Share

9

Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.

Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.

Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijamah sebelum menjadi istriku?

Hari itu Abizhar harus ke kantor karena ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Banyak permasalahan yang harus dia sendiri yang menyelesaikan, terkait masalah penundaan pekerjaaan dan force majeure dalam proyek yang dijalankan perusahaan konstruksinya. Ayah mertuanya yang notabene pemegang saham perusahaannya, menemuinya pada pukul lima sore, saat Abizhar bersiap untuk pulang.

Pak Edward menanyakan perihal Shelina. "Sebenarnya saya ingin menjenguknya," gumamnya. "Tapi saya tidak mau perhatian saya disalahartikan."

"Disalahartikan bagaimana?" tanya Abizhar bingung.

"Sejak ibu Shelina meninggal saya mendidiknya dengan keras. Saya tidak mau dia jadi lembek karena disayang ayahnya," kilah Pak Edward. "Dengan saya tidak berada di sisinya, dia bisa belajar untuk mandiri."

Abizhar tak percaya sekaligus tak terima dengan alasan ayah mertuanya. "Dia hampir mati karena kecelakaan itu. Membesuk di saat dia di titik antara mati dan hidup, bukan suatu hal yang membuatnya menjadi manja," jawab Abizhar menatap Pak Edward dengan marah. "Kalau ingin tahu keadaannya, datanglah sendiri."

"Kalau kau sudah punya anak, kau akan mengerti." Pak Edward memandang ke sekeliling ruang kerja Abizhar. "Dunia konstruksi itu keras. Kita tidak bisa memanjakan anak-cucu kita dengan memberi kasih sayang yang berlebihan pada mereka."

"Berlebihan kah namanya mengunjungi anak yang sakit?" Dahi Abizhar mengernyit. "Jika tidak ada yang ingin Papa sampaikan, saya pulang. Shelina pasti sudah menunggu saya di rumah."

"Kapan dia kembali bekerja? Kata wakilnya dia masih kerja dari rumah."

"Sampai saya mengizinkannya."

"Saya tidak tahu kamu peduli pada Shelina. Bukankah bagimu dia hanya beban untuk hubunganmu dengan siapa.. siapa temanmu itu.. Ah, Yuni." Pak Edward tersenyum sinis. "Ayahmu bilang kau hanya bisa cinta pada perempuan itu. Pernikahanmu dengan Shelina juga karena perempuan itu, kan?"

"Tentu saya peduli pada Shelina. Dia wanita yang pernah mengandung anak saya. Dia juga merasakan kesedihan yang sama dengan yang saya rasakan atas kematian anak kami," jawab Abizhar keras.

"Ah, kalian masih bisa punya anak lagi." Terang Pak Edward sudah tahu mengenai cucunya yang meninggal. Bayi Shelina adalah hal pertama yang ia tanyakan pada asistennya saat mendengar Shelina mengalami kecelakaan. Namun begitu Pak Edward tidak mau repot-repot menjenguk, apalagi datang ke makam bayi Shelina. Kematian baginya adalah hal yang wajar. Manusia pasti mati juga, kan? Buat apa datang ke makam jika itu hanya membuantya sedih saja? "Kalian masih muda. Kau juga masih kuat untuk menanam benihmu dalam rahimnya kan?"

Abizhar berdecak kesal mendengar itu. Bagaimana bisa Pak Edward mengatakan demikian terkait anaknya sendiri? Apakah bagi Pak Edward, Shelina tak lebih dari objek yang bisa melahirkan keturunan saja?

Perasaan iba terhadap istrinya mulai timbul di hati Abizhar. Dia tahu Shelina sombong karena kekayaan yang dimiliki keluarganya, namun di sisi lain, dia merasa Shelina tidak bahagia dengan kekayaan itu. Ayah dari istrinya, satu-satunya keluarga kandung Shelina, justru tidak menunjukkan kasih sayangnya pada Shelina. 

Pertemuannya dengan Pak Edward disampaikannya pada Shelina. Abizhar menambahkan, Pak Edward juga menanyakan keadaan Shelina.

"Ingat Papa, jadi ingat kontrak nikah kita." Shelina menghela napas panjang. Disodorkannya sebuah map ke suaminya. "Ini perubahan terhadap perjanjian nikah kita. Tak perlulah ada anak di antara kita agar aku bisa menyerahkan tanah di Kebon Kacang." Shelina memberikan map satu lagi. "Aku akan menghibahkan setengah sahamku padamu. Dengan begitu, kau bisa jadi pemegang saham, dan dapat memberikan suara terkait aksi korporasi perusahaanku, termasuk soal tanah di Kebon Kacang yang menjadi lokasi proyek."

"Shelina..." Abizhar menatap istrinya tak percaya. "Apakah kau sungguh dengan keputusanmu? Apa rencanamu? Tidak mungkin orang sepertimu menyerahkan saham begitu saja tanpa ada hal yang kau inginkan."

"Kau mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan tanah itu. Kau bahkan tidak bisa hidup dengan kekasih yang kau cintai karena tanah itu," jawab Shelina lirih. "Aku tak mau menyiksamu lebih jauh lagi."

"A..apa maksudmu?" Abizhar gelagapan. "Kau mau apa?"

"Kita sudahi saja pernikahan ini," tandas Shelina datar. "Tidak ada gunanya meneruskannya, bukan? Kau tidak bisa mencintai aku. Aku juga tidak bisa terus-terusan mengaku cinta padamu, padahal aku sumber penderitaanmu." Shelina menatap Abizhar sedih. "Kau setuju kan dengan ide perceraian?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status