Share

7

Hati Shelina sakit saat Abizhar mengantarnya sampai ke makam anak mereka. Dapat dibacanya nama anaknya di sana. Shelby, gumam Shelina dalam hati. Sebelum kecelakaan itu terjadi, dia mengatakan pada Abizhar dia ingin menamakan nama anak mereka Shelby, gabungan nama mereka. Shelina pikir, Abizhar tidak mendengarnya saat itu.

Air mata Shelina tak terbendung lagi. Dia duduk di samping makam itu, meraung meminta maaf pada anaknya. Seharusnya sebagai ibu Shelina bisa menjaga kandungannya, tidak ceroboh membawa mobilnya sampai celaka. Shelina dirisak perasaan bersalah selama berada di makam tersebut.

Atau... tidak?

Entah mengapa, ada sisi di hatinya, yang tidak menyesali kepergian bayinya. Sekonyong-konyong ia mengingat sesuatu di masa lalu. Dia mendengar suaranya mengatakan pada dirinya sendiri, "Anak ini tidak seharusnya lahir. Tak boleh ada yang tahu siapa anak ini.." Shelina mencoba menggali ingatannya lebih jauh, tapi yang didapatkannya hanya kepalanya yang sakit. Sial, gerutunya. Apa yang harus kulakukan agar aku bisa mengingat semuanya?

Tiba-tiba Shelina merasa tubuhnya menggigil. Dia memeluk dirinya dengan kedua tangannya sendiri. Giginya gemelutuk tak beraturan. Abizhar yang mendampinginya bingung harus berbuat apa. Cuaca saat itu cukup panas, bahkhan sangat terik. 

Terlalu sedihkah dia, pikir Abizhar. Sehingga reaksinya menjadi begini? Sepulangnya dari makam, Abizhar menawarkan istrinya untuk ke rumah sakit, tapi Shelina menolak. Dia memilih untuk beristirahat di rumah saja sampai obatnya habis. Untuk urusan luka di tubuhnya, ia sudah meminta pihak rumah sakit untuk mengirim tenaga medis ke rumah.

Shelina keberatan untuk ke rumah sakit. Rumah sakit menyebabkan rasa tidak nyaman di pikirannya. Bau rumah sakit juga tidak disukainya. Jika bisa berobat di rumah, kenapa harus repot ke rumah sakit, bukan?

Abizhar tidak membantah, tapi dia tetap ingin Shelina dibawa ke dokter. Abizhar menerangkan kekhawatirannya pada sikap Shelina yang aneh. Sebelum-sebelumnya, Shelina jarang sekali menangis dan terlihat lemah di hadapan suaminya. Meski tak dikatakan suaminya, Shelina tahu maksudnya.

"Aku tidak berusaha mencuri simpati darimu," elak Shelina datar. "Aku juga tidak membela diri di hadapanmu. Kurasa, memang sikapku berubah karena kecelakaan itu. Menurutmu, aku inign menjadi lemah begini di hadapan laki-laki tidak setia macam dirimu?"

"Ya aku kan hanya menyarankan," jawab Abizhar dengan matanya yang tetap menghadap ke depan. "Atau, mungkin saja, sikapmu yang begini disebabkan terlalu lama kau tidak bekerja? Selama ini kau suka sekali dengan pekerjaanmu."

"Aku memang lupa pada hal-hal tertentu, tapi aku tidak lupa bahwa kau tidak pernah peduli apa yang kusuka dan apa yang tidak kusuka," jawab Shelina dingin. Ia diam sejenak. "Barangkali kau benar. Aku rindu kantor."

Abizhar menarik napas berat. "Kau bisa bekerja, tapi hanya dari rumah saja. Aku tidak mau terjadi apa-apa padamu."

"Tentu saja. Kalau sesuatu terjadi padaku, kau takkan bisa memperoleh tanah yang kau incar itu."

"Ya, karena itu juga. Sial betul kita menandatangani perjanjian nikah di mana harta yang kita punya adalah harta terpisah," jawab Abizhar datar. 

"Aku tidak bisa menyerahkanmu tanah itu, sebab sudah ada investor yang ingin membangun apartemen, dan proyeknya sudah jalan," sahut Shelina menjelaskan. "Nilai jualnya tidak akan sama lagi. Kau harus membeli gedung di atas tanah itu."

"Tidak masalah. Kau tahu sekarang uang bukan lagi problem kan buatku?"

Shelina menyadari itu. Kekayaan suaminya pasti jauh di atasnya, mengingat Abizhar merupakan direktur di perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia. Bukan hanya itu, orangtua angkatnya setahu Shelina juga menyerahkannya banyak saham di mana-mana.

Dengan uang sebanyak itu, yang diinginkannya hanya tanah yang tak ada apa-apanya dibandingkan keseluruhan kekayaannya, pikir Shelina masam. Tanah yang diincar Abizhar memang strategis, di pertengahan kota, dan sudah dipastikan bisnisnya akan untung jika membuka usaha di sana. Tapi bukan Abizhar saja yang sulit mendapatkan tanah itu. Shelina juga.

Dia harus mendapat persetujuan keluarga agar ayahnya mau menghibahkan tanah itu padanya. Keluarga di sini adalah kakak dan adik ayahnya. Untuk mendapatkan persetujuan itu, terutama dari Oom Surya, dia mengorbankan hal yang besar dalam dirinya.

**

Shelina suka bekerja dari rumah. Sebagai direktur di perusahaan yang bergerak di bidang properti, kesibukannya tak pernah berkurang, tapi sejak kecelakaan itu wakil direkturnya yang mengambil alih. Shelina hanya memantau saja, dan memberi keputusan terkait kerjasama dengan klien.

Yang tak diduganya, Abizhar juga ikut-ikutan kerja di rumah. Suaminya beralasan ingin menjaganya. Meski Abizhar mengatakannya dengan nada dingin, tak urung hati Shelina terasa hangat. Dia senang bisa menghabiskan waktu bersama suaminya pada saat makan siang. Suaminya juga tidak menutup diri dari diskusi terkait pekerjaan mereka.

Hubungan mereka semakin erat, dan tampaknya Abizhar menjaga perasaannya dengan tidak membahas Yuni dan tanah di Kebon Kacang. Rasa percaya diri untuk menaklukkan suaminya mulai timbul.

Namun rupanya tidak semudah itu. Shelina masih keberatan untuk disentuh suaminya, dan dia bisa melihat kegusaran di wajah Abizhar. Dia berusaha untuk bisa dicumbu lagi, tapi hal itu sulit dilakukannya.

Ingatan itu datang lagi.

Dia bisa melihatnya dengan jelas. Melihat dirinya yang dinikmati oleh Oom Surya, dan itu membuat Shelina lompat ketakutan setiap suaminya merabanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status