Share

6. Pergantian Identitas.

"Saat paling bahagia dalam hidup Ayah adalah saat kamu lahir ke dunia. Ketika tangisanmu menggema, maka yang Ayah pikirkan pertama kali adalah, bagaimana ayahmu yang sederhana ini bisa membantumu menggapai cita-cita. Ayah beritahu kamu satu rahasia. Bahwa seorang ayah tidak pernah lebih mencintai orang lain daripada anak perempuannya. Yang terakhir ini adalah rahasia kita berdua ya? Jangan beritahukan ibumu. Hehehe."

Air mata Lara mengalir tak terkendali ketika teringat akan kata-kata manis yang ayahnya ucapkan. Kala itu ia mengadu pada ayahnya kalau bahwa ibunya tidak mencintainya. Ayahnya dengan kalimat apik yang mudah dimengerti oleh anak kecil menghiburnya hingga kesedihannya hilang. Bagi Lara, ayahnya adalah segalanya. Memikirkan ayahnya tidak akan ada lagi di dunia ini menggentarkannya. Ia tidak mau ayahnya mati. Ia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa ayahnya.

"Baik." Lara mengusap air matanya putus asa. Keputusannya bulat sudah. 

"Lara bersedia menggantikan posisi Non Sesil. Demi ayah, Lara bersedia melakukan apa saja. Mati pun, Lara bersedia." 

"Gue nggak minta lo mati. Gue cuma mau lo menggantikan posisi gue menjadi istri seorang petani." Sesil mencibir kalimat hiperbola Lara.

"Ya sudah, sono lo siap-siap pindah ke Yogya. Gue mau berbincang-bincang dengan Mbok Ningsih." Sesil mengusir Lara. Ia ingin menyusun rencana ke depannya bersama Mbok Ningsih.

"Ayo, Mbok. Kita ke kamar gue. Banyak hal yang harus kita diskusikan." Sesil merangkul bahu Mbok Ningsih gembira. Ia tidak menyangka kalau Mbok Ningsih memihaknya alih-alih anak kandungnya. Uang berbicara banyak bukan? Ia akan memberikan sejumlah uang agar Mbok Ningsih ini tutup mulut atas semua akhirnya.

Sementara itu Bu Ningsih bahagia luar biasa karena dirangkul oleh Sesil. Demi merasakan disayang dan dianggap berharga oleh Sesil, ia bersedia melakukan apa saja. Apa saja!

"Mbok, nanti kalau ayah pulang, bilang saja kalau Lara mendapat pekerjaan di luar kota. Jadi kepergian Lara tidak dicurigai." Sesil langsung menyusun siasat ketika Lara berlalu.

"Nanti kalau ketahuan bagaimana, Non?" Sedikit banyak Bu Ningsih takut juga. Ia sudah lancang berbuat sampai sejauh ini.

"Tidak masalah ketahuan kalau mereka sudah menikah. Sudah, jangan terlalu banyak berpikir. Kita kan tidak tahu bagaimana kejadian ke depannya. Nanti kalau sudah ketahuan, baru kita pikirkan langkah selanjutnya. Sekarang gue mau keluar. Sebentar lagi pasti si petani itu akan datang. Lebih baik gue ngafe-ngafe dari pada melihat muka ndesonya. Gue jalan dulu ya, Mbok? Mbok baik deh." Untuk pertama kalinya Sesil mencium pipi pengasuhnya dengan sukarela.

Bu Ningsih tertegun. Detiknya berikutnya ia tersenyum haru. Demi mendapatkan cinta dari Sesil, ia akan terus mendukung Sesil apapun yang terjadi. Dalam benaknya ia telah mempersiapkan satu rencana apabila konspirasinya bersama Sesil ketahuan. Dia akan mengorbankan dirinya sendiri demi menyelamatkan Sesil.

***

"Segera kenakan pakaian ini, Ra. Bagas sudah menunggumu di depan. Pak Jaya tidak jadi ikut karena sedang tidak enak badan." Bu Ningsih membentangkan sehelai gaun mewah milik Sesil di atas ranjang. Lara yang sedang duduk termenung di depan jendela kamar, menoleh. Ia mencoba mencari air muka prihatin yang seharusnya tercermin di wajah ibunya. Menilik kasus pertukaran pengantin yang akan ia perankan, seharusnya seorang ibu akan khawatir bukan? Anaknya akan pergi jauh tanpa status yang jelas. Minimal juga seorang ibu akan menangis bukan? Sayangnya Lara tidak melihat itu pada air muka ibunya. Seperti biasa, mimik ibunya dingin dan datar. Tidak ada perubahan berarti yang ditunjukkan oleh ibunya.

"Bu, boleh tidak Lara menanyakan sesuatu?" ucap Lara sendu. Mendengar pertanyaannya sang ibu meliriknya sekilas.

"Mau tanya apa? Cepat tanya. Jangan membuat Bagas menunggu lama." 

"Ibu... sayang tidak pada, Lara?"

Hening.

"Pertanyaan seperti apa itu? Aku ibumu. Tentu saja ibu sayang padamu," jawab Bu Ningsih kaku.

"Kamu bukan anak kecil lagi. Jangan bertanya yang aneh-aneh. Segera ganti baju dan ke depan. Jangan lupa bawa serta kopermu. Ingat, katakan apa yang sudah Ibu ajarkan tadi. Anggap saja kamu melakukan ini semua demi ayahmu." Setelah menyampaikan intimidasinya, Bu Ningsih bermaksud keluar kamar.

"Bu," panggil Lara lirih.

"Apalagi? Kamu ingin mem--" Bu Ningsih terdiam ketika Lara tiba-tiba menghambur kearahnya dan memeluknya erat. Tubuh Bu Ningsih kaku bagai papan. Sebelumnya Lara tidak pernah bersikap emosional seperti ini.

"Bu, Lara takut, Bu." Lara terisak perlahan. Ia memang sungguh-sungguh takut. Apa yang akan ia lakukan selain bertentangan dengan hati nuraninya juga bertentangan dengan hukum. Dirinya yang seumur hidup tidak pernah menipu orang, gentar ketika harus melakukan perbuatan keji seperti ini.

Namun, Bu Ningsih malah menatapnya tajam. "Jangan manja. Dalam hidup, terkadang kita harus menjalani sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan." 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Asucia Fiyanti
jgn2 sesil anak kandungnya si ningsih n lara yg sebenarnya anak dr sinta
goodnovel comment avatar
Irma Karisma
ni mesti bu ningsih tukar anaknya waktu lahir
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status