"Kamu tadi bilang sengaja datang ke sini tanpa ayahmu, karena ingin mengajak saya berekonsiliasi menantang perjodohan ini. Kamu tidak punya cukup keberanian untuk menantang ayahmu secara terbuka ya? Makanya kamu mengajak saya untuk mengeroyok ayahmu? Saya tidak tahu harus berekspektasi apa terhadapmu." Lara membalikkan sindiran Bagas telak.
"Ehm... Ehm... Non Sesil, Pak Bagas, apa tidak sebaiknya berangkat sekarang? Takutnya nanti kemalaman di jalan." Bu Ningsih memotong percakapan yang mulai memanas antara Lara dan Bagas. Khusus pada Lara, Bu Ningsih memberinya tatapan mengancam. Lara ini memang keras hati. Susah sekali membungkam mulut besarnya."Ibu benar. Baiklah, kami akan berangkat sekarang. Sepertinya Sesil sudah tidak sabar menjadi istri saya secepatnya. Kami permisi dulu ya, Bu?" Bagas beringsut dari sofa. Ia ngeloyor ke depan tanpa melirik sedikit pun pada Lara yang kesulitan berjalan dengan koper besar di belakangnya.
"Kamu ini tidak bisa dibilangin ya?" Bu Ningsih menjewer telinga Lara gemas begitu bayangan Bagas menghilang.
"Aduh! Sakit, Bu." Lara meringis. Ibunya memutar daun telinganya terlebih dahulu baru menjewernya. Sakitnya dua kali lipat dari jeweran biasa.
"Rasakan, karena kamu terus saja mencari-cari masalah. Tidak bisa ya kamu diam dan menutup mulutmu saja? Bagaimana kalau Bagas nanti curiga dan mengetahui semuanya? Bisa-bisa ayahmu nanti hanya tinggal nama. Awas, jangan macam-macam kamu di Yogya sana!" Bu Ningsih memperingati Lara sekali lagi.
"Iya, Bu. Lepaskan telinga Lara. Sakit." Lara meringis.
"Makanya kamu jangan bertingkah. Kamu dengar tadi apa yang Non Sesil bilang bukan? Bahwa setelah ayahmu dioperasi pun, ayahmu masih harus menjalani serangkaian perawatan panjang di rumah sakit. Dan itu semua memerlukan biaya yang mahal. Jadi kalau sampai penyamaranmu ketahuan, maka nyawa ayahmu bisa melayang. Paham kamu?"
Bu Ningsih melepas jewerannya setelah memberi Lara ancaman.
Lara tercekat. Ia lupa kalau nyawa ayahnya ada di pundaknya saat ini. Kalau ia terus saja melawan Bagas, nyawa ayahnya bisa melayang. Masalahnya Bagas terlalu merendahkannya, sehingga ia menjadi emosi.
"Paham, Bu. Tolong bilang pada Non Sesil dan Pak Hardi. Lara janji, Lara akan menuruti semua keinginan mereka asal perawatan ayah jangan dihentikan." Lara kini pasrah. Demi ayahnya ia akan diam saja meski dianggap buruk oleh Bagas. Yang penting ayahnya bisa tetap hidup.
"Bagus. Turuti dan mengalah saja pada Bagas. Dengan begitu keadaan ayahmu akan aman." Bu Ningsih akhirnya bisa menarik napas lega. Lara ini kalau sudah berjanji, pasti akan ia tepati.
"Kamu akan menikah dengan wali hakim karena Pak Hardi sedang di Bandung. Pak Hardi dan Pak Jaya sudah mengurus semuanya. Kamu tinggal terima beres dan tutup mulut saja. Mengerti?" tandas Bu Ningsih lagi. Lara tidak menyahuti kata-kata ibunya. Sebagai gantinya ia mengangguk saja.
"Kamu jadi ikut saya ke Yogya tidak?" Terdengar seruan Bagas dari halaman rumah.
"Sana, Bagas sudah memanggilmu." Bu Ningsih membuat gerakan mengusir dengan tangannya.
"Bu, kalau nanti ayah siuman, kabari Lara ya? Biar Lara tenang." Lara menitip pesan sebelum mendorong kopernya. Bagas telah berkali-kali membunyikan klakson mobilnya.
"Iya... iya... sana cepat, Bagas sudah memanggil," seru Bu Ningsih tidak sabar.
"Cepat naik kalau kamu tidak mau saya tinggal!" bentak Bagas seraya membunyikan klakson panjang. Tergopoh-gopoh Lara menghampiri mobil Bagas di halaman. Ia kemudian membuka bagasi mobil besar Bagas. Mengangkat koper besarnya dengan susah payah dan segera menutupnya setelah kopernya aman di dalamnya. Lara mengitari mobil dan duduk di samping Bagas. Sejurus kemudian mobil pun melaju. Lara memandangi rumah besar yang selama dua puluh tahun lamanya Lara tinggali hingga mengecil dan tak tampak lagi.
"Lehermu bisa patah kalau kamu terus memandangi rumahmu," ejek Bagas lagi. Ia heran melihat sikap gadis yang duduk di sampingnya ini. Tadinya Sesil begitu bersemangat mengikutinya pulang. Namun kini ia terlihat sangat tertekan. Seolah-olah ia tidak rela meninggalkan rumah mewahnya. Apa sebenarnya yang ada di benak Sesil ini?
Ocehan Bagas tidak lagi ditanggapi oleh Lara. Seperti janjinya pada sang ibu ia akan menahan semua dera dan siksa dari Bagas. Ia akan menjadi orang bisu, tuli dan buta.
"Kenapa kamu diam? Tidak punya mulut?" Bagas gemas karena Sesil menganggapnya angin lalu belaka.
"Saya tidak mau menjawab pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban," sahut Lara getir. Ia tidak berhasrat untuk menyindir atau menantang Bagas lagi. Ia sudah pasrah pada nasibnya.
"Baik. Kalau begitu saya juga tidak akan berbasa basi lagi denganmu." Bagas tiba-tiba saja menghentikan laju kendaraannya. Ia ingin berekonsiliasi dengan Sesil sebelum mereka berdua resmi menikah.
"Saya tidak mencintaimu," tandas Bagas terus terang.
Lara menghela napas. Tidak bisa seperti ini. Nanti, yang ada pernikahan ini batal dan membuat Sesil, serta ibunya marah. "Tapi, saya mencintaimu. Makanya saya ingin secepatnya menikah denganmu."
Bagas menatap Lara tajam. Entah mengapa, dia melihat keraguan di mata perempuan itu meski perempuan itu terlihat berani.Namun, belum sempat membalas, Lara sudah kembali berbicara, "Tidak masalah kalau kamu belum mencintai saya. Saya berjanji, saya akan melakukan apa saja agar kelak kamu bisa mencintai saya."Apa yang terjadi, terjadilah. Lara sudah tidak peduli. Yang penting, pernikahan ini terus berjalan sampai Sesil merasa puas.Sementara itu, Bagas mengernyitkan dahi. Ia menatap Sesil dengan pandangan ganjil. Bagaimana kepribadian perempuan yang bernama Sesilia Hadinata ini? Bahasa tubuhnya terus saja berubah-ubah. "Sebenarnya saya sudah mempunyai pacar. Kami berhubungan sudah sangat lama. Masalahnya kedua orang tua kami bermusuhan. Jadi seandainya kita menikah pun, saya tidak akan pernah mencintaimu. Saya melakukan semua ini hanya karena amanah ayah saya yang sedang sakit." Bagas mencoba kembali bernegosiasi dengan Sesil. "Tidak masalah. Pokoknya saya ingin kamu nikahi sece
"Agni!" Desisan terperanjat dari mulut Bagas telah menjelaskan semuanya. Gadis ini adalah Agni Paramitha, pacar Bagas. Pacar yang tidak direstui oleh ayahnya tepatnya. Bagas melambatkan kendaraan sebelum benar-benar berhenti di depan sang gadis. Adegan selanjutnya sudah bisa Lara duga. Gadis yang kini berurai air mata itu berlari mendekati mobil. Saat Bagas keluar dari mobil, sang gadis langsung mengalungkan kedua tangannya di leher Bagas. Memeluknya erat dalam sedu-sedan memilukan. Lara terkesima. Ia memang menduga akan ada adegan-adegan haru ala sinetron yang akan diperlihatkan pacar Bagas. Namun ekspektasinya jauh di bawah adegan yang cukup berani untuk ukuran dusun ini. Agni tampak begitu berani memeluk Bagas. Sementara Bagas sendiri tampak kaget dan segera menjaga jarak. Lara tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Lara hanya melihat Agni berkali-kali menatap ke arahnya dengan air muka geram. Sekonyong-konyong Agni berlari ke arahnya dan memukul-mukul kaca mobil. Di b
"Turun!" seru Bagas keras pada Sesil. Ia kesal karena Sesil masih saja duduk bengong padahal mereka telah tiba di tempat tujuan."Heh, apa?" Lara tergagap. Ia tidak mendengar kata-kata Bagas karena sepanjang jalan ia terus bergumul dengan benaknya sendiri. Makanya ia kaget saat Bagas tiba-tiba saja mengajaknya bicara."Kamu ingin terus duduk di mobil atau masuk ke dalam rumah?" Bagas kembali membentak Sesil. Moodnya yang sudah jelek karena insiden Agni tadi, membuatnya semakin kesal pada Sesil. Ia sama sekali tidak menyangka kalau rencana yang telah ia susun bersama Agni, berujung kacau seperti ini."Oh," umpatan Bagas hanya ditanggapi kata oh oleh Lara. Selanjutnya Lara turun dari mobil. Setelah berada di luar mobil, barulah Lara memandang takjub keindahan alam di sekelilingnya. Pemandangan hijau-hijau dengan semilir angin yang sejuk membelai-belai kulitnya."Indahnya ciptaanmu ya, Allah," gumam Lara lirih. Ia mengagumi suburnya tanaman teh yang terhampar bagai karpet hijau raksasa d
"Selamatkan nyawa ayah hamba ya, Allah?" Arimbi meletakkan ponsel di dada. Ia seolah-olah ingin memeluk ayahnya. "Masuk," Lara menjawab tatkala pintu kamarnya diketuk dari luar."Saya Aris, Mbak. Saya disuruh si Mbok untuk mengantarkan koper." Terdengar sahutan dari pintu. Suara seorang pria. Pantas saja orang tersebut tidak berani langsung membuka pintu kamar walau sudah diizinkan masuk. Lara beringsut dari ranjang. Setelah menyeka kedua pipinya yang lembab oleh air mata terlebih dahulu, Lara membuka pintu kamar. Terlihat seorang pria gagah berdiri di depan pintu dengan koper di sampingnya."Ini kopernya, Mbak. Mau diletakkan di mana?" tanya Aris canggung. Di hadapannya adalah calon majikannya. Ia tidak berani terlalu lama menatap wajah ayu yang tampak habis menangis di depannya. "Sini, biar saya letakkan sendiri, Mas Aris. Oh ya, nama saya Sesil," Lara memperkenalkan diri, seraya meraih troli koper di samping Aris."Salam kenal, Mbak Sesil. Saya Aris anak Mbok Sumi. Panggil saya
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sedari masuk diantar Mbok Sum tadi, Lara belum keluar kamar. Ia menghabiskan waktu dengan membongkar koper. Menyusun gaun-gaun mewah di dalam lemari yang rata-rata adalah milik Sesil. Lara sendiri hanya membawa beberapa celana jeans, kemeja dan kaos-kaos rumahan saja. Sesil memberikan gaun-gaunnya agar penyamarannya sebagai anak orang kaya lebih meyakinkan katanya. Tidak lucu kalau anak orang kaya pakaiannya seperti gembel. Sayangnya Lara malah tidak berani memakai gaun-gaun Sesil yang rata-rata berpotongan dada rendah itu. Lehernya kalau tidak model V neck, pasti sabrina. Sesil memang menyukai gaun-gaun yang seksi. Sepertinya gaun-gaun dari Sesil akan berakhir di dalam lemari saja.Selesai menata lemari, Lara berjalan menuju jendela. Ia kemudian membuka jendela kamarnya yang terbuat dari kayu. Seketika udara sejuk menerpa wajah dan kulit tubuhnya. Suasana malam di pedesaan ternyata begitu indah. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik yang mem
"Pelan-pelan meletakkan piringnya, Lan. Anak gadis kok kasar kerjanya," Mbok Sum mengomeli Wulan."Namanya juga tidak sengaja, Bu. Lain kali Wulan akan pelan-pelan," cetus Wulan acuh. Kini ia meletakkan piring di depan Bagas. Berbeda dengan Lara, perlakuan Wulan pada Bagas sangat lembut dan hati-hati. "Terima kasih ya, Wulan?" Bagas mengucapkan terima kasih pada Wulan diiringi seulas senyum manis. Ia sudah menganggap Wulan seperti adiknya sendiri."Iya, Mas," ucap Wulan tersipu. Pipinya seketika merona. Sekarang Lara tahu mengapa Wulan memusuhinya. Wulan menyukai Bagas rupanya."Ini piring kesukaan Bapak." Wulan meletakkan piring di depan Pak Jaya hati-hati. Wulan tahu Pak Jaya menyukai piring ini karena dulu diberikan oleh Bu Rahmawati, almarhumah istrinya."Terima kasih ya, Wulan. Bagaimana pekerjaan di pabrik? Lancar?" Pak Jaya mengajak Wulan mengobrol. Wulan ini bekerja di kebun teh. Wulan juga sudah ia anggap seperti putrinya sendiri."Lancar, Pak. Ekspor kita keluar negeri maki
Lara duduk melamun di meja rias seraya menyisir rambut. Ia baru saja mandi setelah acara resepsi usai. Setelah ijab kabul pagi tadi, acara memang dilanjutkan dengan resepsi. Berbeda dengan pernikahan di ibukota yang rata-rata mengelar acara resepsi di gedung atau hotel-hotel mewah, di kampung ini lazimnya resepsi dilakukan di rumah mempelai. Apalagi jika mempelai mempunyai rumah atau pekarangan yang luas. Dengan tenda-tenda lebar dan dekorasi yang apik, di sinilah acara akan digelar. Kerabat, teman, tetangga akan datang berbondong-bondong memeriahkan acara. Suasana kekeluargaan di kampung ini masih sangat kental.Lara melirik pintu kamar mandi tatkala mendengar suara gemericik air. Bagas tengah membersihkan diri setelah dirinya keluar dari kamar mandi. Lara sadar. Bahwa mulai hari ini dan seterusnya, dirinya akan terikat pada Bagas. Masih segar dalam ingat Lara, tatapan penuh amarah Bagas saat cara ijab kabul tadi pagi. Bagas pasti menganggapnya penghancur masa depannya bersama Agni
"Capek memang. Tapi saya masih bisa melaksanakan tugas ini dengan baik dan sempurna. Saya tidak selemah itu," ejek Bagas. Sebenarnya bukan hanya Sesil yang tegang, Bagas juga. Istimewa Sesil juga sudah mulai mengubah panggilan yang tadinya dengan kamu menjadi Mas. Kesannya menjadi lebih intim."Bukan masalah lemah. Hanya saja saya perhatikan dalam film atau sinetron, biasanya hal seperti ini ditunda dulu sampai kedua mempelai sama-sama fit," pungkas Lara. Alasan Lara dihadiahi senyum sinis oleh Bagas."Kamu jangan terpengaruh pada adegan dalam sinetron yang semuanya dibuat atas kemauan sutradara. Jarang sekali ada yang menunda malam pertama. Lagi pula secapek-capeknya laki-laki, melakukan hal seperti ini, semua capeknya akan langsung hilang. Satu lagi, kamu jangan mengira kalau laki-laki hanya bisa melakukan hubungan suami istri atas dasar cinta. Itu semua omong kosong. Karena semua laki-laki normal bisa melakukannya asal dengan lawan jenisnya. Cinta tidak ada hubungannya dengan nafsu