Hati Shelina sakit saat Abizhar mengantarnya sampai ke makam anak mereka. Dapat dibacanya nama anaknya di sana. Shelby, gumam Shelina dalam hati. Sebelum kecelakaan itu terjadi, dia mengatakan pada Abizhar dia ingin menamakan nama anak mereka Shelby, gabungan nama mereka. Shelina pikir, Abizhar tidak mendengarnya saat itu.
Air mata Shelina tak terbendung lagi. Dia duduk di samping makam itu, meraung meminta maaf pada anaknya. Seharusnya sebagai ibu Shelina bisa menjaga kandungannya, tidak ceroboh membawa mobilnya sampai celaka. Shelina dirisak perasaan bersalah selama berada di makam tersebut.
Atau... tidak?
Entah mengapa, ada sisi di hatinya, yang tidak menyesali kepergian bayinya. Sekonyong-konyong ia mengingat sesuatu di masa lalu. Dia mendengar suaranya mengatakan pada dirinya sendiri, "Anak ini tidak seharusnya lahir. Tak boleh ada yang tahu siapa anak ini.." Shelina mencoba menggali ingatannya lebih jauh, tapi yang didapatkannya hanya kepalanya yang sakit. Sial, gerutunya. Apa yang harus kulakukan agar aku bisa mengingat semuanya?
Tiba-tiba Shelina merasa tubuhnya menggigil. Dia memeluk dirinya dengan kedua tangannya sendiri. Giginya gemelutuk tak beraturan. Abizhar yang mendampinginya bingung harus berbuat apa. Cuaca saat itu cukup panas, bahkhan sangat terik.
Terlalu sedihkah dia, pikir Abizhar. Sehingga reaksinya menjadi begini? Sepulangnya dari makam, Abizhar menawarkan istrinya untuk ke rumah sakit, tapi Shelina menolak. Dia memilih untuk beristirahat di rumah saja sampai obatnya habis. Untuk urusan luka di tubuhnya, ia sudah meminta pihak rumah sakit untuk mengirim tenaga medis ke rumah.
Shelina keberatan untuk ke rumah sakit. Rumah sakit menyebabkan rasa tidak nyaman di pikirannya. Bau rumah sakit juga tidak disukainya. Jika bisa berobat di rumah, kenapa harus repot ke rumah sakit, bukan?
Abizhar tidak membantah, tapi dia tetap ingin Shelina dibawa ke dokter. Abizhar menerangkan kekhawatirannya pada sikap Shelina yang aneh. Sebelum-sebelumnya, Shelina jarang sekali menangis dan terlihat lemah di hadapan suaminya. Meski tak dikatakan suaminya, Shelina tahu maksudnya.
"Aku tidak berusaha mencuri simpati darimu," elak Shelina datar. "Aku juga tidak membela diri di hadapanmu. Kurasa, memang sikapku berubah karena kecelakaan itu. Menurutmu, aku inign menjadi lemah begini di hadapan laki-laki tidak setia macam dirimu?"
"Ya aku kan hanya menyarankan," jawab Abizhar dengan matanya yang tetap menghadap ke depan. "Atau, mungkin saja, sikapmu yang begini disebabkan terlalu lama kau tidak bekerja? Selama ini kau suka sekali dengan pekerjaanmu."
"Aku memang lupa pada hal-hal tertentu, tapi aku tidak lupa bahwa kau tidak pernah peduli apa yang kusuka dan apa yang tidak kusuka," jawab Shelina dingin. Ia diam sejenak. "Barangkali kau benar. Aku rindu kantor."
Abizhar menarik napas berat. "Kau bisa bekerja, tapi hanya dari rumah saja. Aku tidak mau terjadi apa-apa padamu."
"Tentu saja. Kalau sesuatu terjadi padaku, kau takkan bisa memperoleh tanah yang kau incar itu."
"Ya, karena itu juga. Sial betul kita menandatangani perjanjian nikah di mana harta yang kita punya adalah harta terpisah," jawab Abizhar datar.
"Aku tidak bisa menyerahkanmu tanah itu, sebab sudah ada investor yang ingin membangun apartemen, dan proyeknya sudah jalan," sahut Shelina menjelaskan. "Nilai jualnya tidak akan sama lagi. Kau harus membeli gedung di atas tanah itu."
"Tidak masalah. Kau tahu sekarang uang bukan lagi problem kan buatku?"
Shelina menyadari itu. Kekayaan suaminya pasti jauh di atasnya, mengingat Abizhar merupakan direktur di perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia. Bukan hanya itu, orangtua angkatnya setahu Shelina juga menyerahkannya banyak saham di mana-mana.
Dengan uang sebanyak itu, yang diinginkannya hanya tanah yang tak ada apa-apanya dibandingkan keseluruhan kekayaannya, pikir Shelina masam. Tanah yang diincar Abizhar memang strategis, di pertengahan kota, dan sudah dipastikan bisnisnya akan untung jika membuka usaha di sana. Tapi bukan Abizhar saja yang sulit mendapatkan tanah itu. Shelina juga.
Dia harus mendapat persetujuan keluarga agar ayahnya mau menghibahkan tanah itu padanya. Keluarga di sini adalah kakak dan adik ayahnya. Untuk mendapatkan persetujuan itu, terutama dari Oom Surya, dia mengorbankan hal yang besar dalam dirinya.
**
Shelina suka bekerja dari rumah. Sebagai direktur di perusahaan yang bergerak di bidang properti, kesibukannya tak pernah berkurang, tapi sejak kecelakaan itu wakil direkturnya yang mengambil alih. Shelina hanya memantau saja, dan memberi keputusan terkait kerjasama dengan klien.
Yang tak diduganya, Abizhar juga ikut-ikutan kerja di rumah. Suaminya beralasan ingin menjaganya. Meski Abizhar mengatakannya dengan nada dingin, tak urung hati Shelina terasa hangat. Dia senang bisa menghabiskan waktu bersama suaminya pada saat makan siang. Suaminya juga tidak menutup diri dari diskusi terkait pekerjaan mereka.
Hubungan mereka semakin erat, dan tampaknya Abizhar menjaga perasaannya dengan tidak membahas Yuni dan tanah di Kebon Kacang. Rasa percaya diri untuk menaklukkan suaminya mulai timbul.
Namun rupanya tidak semudah itu. Shelina masih keberatan untuk disentuh suaminya, dan dia bisa melihat kegusaran di wajah Abizhar. Dia berusaha untuk bisa dicumbu lagi, tapi hal itu sulit dilakukannya.
Ingatan itu datang lagi.
Dia bisa melihatnya dengan jelas. Melihat dirinya yang dinikmati oleh Oom Surya, dan itu membuat Shelina lompat ketakutan setiap suaminya merabanya.
Sudah satu setengah tahun mereka menikah namun tak pernah sekali pun Shelina menolak sentuhannya. Sebaliknya, Shelina paling senang saat Abizhar mencumbunya, membawanya ke puncak kenikmatan, tetapi sejak kecelakaan itu terjadi, Abizhar harus menelan kekecewaannya setelah ditolak berkali-kali.Bah! Sejak kapan ia ditolak Shelina di ranjang? Rasanya ego yang dimiliki Abizhar terkikis hari demi hari. Ranjang mereka yang selama ini selalu hangat dengan keringat mereka yang tak pernah absen membasahinya, kini terasa dingin.Shelina tidak hanya kaku saat disentuh. Sikapnya juga membuat Abizhar bingung. Shelina memang masih melayaninya dengan menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Istrinya juga setiap pagi menyiapkan pakaian kerja Abizhar. Meski tubuhnya bergerak untuk melakukan kewajibannya (selain di atas ranjang), Abizhar dapat menemukan tatapan hampa di mata istrinya.Abizhar menelepon dokter yang menangani Shelina. Kata dokter, perubahan sikap setelah
Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijam
Abizhar melempar dua map itu ke lantai. Ralat, dia tidak melempar, melainkan membanting dengan sangat keras sampai kedua mata Shelina melebar terkejut. "Abi!" tegur Shelina marah. "Ini kan kemauanmu. Kenapa kau jadi begini? Apakah yang kuberi kurang?" "Kau anggap apa aku ini!" bentak Abizhar sama gusarnya. "Aku bukan barang, Shelin. Aku bukan mainan yang kau beli lalu kau buang setelah kau bosan!" Abizhar menatapnya tajam-tajam. "Aku memang belum mencintaimu, aku ragu untuk bisa mencintaimu, tapi aku menentang perceraian. Sekali pun Yuni masih hidup, aku tak pernah berpikir untuk bercerai." Abizhar diam. Ya, hidup dengan Shelina bak mimpi buruk baginya, tapi dia tidak pernah membayangkan dia akan mengurus perceraiannya di pengadilan. Keketusan yang selama ini ia torehkan pada Shelina semata-mata ia ingin dihargai sebagai suami. Ia tidak sampai hati meninggalkan pernikahan ini. Shelina menatapnya bingung. "Kupikir ini yang kau inginkan. Kau
Berada di rumah terus-terusan membuat Shelina tersiksa. Setiap dia punya kesempatan untuk melamun, dia jadi teringat Yuni perempuan menyebalkan itu. Suatu malam, dia memberitahu Abizhar bahwa dia sudah siap bekerja di kantor. Abizhar menaikkan satu alisnya. “Kau yakin? Dokter bilang kau seharusnya beristirahat di rumah, setidaknya sampai semua obatmu habis,” kata Abizhar mengingatkan. “Jangan dipaksa. Kantormu juga tidak akan tutup toh selama kau di rumah.” “Aku tidak bisa sembuh jika gelisah terus,” jawab Shelina lirih. “Apakah aku bisa melarangmu, Shelina?” Shelina menatap Abizhar dengan kaget. Baru disadarinya dia jarang sekali meminta persetujuan dari suaminya. Selama ini dia melakukan apa yang dia sukai tanpa mempertimbangkan apa yang diinginkan suaminya. Aneh, pikir Shelina. Dulu aku tidak suka dikekang, terlebih diatur oleh suamiku. Mengapa sekarang aku malah merasa lebih aman jika aku mendengar keputusannya? Apakah aku sudah mulai bisa
Dibukanya map itu. Terdapat foto-fotonya tanpa memakai busana. Tidak hanya dirinya. Tampak seseorang memeluknya dari belakang. Wajah orang itu tak terlihat jelas. Hanya tangannya yang melingkari pinggang Shelina yang telanjang. Dari tangannya, itu bukan tangan Abizhar. Shelina dikejutkan dengan suara dering ponselnya. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Diangkatnya dengan hati-hati. “Siapa ini?” “Berikan lima ratus juta atau foto-foto Anda akan tersebar.” “Siapa pikirmu sampai berani mengancam saya,” sahut Shelina dingin. “Kau pikir, saya takut?” “Apakah Anda ingin suami Anda tahu soal perselingkuhan Anda? Atau ayah Anda, barangkali?” “Siapa kau sebenarnya?” “Anda akan tahu setelah Anda berikan uang pada saya.” Bukannya takut Shelina justru tertawa jengkel. “Kau bisa bermimpi. Kau pikir, di jaman yang lagi susah seperti ini, mudah bagi saya untuk memberikan lima ratus juta untuk foto yang tidak saya ketahui keasliannya?
Sejak Shelina menjadi direktur utama di perusahaan properti ayahnya, dia selalu bersikap tenang dan menegakkan cara pikir yang rasional. Jarang sekali dia melewati rapat penting kecuali dia dalam keadaan sakit, namun sejak dia mendapat ancaman itu, dia merasa takut serta mudah gemetar. Dia meminta sekretarisnya saja yang mencatat apa-apa saja yang penting pada rapat. Dia tidak bisa menghindari serangan gugup itu meski dia sudah berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya. Sial, kecelakaan itu telah membuatnya jadi tidak tenang. Dia kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Getaran di ponselnya berhasil membuatnya sesak napas. Si pengancam terus-terusan menelepon, menagih uang yang dia janjikan. Shelina tidak bisa begitu saja memberikan uang sebanyak itu pada orang yang dia tidak ketahui. Selain itu, dia perlu jaminan bahwa si pengancam tidak akan menyebarkan foto-foto panas itu ke media. Aku tidak bisa biarkan Roland mengurus ini sendiri, pikir Shelina bergegas
Jika Shelina tidak mengangkat telepon, biasanya Abizhar menelepon asisten istrinya. Roland memberitahunya bahwa Shelina akan pulang terlambat hari itu. Kebetulan, pikir Abizhar. Hari ini sepertinya berkah untukku. Abizhar menelepon seseorang untuk masuk ke ruangannya. Perempuan yang masih muda itu tersenyum-senyum padanya. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?” bisik Abizhar penuh maksud. Perempuan itu mengangguk, mendekati Abizhar dan berlutut di depan Abizhar. Tak lama kemudian terdengar suara desahan dalam ruangan itu. Hal itu sudah terjadi sejak dia menikah dengan Shelina. Dia mendapat kepuasan itu dari Yuni. Sebelum kecelakaan itu, Shelina tidak pernah gagal membuatnya sampai ke puncak kenikmatan, akan tetapi ada yang mengganjal di hatinya. Mau sehebat apapun Shelina melayaninya, dia tetap tidak merasa hal itu cukup. Fakta bahwa dia dibeli oleh keluarga istrinya membuatnya mudah murung dan tidak percaya diri. Bahkan kepuasan yang diras
“Sekali pun aku memang berselingkuh, menurutmu aku takut padamu? Lucu, bukan? Kau mendapat informasi semacam itu dari selingkuhanmu?” Sudah kuduga pernikahan ini tidak akan harmonis, pikir Shelina pahit. Sudah kuduga aku tidak hidup di dunia khayal. Mana mungkin suami yang selama ini tak menghargaiku bisa mencintaiku dalam sekejap mata! “Sudahi saja perbincangan ini. Takkan ada ujungnya,” kata Abizhar lalu pura-pura tidur. “Kenapa sih, kau tidak pernah mengakui perselingkuhanmu? Padahal kan kita sudah sama-sama tahu baik-busuknya diri kita,” sahut Shelina heran. “Kau mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Dia sudah punya istri, bahkan anak, tapi dia tetap menginginkan kepuasan dari keponakannya sendiri.” Sontak Abizhar membuka kedua matanya. Apakah dia membicarakan Oom Surya, pikirnya. “Shelina, tadi kau bilang apa?” Shelina tersenyum pahit. “Bukan urusanmu. Sana tidur.” “Tentu urusanku kalau itu menyangkut dirimu. Kau istriku, in