Share

8

Sudah satu setengah tahun mereka menikah namun tak pernah sekali pun Shelina menolak sentuhannya. Sebaliknya, Shelina paling senang saat Abizhar mencumbunya, membawanya ke puncak kenikmatan, tetapi sejak kecelakaan itu terjadi, Abizhar harus menelan kekecewaannya setelah ditolak berkali-kali.

Bah! Sejak kapan ia ditolak Shelina di ranjang? Rasanya ego yang dimiliki Abizhar terkikis hari demi hari. Ranjang mereka yang selama ini selalu hangat dengan keringat mereka yang tak pernah absen membasahinya, kini terasa dingin. 

Shelina tidak hanya kaku saat disentuh. Sikapnya juga membuat Abizhar bingung. Shelina memang masih melayaninya dengan menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Istrinya juga setiap pagi menyiapkan pakaian kerja Abizhar. Meski tubuhnya bergerak untuk melakukan kewajibannya (selain di atas ranjang), Abizhar dapat menemukan tatapan hampa di mata istrinya.

Abizhar menelepon dokter yang menangani Shelina. Kata dokter, perubahan sikap setelah terjadi cidera di kepalanya adalah hal yang wajar. Tugas Abizhar hanya memastikan Shelina rajin minum obat dan tidak menekan Shelina hingga menimbulkan stres bagi Shelina. 

Kebutuhan badani yang menggebu-gebu dalam tubuh Abizhar harus ditahannya. Apalagi harus Abizhar akui, dengan Shelina yang menatap polos ke arahnya, gairahnya semakin tak terbendung. Istrinya semakin menarik tanpa keangkuhan yang sengaja ditunjukkan pada suaminya.

"Kau sudah merasa baikan?" tegur Abizhar. Tentu saja basa-basi, tujuannya hanya untuk memastikan apakah Shelina sudah bisa diajak bercinta atau belum. Dilihatnya istrinya menggeleng. Saat itu Shelina sedang berkutat dengan laptop-nya di ruang makan. "Jangan dipaksa terus energimu. Kau kan harus mengutamakan kesehatan."

Cih, lagaknya sudah seperti suami yang paling baik saja, pikir Abizhar. Tapi harus berbuat apa lagi aku ini? Rasanya hidupku sepi sekali. Yuni sudah tidak ada. Anak yang kunanti meninggal. Aku terjebak di rumah mewah ini dengan istri yang sikapnya dingin seperti ini.

Pada saat biasa Shelina akan menyipitkan matanya, meragukan kebaikan yang dilakukan suaminya terhadapnya, namun kali itu tidak. Ia tersenyum. Senyumannya pun terlihat masam. "Sebentar lagi. Aku harus review proses pekerjaan di dua proyek."

"Apakah harus kau yang mengerjakan itu?" tanya Abizhar mendengus kesal. "Apakah aku harus beritahu ayahmu untuk mencari orang lain saja?"

Shelina tertawa melihat kekhawatiran yang ditutupi suaminya. "Ini risikoku saat Papa menawarkanku kerja di perusahaan propertinya. Aku anak tunggal, dan dia berharap besar terhadapku."

"Berharap bagaimana? Aku memang tidak punya orangtua kandung, tapi setidaknya orangtua angkatku tidak memaksaku seperti ayahmu," jawab Abizhar. "Aku penasaran. Apakah dari kecil kau selalu dipaksa untuk begini? Maksudku, dituntut untuk sempurna." 

"Bukan untuk sempurna, tapi untuk bertahan di kaki sendiri," kata Shelina penuh pembelaan. "Dulu aku mengeluh karena ayahku selalu sibuk bekerja, meninggalkanku di rumah seorang diri, bahkan sering pula aku dititipkan ke paman dan bibiku. Papa tidak mau menikah lagi sejak Mama meninggal. Baginya perempuan hanya menyusahkan saja." Shelina diam sejenak. "Sekarang aku mengerti mengapa sikapnya demikian. Papaku tulang punggung keluarganya, tulang punggung untukku juga. Dia satu-satunya yang diandalkan keluarga untuk menghasilkan uang. Aku juga tak punya pilihan selain bekerja keras, sebab suami yang seharusnya menjamin kesejahteraanku, tidak ada."

"Apa maksudmu!" bentak Abizhar berang. "Kalau kau mau, kau bisa mundur dari jabatanmu sekarang, dan aku memastikan kau tidak kekurangan apa-apa. Selama ini aku juga selalu memberi nafkah padamu. Nafkah yang tidak sedikit. Berapa? Lima puluh juta? Oh tidak, untuk anak tunggal Pak Edward, aku mengeluarkan seratus juta per bulan! Apakah itu tidak cukup?!"

"Ya tapi kau kan juga memberi uang buat simpananmu," kilah Shelina. "Maukah kau jujur berapa banyak yang kau beri padanya? Tidak, kan? Menjamin kesejahteraanku bukan hanya dinilai dari berapa banyak yang kau kasih, tapi juga memastikan rasa aman dan nyaman bagiku. Bagaimana kau bisa memberikan semua itu jika setiap hari kerjaanmu hanya membahas tanah dan perceraian?!"

"Jangan keluar dari topik pembicaraan. Yang terang aku tidak suka kau meniadakan apa yang kuberi," jawab Abizhar marah. Dia menatap Shelina lekat-lekat, sampai akhirnya suaranya melemah, "Uang yang kuberikan pada Yuni tidak ada apa-apanya dibandingkan pengorbanannya untukku. Sebenarnya, yang seharusnya diangkat oleh keluargaku adalah dia, bukan aku. Tapi Yuni bilang, dia percaya dengan fasilitas yang diberi keluargaku, aku bisa jadi orang yang sukses."

"Lalu dia jadi apa dengan uang yang kamu kasih selama ini? Dia tidak kuliah, kan? Dia juga tidak bekerja. Padahal uang yang kau kasih pastilah banyak," gerutu Shelina jengkel. Sampai kapan Abizhar terus membela wanita menyebalkan itu?

"Aku yang memintanya untuk tidak bekerja," tandas Abizhar. "Aku tidak mau dia capek bekerja. Sebenarnya, aku tidak suka melihat perempuan bekerja."

"Kenapa? Kau pikir kita masih hidup di jaman batu?"

"Ya, sebutlah aku kolot, tapi bagiku melihat perempuan bekerja membuatku merasa tidak nyaman. Merasa posisiku terancam," jawab Abizhar datar. "Sama sepertimu. Aku tidak suka melihat kau bekerja. Terlebih saat kau sakit begini."

"Hanya karena itu? Bukan karena kau peduli padaku?" Sengaja Shelina menggodanya. Dia tersenyum sinis saat melihat suaminya melotot.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status