10 tahun yang lalu,Mariya tersenyum tipis memerhatikan anak sulungnya. Sementara itu, dalam gendongannya Diana alias Ana baru berumur dua tahun saat itu. Tidak pernah melepaskan pelukannya sedetik pun. Karena rumah dalam keadaan sangat ramai, jadi ia merasa takut jika jauh dari ibunya.Jenisha penyuka warna biru, mulai dari pakaian, tas, sepatu, hingga cat kamar dan printilan kecil. Bahkan, di hari pernikahannya, tanpa ragu ia pun mengenakan kebaya biru. Make-up tidak terlalu tebal serta monoton. Pada dasarnya dia sudah cantik, jadi make-up tipis ini pas sekali untuknya. Terlihat natural.Begitu pula dengan Makhmud, yang takjub akan kecantikan anak gadisnya itu. Belum puas sebenarnya ia menjalani tugasnya sebagai seorang ayah.Akan tetapi, kedatangan keluarga Bakhtiar dua bulan yang lalu membuatnya tidak bisa berkutik.Jenisha saja sampai kaget sekali melihat kehadiran kekasihnya diikuti oleh orang tua kandung serta keluarga besarnya. Dia sama sekali tak menyangka Firdaus bisa seber
"Nis."Nisha yang baru mau keluar kamar tersentak di tempat. Sosok Mariya di ruang tamu mengagetkannya. Nisha tidak tahu sejak kapan ibu kandungnya itu duduk di sana. Dia kira Mariya sudah pergi ke pasar."Ada apa, Mak?" tanya Nisha seraya melanjutkan langkahnya meletakkan sepatu di depan pintu rumah."Firdaus ada nelpon?"Nisha menggeleng."Jangan telpon-telpon dia. Jaga harga dirimu, Nis.""Tapi, perhiasan itu, Mak?""Biarin aja. Uangnya ngga bakalan berkah. Mak bisa, kok ganti berkali-kali lipat dari yang dia ambil."Nisha menunduk. Dia merasa bersalah karena tidak memerhatikan Firdaus saat berkemas. Padahal, semua itu adalah haknya anak-anak, terutama Efa. "Apa aku kasih tahu Baba sama Mama aja, ya, Mak?"Mariya berdiri. "Ngga usah. Jangan sampai kita kayak orang ngemis ke mereka." Kemudian, dia berjalan menuju kamarnya. Sepertinya sudah puas mengeluarkan semua uneg yang mengganjal di dadanya.
Mata Nisha mengerjap seraya menatap Efa. Otaknya bekerja keras mencari alasan yang tepat."Mahasiswa, Fa. Iya, mahasiswa. Ada yang mau ngurus wisuda, tapi bahannya masih kurang," jawab Nisha sambil menganggukkan kepalanya. Efa menatap langsung mata Nisha selang dua detik. Setelah yakin kalau Nisha ngga berbohong, dia kembali larut menonton televisi.Selagi Efa memalingkan muka, Nisha menghembus napas pelan, lega. 'Salah banget aku save nomor ini tadi. Seharusnya ngga usah, buat apa juga nomor itu cewek di save.' Nisha pun langsung menyentuh layar touchscreen ponselnya. Niatnya menyimpan nomor itu supaya tahu kalau Bella yang menelepon, jadi ngga usah diangkat. Sebenarnya ngga penting banget, lah nomor Bella ini.‘Apa diblokir aja, ya? Ini sudah sampai ke tahap ngeselin banget, sih. Nelponin tanpa henti dari tadi.’ Dia pun memutuskan untuk memblokir nomor itu. Demi ketenangan hidupnya.Akan tetapi, lagi-lagi Jenisha salah mendug
“Kenapa datang, sih, Nis?!” sergah Elza emosi. Dia tak bisa membayangkan bagaimana sahabatnya ini menghadapi dua orang paling hina itu seorang diri. Dia ngga habis pikir, kok, mau-maunya, sih Nisha meladeni mereka.Sore ini Nisha meminta waktu Elza untuk bertemu. Sahabatnya itu masih dalam masa cuti melahirkan, jadi masih sempat untuk diajaknya jalan.“Kenapa ngga minta temenin aku, sih, Nis?!” tanya Elza masih kesal. Toh dia juga sering pergi bertiga sama Firdaus. Suami sahabatnya itu juga sudah terbiasa dengan kehadirannya.Nisha melirik bayi perempuan yang baru berumur empat puluh hari dipangkuan Elza. ‘Ya, ngga mungkinlah aku mengajakmu, terus ninggalin si kecil. Punya temen kok aneh-aneh aja pikirannya,’ dumelnya dalam hati.Terburu-buru Elza menyeruput ice coffee latte. Mulutnya sudah tidak sabaran mau protes ini dan itu, namun di lain sisi tenggorokannya terasa kering.Nisha menunggu kata-kata apa saja yang akan dimuntahkan oleh sa
Mobil mungil bewarna silver berhenti di depan lorong buntu. Jalan lorong itu hanya dipergunakan untuk pemilik rumah keluar masuk. Satu mobil ini saja pas-pasan muatnya.Tak terasa Bella sudah sampai di rumah. Padahal, perjalanan dari mall menuju rumahnya ini cukup jauh. Semua karena hatinya tengah berbunga-bunga. Pipinya tak henti bersemu kemerahan tiap kali teringat Firdaus memilihnya daripada istri sahnya itu.‘Hm, awas saja kalau gue dianggap sebagai pelakor. Sorry banget, nih, ya! Suami dia sendiri yang lebih memilih gue, bukan karena gue paksa, lho. Makanya, kalau punya suami itu dijaga baik-baik. Cih!’ omel benak Bella membayangkan jikalau ada sumpah serapah yang keluar dari mulut Nisha. Untungnya, sih ngga.“Sayang,” panggil Firdaus pelan. Dia memerhatikan Bella memunggunginya sedari tadi. Jangan-jangan wanita itu marah karena kata-katanya yang ngga mau bercerai dari Nisha. Bella menoleh. Terpampang wajah datar tanpa ekspresi. “Ya?”
“Hah.” Helaan itu terdengar cukup jelas keluar dari mulut Nisha. Bola matanya bergerak ke kiri dan kanan sebelum memantapkan diri terarah ke depan. Tepat ke sebuah gedung diapit oleh bank daerah dan Bappeda provinsi, gedung pengadilan agama.Jemari Nisha menggenggam lebih erat map di pelukan. Lalu, mengambil langkah lebar mendekati pintu masuk.Dia berhenti setelah masuk gedung itu. Tertulis Pelayanan Satu Pintu Pengadilan Agama. Dia pun celingak-celinguk, memerhatikan isi ruangan. Seperti di bank saja ada konter untuk melayani.“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang laki-laki mengenakan pakaian batik. Badannya agak tegap. Dilihat dari radio Ht tersemat diikat pinggang, pastilah dia satpam gedung ini.“Saya mau mengajukan gugatan cerai. Ke mana harus daftarnya, ya?” tanya Nisha.“Silakan ambil nomor antrian dulu, Bu,” ujar lelaki itu menunjuk ke arah mesin setinggi dada di sebelah kanannya.Ada seorang laki-laki yang mendekati mes
Hanya berselang sepuluh hari, proses sidang perceraian antara Jenisha dan Firdaus sudah dimulai.Tumit kaki Firdaus tiada hentinya mengetuk lantai hingga membuat getaran ke lututnya. Dipandanginya pintu ruang sidang yang masih tertutup. Pertanda masih ada sidang yang berlangsung di dalam sana.Jangan harapkan ada senyum di wajahnya. Rahangnya mengeras sejak pertama kali melihat Nisha sudah sampai duluan di ruang tunggu ini. Dia sudah menahan kesal semenjak mendapatkan surat gugatan cerai dari Nisha. Karena sudah dikatakannya agar tidak bercerai, namun istrinya itu melakukan langkah ini tanpa basa-basi.Tidak lama kemudian, pintu ruang sidang terbuka. Seorang laki-laki tinggi keluar terlebih dahulu dengan langkah marah. Diikuti oleh seorang wanita berambut pendek yang tersenyum penuh kemenangan. Mereka berdua sukses menjadi pusat perhatian dari peserta tunggu persidangan.Seorang pegawai pengadilan yang berdiri di dekat pintu setelah jeda sekitar s
“Bismillahirrahmanirrahim, pada hari ini Senin, Delapan Agustus 2016, Saya Muhammad Firdaus Al-Attar bin Bakhtiar Qadir Al-Attar menjatuhkan talak satu raj'i kepada istri Saya, Jenisha Munnawarroh binti Makhmud,” ucap Firdaus sembari mengikuti kata-kata dari Hakim yang membimbingnya.Jemarinya saling menggenggam di balik telapak tangan. Tidak mudah sebenarnya mengatakan itu semua. Hatinya terasa sakit harus menyelesaikan prosedur perceraian ini. Dia kesal, itu artinya akan sulit menyentuh Nisha lagi.Nisha memilih untuk tidak turut hadir pada hari itu, selain karena kesibukannya, juga merasa tak perlu lah hadir dan melihat pembacaan talak itu. Yang hadir hanyalah Bakhtiar dan Salma.Telapak tangan Bakhtiar tertempel erat di dada kirinya. Dadanya terasa sesak dan sakit. Air matanya berlinang. Dia termasuk orang yang jarang menangis. Namun, menyaksikan secara langsung pernikahan anaknya kandas, hatinya yang terasa tertusuk mata pisau bertubi-tubi. Nisha adal