diperbuatnya sampai Sesil selalu berniat jahat padanya. Bukan sekali dua kali Sesil memfitnah dan mencuranginya. Lara ingin tahu apa sebabnya. Barangkali ada perbuatannya yang tidak sengaja menyakiti Sesil, maka ia akan memperbaikinya.

"Sudah, Lara. Jangan diperpanjang lagi. Non Sesil toh sudah meminta maaf. Orang 'kan sekali-sekali bisa silap juga." Bu Ningsih melerai perdebatan Lara dan Sesil. 

"Ibu juga minta maaf pada Lara." Pak Yono menatap Bu Ningsih tajam. Ada ketegasan tak terbantahkan di matanya. 

"Ibu minta maaf, Lara. Ayo sekarang kita semua pulang. Pekerjaan Ibu di rumah masih banyak." Bu Ningsih mendekati mobil yang terparkir dan duduk di kursi penumpang. Sesil tanpa banyak bicara mengikuti dengan lesu. Ia kesal karena hari ini kembali kalah dengan anak pembantunya ini. 

Namun ketika melirik ke arah Lara, Sesil tersenyum culas. Lara tampak sedih dan kecewa pada ibunya. Sesil tahu kalau Lara itu sebenarnya iri padanya. Karena ibu kandungnya sendiri lebih sayang padanya, yang nota bene adalah anak majikannya. 

Satu rencana pembalasan dendam kembali tersusun dalam benak Sesil. Ia boleh saja kalah dalam masalah jam. Namun dalam hal kasih sayang, ia akan membuat Lara menangis darah karena cemburu.

"Mbok, gue duduk di belakang dengan Mbok saja ya? Kepala gue pusing banget." Sesil pura-pura mengernyitkan dahinya. Membuat ekspresi kesakitan yang seketika membuat mbok Ningsih panik.

"Hah, Non Sesil sakit? Sini... sini... tiduran saja di bahu Mbok." Bu Ningsih menggeser duduknya. Memberi tempat untuk Sesil duduk. Setelahnya ia merebahkan kepala Sesil dalam buaiannya. Memijat-memijat kening Sesil lembut dan meminta Sesil untuk tidur saja.

"Mau berapa lama kamu bengong di situ, Lara? Ayo masuk ke dalam mobil. Kamu duduk di depan dengan ayahmu saja," bentak Bu Ningsih tidak sabar. 

Dengan air mata tergenang, Lara masuk ke dalam mobil. Sesungguhnya ia juga tidak enak badan. Kulit kepalanya perih karena tadi dijambak kasar oleh Sesil. Pipinya juga berdenyut karena ditampar oleh ibunya. Ia juga ingin dipeluk oleh ibunya. Hanya saja Lara tidak berani mengatakannya. Ia takut kalau ibunya akan naik darah. Dalam tidur pura-puranya Sesil tersenyum. Ia puas sekali membuat Lara menderita. Lara ini cuma anak pembantu. Sudah seharusnya dirinya sebagai anak majikan yang memperoleh semua priviledge di dunia ini bukan?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mul Yani
sesil dn ningsih contoh wanita najis menjijikan attitude nya
goodnovel comment avatar
rumah dhena
ada ya ibu kayak Ningsih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status