Share

7. Ancaman Terselubung.

"Jalani saja takdirmu. Siapa tahu di sana  kamu justru menemukan kebahagiaan yang tidak kamu dapatkan di sini. Sana, temui Bagas. Nanti Ibu menyusul."

Bu Ningsih segera melepaskan pelukan Lara. Banyak hal yang harus ia persiapkan sehubungan dengan rencana yang telah ia susun bersama Sesil.

Dengan lesu Lara menggeret koper pinjaman dari Sesil. Ia menatap seantero kamarnya sekali lagi sebelum berjalan ke rumah utama. Ia tidak tahu apakah ia akan bisa ke kamar ini lagi atau malah berakhir di penjara nantinya.

 ********

"Mbok, sini sebentar." Sesil melambaikan tangan pada Mbok Ningsih dari koridor ruang tamu.

"Ada apa, Non?" Bu Ningsih menghampiri Sesil. 

"Ada yang ingin gue bicarakan. Rencana kita berubah," bisik Sesil perlahan. Ia takut Lara mendengar rencananya.

"Kurung Lara di kamar gue dulu, Mbok. Gue takut ntar dia kabur," bisik Sesil lagi. Bu Ningsih mengangguk. Apa yang Sesil ucapkan masuk akal. Kalau Lara kabur, rencana mereka sudah pasti gagal total.

"Kamu ikut Ibu dulu sebentar ke kamar Non Sesil." Bu Ningsih menghela lengan Lara. 

"Ngapain Lara di kamar Non Sesil, Bu? Nanti kalau ada barang yang hilang, Non Sesil akan menuduh Lara lagi." Lara menahan langkahnya. Ia trauma selalu dituduh pencuri oleh Sesil saat mereka remaja.

"Sudah, jalan saja. Jangan banyak protes!" Bu Ningsih mencengkram pergelangan tangan Lara. Menariknya paksa ke kamar Sesil. Setelah Lara masuk, Bu Ningsih secepat kilat mengunci pintunya dari luar. Lala terperanjat. Mengapa ia dikunci.

"Lho, Bu. Kok Lara dikunci sih?" Lara memutar-mutar pegangan pintu. Ia panik karena dikunci seperti tawanan begini.

"Tunggu saja sebentar di situ. Ibu bicara dengan Non Sesil dulu!" hardik Bu Ningsih. Ia kemudian tergopoh-gopoh menemui Sesil yang sudah menunggu di koridor.

"Ada ada, Non? Perubahan rencana bagaimana yang Non maksud?"

"Ayah tadi baru saja menelepon. Menanyakan soal kesediaan gue menerima lamaran si petani. Gue keceplosan bilang kalo gue bersedia dinikahin kapan saja. Karena gue pikir toh yang akan menjalaninya si Lara."

"Terus?" Bu Ningsih penasaran.

"Ya terus gue paniklah. Karena ayah langsung menelepon Pak Jaya. Bilang kalo gue bersedia menerima perjodohan ini."

"Lah, berarti rencana sesuai dong, Non. Kan Lara yang akan menggantikan posisi Non di Yogya sana?" Bu Ningsih mengernyitkan kening. 

"Mbok ini gimana sih? Ya nggak sama lah. Masa gue masih ada di rumah padahal Pak Jaya bilang gue udah ikut anaknya ke Yogya? Mikir, Mbok?" Sesil menunjuk kepalanya. Orang kalau tidak makan bangku sekolahan memang suka telat mikirnya.

"Oh iya ya, Non." Bu Ningsih menyadari kesalahannya. Walau Lara sudah menggantikan posisi Sesil, tapi Sesil tidak boleh ada di rumah ini. Itu artinya Sesil harus pergi juga.

"Jadi bagaimana, Non? Non akan ke mana?" Bu Ningsih kebingungan.

"Santai, Mbok. Justru ini yang gue idam-idamkan sedari dulu. Gue akan tinggal sendiri di tempat yang gue mau. Gue akan bebas lepas bagai burung lepas tanpa ada aturan ini itu dari ayah dan ibu. Gue merdeka, Mbok!" Sesil tertawa gembira. Ia akan menjalani hidup seperti yang ia inginkan.

"Jadi--jadi Non akan pergi jauh dari, Mbok?" Bu Ningsih sedih. Ia tidak mau jauh-jauh dari anak majikannya ini.

"Ya iyalah. Kalo nggak, rencana kita ini ya ketahuan. Mbok ini bagaimana sih?" Sesil memutar bola mata.

"Ayo kita ke kamar. Setelah Lara pergi, Mbok bantu gue untuk berkemas-kemas secepatnya." Sesil menarik tangan Mbok Ningsih dengan gembira. Ia sudah tidak sabar untuk keluar dari rumah di mana ia merasa bagai burung dalam sangkar emas ini.

Sementara di belakangnya, Bu Ningsih tertunduk sedih. Ia mengabdi hampir dua puluh satu tahun lamanya di rumah ini karena ingin selalu berdekatan dengan Sesil. Kalau Sesil pergi, tidak ada yang tersisa di hatinya. Karena separuh belahan jiwanya telah meninggalkannya.

***

Lara menarik napas panjang tiga kali sebelum melangkah ke ruang tamu. Dengan koper mewah pinjaman dari Sesil, Lara berjalan seraya menggeret koper. Perjalanan menantang takdirnya akan segera dimulai. 

Kehadirannya disambut oleh sepasang mata tajam yang menatapnya penuh spekulasi. Sejenak Lara terkesima. Ia sama sekali tidak menyangka kalau penampakan seorang petani ndeso seperti yang dikatakan Sesil, segagah ini. Bagas mengenakan kemeja lengan panjang yang ia gulung hingga sebatas siku dan celana pantalon hitam. Alih-alih petani, penampilan Bagas malah menyerupai seorang eksekutif muda.

"Terus terang saja pada saya. Sebenarnya kamu punya cacat apa sampai kamu meminta saya menikahimu secepatnya padahal kamu tidak mengenal saya. Melihat saya pun, kamu baru kali ini bukan?"

Lara mematung. Ia tidak menyangka akan langsung diserang dalam pertemuan pertamanya dengan Bagas. Bagas tidak menyetujui perjodohan ini rupanya.

"Konon katanya, kamu adalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang sebentar lagi menjadi seorang sarjana. Ekspektasi saya, kamu adalah seorang perempuan cerdas yang berpikiran terbuka. Yang sudah pasti akan menentang perjodohan tidak masuk akal seperti ini. Tapi kenyataannya?" Bagas mengedikkan bahu. Mengejek Lara dengan tatapan melecehkan sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Kamu malah langsung menenteng koper meminta saya nikahi. Padahal tujuan saya ke sini tanpa ayah saya, karena saya ingin berekonsiliasi denganmu. Saya ingin mengajakmu menentang perjodohkan ini pada orang tua kita masing-masing. Ekspektasi saya terhadapmu ketinggian rupanya," dengkus Bagas muak.

Seperti ini rupanya kualitas perempuan yang ayahnya gadang-gadang sebagai perempuan cerdas yang pasti akan melahirkan anak-anak yang cerdas pula. Perempuan cerdas apa?  Alih-alih menjumpai perempuan kota yang kritis dalam menyuarakan kebebasan memilih pasangan, ia malah dihadapkan para perempuan lemah putus asa bagai kerbau dicucuk hidungnya.

Cengkraman Lara pada troli koper menguat. Harga dirinya terlukai. Ia tidak terima dianggap serendah itu oleh Bagas. Perlahan Lara mengangkat wajahnya. Dengan berani ia menantang tatapan merendahkan Bagas. Sepersekian detik Bagas terhenyak. Berbanding terbalik dengan sikap pasrahnya dijodohkan, tatapan mata perempuan ini sangat garang. 

"Kamu juga punya cacat apa sampai kamu mau-maunya dijodohkan dengan saya?" balas Lara dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status