Lara duduk melamun di meja rias seraya menyisir rambut. Ia baru saja mandi setelah acara resepsi usai. Setelah ijab kabul pagi tadi, acara memang dilanjutkan dengan resepsi. Berbeda dengan pernikahan di ibukota yang rata-rata mengelar acara resepsi di gedung atau hotel-hotel mewah, di kampung ini lazimnya resepsi dilakukan di rumah mempelai. Apalagi jika mempelai mempunyai rumah atau pekarangan yang luas. Dengan tenda-tenda lebar dan dekorasi yang apik, di sinilah acara akan digelar. Kerabat, teman, tetangga akan datang berbondong-bondong memeriahkan acara. Suasana kekeluargaan di kampung ini masih sangat kental.Lara melirik pintu kamar mandi tatkala mendengar suara gemericik air. Bagas tengah membersihkan diri setelah dirinya keluar dari kamar mandi. Lara sadar. Bahwa mulai hari ini dan seterusnya, dirinya akan terikat pada Bagas. Masih segar dalam ingat Lara, tatapan penuh amarah Bagas saat cara ijab kabul tadi pagi. Bagas pasti menganggapnya penghancur masa depannya bersama Agni
"Capek memang. Tapi saya masih bisa melaksanakan tugas ini dengan baik dan sempurna. Saya tidak selemah itu," ejek Bagas. Sebenarnya bukan hanya Sesil yang tegang, Bagas juga. Istimewa Sesil juga sudah mulai mengubah panggilan yang tadinya dengan kamu menjadi Mas. Kesannya menjadi lebih intim."Bukan masalah lemah. Hanya saja saya perhatikan dalam film atau sinetron, biasanya hal seperti ini ditunda dulu sampai kedua mempelai sama-sama fit," pungkas Lara. Alasan Lara dihadiahi senyum sinis oleh Bagas."Kamu jangan terpengaruh pada adegan dalam sinetron yang semuanya dibuat atas kemauan sutradara. Jarang sekali ada yang menunda malam pertama. Lagi pula secapek-capeknya laki-laki, melakukan hal seperti ini, semua capeknya akan langsung hilang. Satu lagi, kamu jangan mengira kalau laki-laki hanya bisa melakukan hubungan suami istri atas dasar cinta. Itu semua omong kosong. Karena semua laki-laki normal bisa melakukannya asal dengan lawan jenisnya. Cinta tidak ada hubungannya dengan nafsu
Lara terbangun kala mendengar gemerisik kain yang disibak dari sampingnya. Sepertinya Bagas sudah terbangun. Lara tidak tahu saat ini pukul berapa, karena suasana kamar yang gelap gulita. Bagas tadi memintanya mematikan semua lampu. Katanya ia tidak menyukai cahaya apa pun pada saat tidur. Sejurus kemudian terdengar suara saklar lampu ditekan, yang diikuti menyalanya lampu tidur. Lara mengernyitkan mata karena silau. Namun ia tetap diam. Setelah kejadian semalam, ia masih belum siap berhadapan muka dengan Bagas. Lara nyaris terpekik tatkala ponsel Bagas tiba-tiba saja berbunyi. Ia kaget. Refleks Lara melirik jam di dinding kamar. Pukul 04.30 WIB. Lara tidak menyangka kalau Bagas mempunyai kebiasaan bangun sepagi ini. "Ada apa kamu menelepon Mas subuh-subuh begini?" Lara mendengar Bagas menjawab ponsel dengan suara lirih. "Mas tidak suka kalau kamu menjadi posesif begini." Bagas membuang selimut ke sisi bale-bale. Ia mulai kehabisan kesabaran menghadapi tingkah Agni yang kekanaka
"Iya, Lan. Mas Bagas sekarang sudah beristri. Kamu tidak boleh bersikap seperti biasanya. Hormati Mbak Sesil." Mbok Sum segera mengambil sikap. Putrinya ini memang terlalu berani untuk ukuran anak pembantu. Akibat terlalu dimanjakan Pak Jaya dan Bagas sedari kecil, Wulan terkadang melupakan statusnya. Sekarang Bagas sudah beristri. Tugasnya sebagai seorang ibu adalah memperingati putrinya."Mengapa begitu? Biasanya saya bebas berkomunikasi dengan Mas Bagas?" Wulan meradang. Ia tidak mempedulikan kata-kata ibunya. Ia juga tidak lagi berusaha menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Sesil. Gadis kota ini terlalu sombong dan posesif."Seperti yang saya katakan dan juga ibumu tadi, Mas Bagas sekarang sudah beristri. Kenali posisimu. Memangnya kamu siapanya Mas Bagas?" Lara mendebat langsung pada poinnya."Saya... saya..." Wulan kehabisan kata-kata. Kalimat Sesil memukul telak dirinya. Walaupun Pak Jaya dan Bagas menganggapnya keluarga, tapi dirinya memang bukan siapa-siapa. Ia tidak bisa me
"Sedang apa? Ya sedang melihat-melihat perkebunan sekalian belajar memetik teh dong, Mas. Masa Mas tidak melihat pakaian dan perlengkapan saya ini?" Lara menunjuk diri sendiri, ambul berikut sepatu boots yang ia kenakan."Saya hampir terpeleset ini lho, Mas. Untung ada Aris. Tanah di sini memang licin rupanya." Lara dengan halus melepaskan tubuhnya dari pegangan Aris. Selanjutnya ia mendekati Bagas yang berdiri bersisian dengan Agni."Mas benar kalau perkebunan ini licin, makanya Mas tidak mau membawa saya ke sini tadi. Mas memang suami yang baik dan pengertian. Maafkan kengeyelan saya ya, Mas?"Lara memeluk lengan Bagas manja. Seketika Lara bisa merasakan kalau lengan Bagas mendadak kaku. Sebenarnya bukan hanya Bagas yang rikuh, tetapi Lara juga. Setelah malam panjang yang mereka lalui berdua, sulit bagi Lara untuk bisa menatap Bagas tanpa mengingat kegiatan yang mereka lakukan berdua. Namun mengingat kemungkinan daerah teritorinya akan diinvasi kembali oleh Agni, Lara merasa harus
Lara keluar dari balik punggung Bagas. Saat ini dirinya adalah Sesilia Hadinata, putri dokter Shinta dan insinyur Hardi Hadinata. Bukan Asmaulara Maulida, anak seorang ART dan supir. Ia akan membela diri sesuai dengan kapasitasnya. Orang seperti Agni harus ditegasi agar sadar diri. "Mbak Agni menyebut saya apa tadi? Perempuan gatal? Perempuan gatal dari mana? Lha wong saya gatalnya dengan suami sendiri." Lara berdiri di hadapan Agni. Menatap tajam Agni tepat di matanya, agar poin-poin kalimat yang ia tekankan masuk ke kepala Agni. "Mbak bilang saya tidak ada malunya sama sekali. Lha saya melakukannya dengan suami sah saya sendiri. Jadi ngapain saya malu? Benar tidak? Yang seharusnya malu itu, Mbak Agni. Ngapain Mbak pagi-pagi buta menemui suami orang?" Lara mendekatkan wajahnya pada Agni. Menantang Agni dalam jarak sejengkal. "Mas Bagas itu dulunya pacar saya. Dia menjadi suamimu karena terpaksa. Dia tidak mencintaimu!" Agni menembakkan senjata andalannya. "Mas Bagas itu dulunya
"Rencana apa yang ada di kepalamu hingga kamu berani mengarang cerita bohong pada Agni?" Bagas menepis lengan Sesil yang masih memeganginya. "Tidak ada rencana apa-apa, Mas. Saya hanya membeberkan kenyataan di depan mata Mbak Agni dan mata Mas juga," sahut Lara sambil menurunkan ambul di punggungnya. Punggungnya terasa gatal. Mungkin ada bilah-bilah ambul kecil yang menusuk punggungnya.Setelah ambul diturunkan, Lara langsung menjaga jarak dengan Bagas. Agni sudah tidak ada di antara mereka. Jadi ia tidak perlu bermain drama lagi. Ia bebas menjadi dirinya sendiri. Aksi Sesil yang seketika menjauh setelah bayangan Agni tidak terlihat, mengherankan Bagas. Tadi Sesil berusaha membuat Agni melihat kemesraan mereka berdua. Dan sekarang Sesil bersikap seolah-olah alergi berada di dekatnya. Aneh sekali. Kontradiktifnya sikap Sesil ini membuat Bagas makin curiga. Pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi Sesil menikahinya. Tapi apa itu? Sampai hari ini Bagas tidak bisa menebaknya. Baiklah, cu
"Mbak Sesil, ayo kita istirahat dulu." Bu Prapti, salah seorang buruh pemetik teh menghampiri Lara yang masih terus memetiki daun teh. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas siang. Waktunya untuk beristirahat dan menimbang teh hasil petikan ke rumah hujan. Setelah makan siang dan beristirahat sebentar pekerjaan baru akan dilanjutkan."Iya, Bu. Sebentar, nanggung." Lara mengisi ambul dengan beberapa pucuk daun teh lagi. Setelah ambulnya padat barulah Lara berjalan mengikuti Bu Prapti dan ibu-ibu lainnya menuruni bukit Menoreh."Capek ya, Mbak? Harusnya Mbak memetik tehnya iseng-iseng saja. Jangan mengikuti kami yang memang mencari nafkah di sini. Mbak pasti kelenger." Bu Prapti menasehati Sesil. Ia kasihan melihat nyonya mudanya kepayahan dengan tubuh basah kuyup karena keringat."Nggak apa-apa kok, Bu. Saya ini masih muda. Masih kuat. Lha Ibu yang sudah punya cucu saja masih bisa bekerja lebih dari delapan jam sehari. Sambil membawa beban di pinggang lagi," Lara menenangkan Bu Prapti.