Share

5. Awal Mula Bencana.

Lara tengah merevisi skripsi sesuai dengan permintaan dosen pembimbingnya. Sudah dua jam ini jarinya menari-nari di atas keyboard laptop. Beberapa penelitian yang telah ia rangkum, dicoret tebal-tebal oleh dosen pembimbingnya. Tugas akhir membuat skripsi ini memang sangat menguras energinya. Bolak-balik merevisi, melakukan penelitian baru dan menyusunnya dari awal, terkadang membuatnya frustasi. Namun jikalau ia mengingat tujuan akhirnya yang ingin membantu perekonomian kedua orang tuanya, rasa lelahnya menguap seketika. Semua ini demi masa depan keluarganya. 

"Lara, ke sini sekarang!" Teriakan sang ibu mengagetkan Lara. Karena teriakan ibunya itu bukan teriakan seperti biasanya. Ibunya memang biasa meneriakinya jikalau tidak puas akan sesuatu. Namun kali ini ada aura ketakutan dalam nada suara ibunya.

"Saya, Bu," sahut Lara sambil menghambur ke depan. Perasaannya tidak enak. Firasatnya mengatakan ada hal buruk yang telah terjadi. Karena ia melihat ada Pak Hardi dan Sesil juga di paviliun mereka. Biasanya Sesil dan Pak Hardi jarang mengunjungi paviliun jikalau tidak ada hal penting.

"Ada apa, Bu?" Lara kebingungan melihat ibunya memegangi ponsel sambil menangis histeris. Di depan ibunya Sesil juga menangis. Sementara Pak Hardi hilir mudik sembari terus berbicara di ponsel. Air muka Pak Hardy tak kalah panik dan sedih seperti ibunya dan Sesil. Ada apa ini sebenarnya?

"Jadi keadaan istri dan supir saya bagaimana? Harus segera di operasi ya? Baik, saya akan ke Bandung sekarang juga!"

Degh! 

Lara memegangi dadanya yang mendadak nyeri. Percakapan Pak Hardi di telepon telah memberinya gambaran. Bahwa telah terjadi sesuatu pada ayahnya dan Bu Shinta di Bandung sana. 

"Sih, saya akan ke Bandung untuk mengurus Shinta dan Yono." Pak Hardi menutup ponsel. Berbagai macam rencana ada di benaknya. Ia harus mengambil beberapa tindakan di Bandung sana, demi menyelamatkan nyawa istri dan supirnya.

"Saya harap kamu bisa mengurus masalah di sini, termasuk soal Pak Jaya dan Bagas. Saya percayakan masalah itu padamu. Dan kamu Sesil, ikuti apa yang Mbok Ningsih katakan. Ayah sudah mempercayakan semuanya pada Mbok Ningsih." Pak Hardi buru-buru pamit dengan langkah lebar-lebar. Ia ingin segera melihat keadaan istri dan supirnya.

"Bu, Ayah dan Bu Shinta sebenarnya kenapa?" Lara segera menanyakan masalah yang terjadi setelah bayangan Pak Hardi tidak tampak lagi.

"Ayahmu dan Bu Shinta kecelakaan. Mobil mereka bertabrakan dengan truk pengangkut pasir."

"Astaghfirullahaladzim, ayah!" Lara menangis menggerung. Bayangan ayahnya tergeletak di jalan dengan tubuh bersimbah darah membuat Lara menangis histeris.

"Lara ingin melihat keadaan ayah, Bu. Ibu dengar tadi Pak Hardi mengatakan soal operasi bukan? Itu artinya keadaan ayah serius, Bu. Lara akan menyusul ayah ke Bandung." Lara membalikkan tubuh. Ia ingin melihat keadaan ayahnya dengan mata dan kepalanya sendiri. 

"Tidak usah, Ra. Pak Hardi sudah berjanji bahwa ia akan mengurus ayahmu--" 

"Dengan satu syarat." Sesil sekonyong-konyong menimpali pembicaraan Bu Ningsih dengan Lara. Satu rencana gemilang mendadak singgah di kepalanya.

"Satu syarat? Saya apa, Non?" Lara menyurutkan langkahnya. Ia berbalik menghadap Sesil.

"Syarat bahwa lo harus menggantikan posisi gue menjadi istri si petani." Sesil mulai menjalankan rencananya.

"Mak--maksud Non Sesil apa?" Telinga Lara berdenging. Sebenarnya ia sudah bisa menebaknya. Namun ia ingin mendengar secara langsung dari mulut Sesil sendiri. Ada konspirasi apa antara ibunya, Sesil dan Pak Hardi?

"Telinga lo masih berfungsi dengan baik 'kan? Ayah ingin lo yang menggantikan posisi gue menjadi istri si petani Bagas Antareja. Nanti malam Bagas akan ke sini untuk membawa lo ke perkebunan tehnya di Kulon Progo sana," tandas Sesil lagi.

Lara membelalakkan kedua matanya. Apa-apaan ini? 

"Bu? Ada apa ini sebenarnya? Lara tidak mengerti?" Lara menuntut penjelasan dari ibunya. 

Bu Ningsih gelagapan. Bukan seperti itu perintah yang dititahkan Pak Hardi padanya. Pak Hardi  memintanya menyampaikan permohonan maaf pada Pak Jaya dan Bagas, karena belum bisa membicarakan masalah pernikahan lebih lanjut akibat adanya musibah ini. Pak Hardi juga memintanya membujuk Sesil agar bersedia bertemu muka dengan Bagas, agar keduanya bisa lebih akrab sebelum pernikahan dilaksanakan. Tidak ada pembicaraan tentang masalah pengantin pengganti sama sekali.

Namun tatkala ia bertatapan dengan Sesil yang memperlihatkan air muka memohon, hatinya luluh. Ia akan mengikuti keinginan Sesil. Ia tidak tega melihat Sesil menderita. Ia tahu pasti kalau Sesil tidak menginginkan pernikahan ini.

"Seperti yang Non Sesil katakan tadi, kamu harus menggantikan posisi Non Sesil. Kamu tadi dengar sendiri kalau Pak Hardi telah mempercayakan masalah Pak Jaya dan Bagas pada Ibu bukan?" Bu Ningsih memberanikan diri mendukung rencana Sesil. Apa yang terjadi, terjadilah.

"Mana bisa begitu, Bu? Ibu mengambil keputusan tanpa menanyakannya terlebih dahulu pada Lara. Lagi pula ini tidak benar, Bu. Kalian semua bersekongkol untuk melakukan penipuan." Lara menutup wajahnya yang basah dengan kedua tangannya. Mengapa masalah seakan tiada henti menderanya.

"Apa lagi yang harus Ibu tanyakan? Ini masalah hidup mati ayahmu, Ra. Kamu tega membiarkan ayahmu mati konyol karena tidak segera diberi tindakan?" Bu Ningsih mencoba menekan sisi emosional Lara. Ia tahu Lara sangat menyayangi ayahnya.

"Tapi ini salah, Bu. Ayah pasti akan marah besar kalau tahu kita melakukan penipuan selama ia tidak sadarkan diri." Lara mencoba mengajak ibunya berpikir logis. Ayahnya itu idealis. Lara yakin ayahnya akan marah besar kalau ia melakukan pernikahan konyol ini.

"Ayahmu memang akan marah besar. Tapi setidaknya ia tetap hidup. Sekarang pilihan ada di tanganmu. Kamu menolak menggantikan posisi Non Sesil dan Pak Hardi tidak bersedia membiayai operasi ayahmu, atau ayahmu selamat dengan kamu menyetujui syarat dari Pak Hardi?" Kepalang basah, Bu Ningsih akan mendukung rencana Sesil hingga berhasil. 

"Lara akan segera menyelesaikan skripsi dan menjadi sarjana, Bu. Jangan memupus cita-cita, Lara. Lara mohon, Bu." Lara menjatuhkan dirinya di hadapan sang ibu. Bersimpuh dan menghiba agar sang ibu membatalkan niatnya.

"Berarti kamu memilih ayahmu mati bukan? Baiklah, Ibu akan menelepon Pak Hardi dan mengatakan kamu menolak. Bersiaplah menjadi anak yatim, Ra." Bu Ningsih berpura-pura akan meraih ponsel dari saku dasternya.

"Jangan! Lara... Lara tidak mau ayah mati. Lara mencintai ayah lebih dari segalanya," bisik Lara lirih. Sesil dan Bu Ningsih saling bertukar senyum. Selangkah lagi mereka berdua akan berhasil mengusir Lara dari kehidupan mereka selamanya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Helmy Abdullah
pasti si Ningsih babu jahat itu menukar sesil dan lara semas bayi makany di Ningsih lebih sayang pada sesil iblis betina mirip dngn Ningsih , emosi saya ama Author ...
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Curiga nih ,jangan2 Ningsih nuker anak nya sama anak majikan nya lgi orok.ko sama anak sendiri jahat amat melebihi jahat ke anak tiri nya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status