Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.
Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.
Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijamah sebelum menjadi istriku?
Hari itu Abizhar harus ke kantor karena ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Banyak permasalahan yang harus dia sendiri yang menyelesaikan, terkait masalah penundaan pekerjaaan dan force majeure dalam proyek yang dijalankan perusahaan konstruksinya. Ayah mertuanya yang notabene pemegang saham perusahaannya, menemuinya pada pukul lima sore, saat Abizhar bersiap untuk pulang.
Pak Edward menanyakan perihal Shelina. "Sebenarnya saya ingin menjenguknya," gumamnya. "Tapi saya tidak mau perhatian saya disalahartikan."
"Disalahartikan bagaimana?" tanya Abizhar bingung.
"Sejak ibu Shelina meninggal saya mendidiknya dengan keras. Saya tidak mau dia jadi lembek karena disayang ayahnya," kilah Pak Edward. "Dengan saya tidak berada di sisinya, dia bisa belajar untuk mandiri."
Abizhar tak percaya sekaligus tak terima dengan alasan ayah mertuanya. "Dia hampir mati karena kecelakaan itu. Membesuk di saat dia di titik antara mati dan hidup, bukan suatu hal yang membuatnya menjadi manja," jawab Abizhar menatap Pak Edward dengan marah. "Kalau ingin tahu keadaannya, datanglah sendiri."
"Kalau kau sudah punya anak, kau akan mengerti." Pak Edward memandang ke sekeliling ruang kerja Abizhar. "Dunia konstruksi itu keras. Kita tidak bisa memanjakan anak-cucu kita dengan memberi kasih sayang yang berlebihan pada mereka."
"Berlebihan kah namanya mengunjungi anak yang sakit?" Dahi Abizhar mengernyit. "Jika tidak ada yang ingin Papa sampaikan, saya pulang. Shelina pasti sudah menunggu saya di rumah."
"Kapan dia kembali bekerja? Kata wakilnya dia masih kerja dari rumah."
"Sampai saya mengizinkannya."
"Saya tidak tahu kamu peduli pada Shelina. Bukankah bagimu dia hanya beban untuk hubunganmu dengan siapa.. siapa temanmu itu.. Ah, Yuni." Pak Edward tersenyum sinis. "Ayahmu bilang kau hanya bisa cinta pada perempuan itu. Pernikahanmu dengan Shelina juga karena perempuan itu, kan?"
"Tentu saya peduli pada Shelina. Dia wanita yang pernah mengandung anak saya. Dia juga merasakan kesedihan yang sama dengan yang saya rasakan atas kematian anak kami," jawab Abizhar keras.
"Ah, kalian masih bisa punya anak lagi." Terang Pak Edward sudah tahu mengenai cucunya yang meninggal. Bayi Shelina adalah hal pertama yang ia tanyakan pada asistennya saat mendengar Shelina mengalami kecelakaan. Namun begitu Pak Edward tidak mau repot-repot menjenguk, apalagi datang ke makam bayi Shelina. Kematian baginya adalah hal yang wajar. Manusia pasti mati juga, kan? Buat apa datang ke makam jika itu hanya membuantya sedih saja? "Kalian masih muda. Kau juga masih kuat untuk menanam benihmu dalam rahimnya kan?"
Abizhar berdecak kesal mendengar itu. Bagaimana bisa Pak Edward mengatakan demikian terkait anaknya sendiri? Apakah bagi Pak Edward, Shelina tak lebih dari objek yang bisa melahirkan keturunan saja?
Perasaan iba terhadap istrinya mulai timbul di hati Abizhar. Dia tahu Shelina sombong karena kekayaan yang dimiliki keluarganya, namun di sisi lain, dia merasa Shelina tidak bahagia dengan kekayaan itu. Ayah dari istrinya, satu-satunya keluarga kandung Shelina, justru tidak menunjukkan kasih sayangnya pada Shelina.
Pertemuannya dengan Pak Edward disampaikannya pada Shelina. Abizhar menambahkan, Pak Edward juga menanyakan keadaan Shelina.
"Ingat Papa, jadi ingat kontrak nikah kita." Shelina menghela napas panjang. Disodorkannya sebuah map ke suaminya. "Ini perubahan terhadap perjanjian nikah kita. Tak perlulah ada anak di antara kita agar aku bisa menyerahkan tanah di Kebon Kacang." Shelina memberikan map satu lagi. "Aku akan menghibahkan setengah sahamku padamu. Dengan begitu, kau bisa jadi pemegang saham, dan dapat memberikan suara terkait aksi korporasi perusahaanku, termasuk soal tanah di Kebon Kacang yang menjadi lokasi proyek."
"Shelina..." Abizhar menatap istrinya tak percaya. "Apakah kau sungguh dengan keputusanmu? Apa rencanamu? Tidak mungkin orang sepertimu menyerahkan saham begitu saja tanpa ada hal yang kau inginkan."
"Kau mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan tanah itu. Kau bahkan tidak bisa hidup dengan kekasih yang kau cintai karena tanah itu," jawab Shelina lirih. "Aku tak mau menyiksamu lebih jauh lagi."
"A..apa maksudmu?" Abizhar gelagapan. "Kau mau apa?"
"Kita sudahi saja pernikahan ini," tandas Shelina datar. "Tidak ada gunanya meneruskannya, bukan? Kau tidak bisa mencintai aku. Aku juga tidak bisa terus-terusan mengaku cinta padamu, padahal aku sumber penderitaanmu." Shelina menatap Abizhar sedih. "Kau setuju kan dengan ide perceraian?"
Abizhar melempar dua map itu ke lantai. Ralat, dia tidak melempar, melainkan membanting dengan sangat keras sampai kedua mata Shelina melebar terkejut. "Abi!" tegur Shelina marah. "Ini kan kemauanmu. Kenapa kau jadi begini? Apakah yang kuberi kurang?" "Kau anggap apa aku ini!" bentak Abizhar sama gusarnya. "Aku bukan barang, Shelin. Aku bukan mainan yang kau beli lalu kau buang setelah kau bosan!" Abizhar menatapnya tajam-tajam. "Aku memang belum mencintaimu, aku ragu untuk bisa mencintaimu, tapi aku menentang perceraian. Sekali pun Yuni masih hidup, aku tak pernah berpikir untuk bercerai." Abizhar diam. Ya, hidup dengan Shelina bak mimpi buruk baginya, tapi dia tidak pernah membayangkan dia akan mengurus perceraiannya di pengadilan. Keketusan yang selama ini ia torehkan pada Shelina semata-mata ia ingin dihargai sebagai suami. Ia tidak sampai hati meninggalkan pernikahan ini. Shelina menatapnya bingung. "Kupikir ini yang kau inginkan. Kau
Berada di rumah terus-terusan membuat Shelina tersiksa. Setiap dia punya kesempatan untuk melamun, dia jadi teringat Yuni perempuan menyebalkan itu. Suatu malam, dia memberitahu Abizhar bahwa dia sudah siap bekerja di kantor. Abizhar menaikkan satu alisnya. “Kau yakin? Dokter bilang kau seharusnya beristirahat di rumah, setidaknya sampai semua obatmu habis,” kata Abizhar mengingatkan. “Jangan dipaksa. Kantormu juga tidak akan tutup toh selama kau di rumah.” “Aku tidak bisa sembuh jika gelisah terus,” jawab Shelina lirih. “Apakah aku bisa melarangmu, Shelina?” Shelina menatap Abizhar dengan kaget. Baru disadarinya dia jarang sekali meminta persetujuan dari suaminya. Selama ini dia melakukan apa yang dia sukai tanpa mempertimbangkan apa yang diinginkan suaminya. Aneh, pikir Shelina. Dulu aku tidak suka dikekang, terlebih diatur oleh suamiku. Mengapa sekarang aku malah merasa lebih aman jika aku mendengar keputusannya? Apakah aku sudah mulai bisa
Dibukanya map itu. Terdapat foto-fotonya tanpa memakai busana. Tidak hanya dirinya. Tampak seseorang memeluknya dari belakang. Wajah orang itu tak terlihat jelas. Hanya tangannya yang melingkari pinggang Shelina yang telanjang. Dari tangannya, itu bukan tangan Abizhar. Shelina dikejutkan dengan suara dering ponselnya. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Diangkatnya dengan hati-hati. “Siapa ini?” “Berikan lima ratus juta atau foto-foto Anda akan tersebar.” “Siapa pikirmu sampai berani mengancam saya,” sahut Shelina dingin. “Kau pikir, saya takut?” “Apakah Anda ingin suami Anda tahu soal perselingkuhan Anda? Atau ayah Anda, barangkali?” “Siapa kau sebenarnya?” “Anda akan tahu setelah Anda berikan uang pada saya.” Bukannya takut Shelina justru tertawa jengkel. “Kau bisa bermimpi. Kau pikir, di jaman yang lagi susah seperti ini, mudah bagi saya untuk memberikan lima ratus juta untuk foto yang tidak saya ketahui keasliannya?
Sejak Shelina menjadi direktur utama di perusahaan properti ayahnya, dia selalu bersikap tenang dan menegakkan cara pikir yang rasional. Jarang sekali dia melewati rapat penting kecuali dia dalam keadaan sakit, namun sejak dia mendapat ancaman itu, dia merasa takut serta mudah gemetar. Dia meminta sekretarisnya saja yang mencatat apa-apa saja yang penting pada rapat. Dia tidak bisa menghindari serangan gugup itu meski dia sudah berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya. Sial, kecelakaan itu telah membuatnya jadi tidak tenang. Dia kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Getaran di ponselnya berhasil membuatnya sesak napas. Si pengancam terus-terusan menelepon, menagih uang yang dia janjikan. Shelina tidak bisa begitu saja memberikan uang sebanyak itu pada orang yang dia tidak ketahui. Selain itu, dia perlu jaminan bahwa si pengancam tidak akan menyebarkan foto-foto panas itu ke media. Aku tidak bisa biarkan Roland mengurus ini sendiri, pikir Shelina bergegas
Jika Shelina tidak mengangkat telepon, biasanya Abizhar menelepon asisten istrinya. Roland memberitahunya bahwa Shelina akan pulang terlambat hari itu. Kebetulan, pikir Abizhar. Hari ini sepertinya berkah untukku. Abizhar menelepon seseorang untuk masuk ke ruangannya. Perempuan yang masih muda itu tersenyum-senyum padanya. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?” bisik Abizhar penuh maksud. Perempuan itu mengangguk, mendekati Abizhar dan berlutut di depan Abizhar. Tak lama kemudian terdengar suara desahan dalam ruangan itu. Hal itu sudah terjadi sejak dia menikah dengan Shelina. Dia mendapat kepuasan itu dari Yuni. Sebelum kecelakaan itu, Shelina tidak pernah gagal membuatnya sampai ke puncak kenikmatan, akan tetapi ada yang mengganjal di hatinya. Mau sehebat apapun Shelina melayaninya, dia tetap tidak merasa hal itu cukup. Fakta bahwa dia dibeli oleh keluarga istrinya membuatnya mudah murung dan tidak percaya diri. Bahkan kepuasan yang diras
“Sekali pun aku memang berselingkuh, menurutmu aku takut padamu? Lucu, bukan? Kau mendapat informasi semacam itu dari selingkuhanmu?” Sudah kuduga pernikahan ini tidak akan harmonis, pikir Shelina pahit. Sudah kuduga aku tidak hidup di dunia khayal. Mana mungkin suami yang selama ini tak menghargaiku bisa mencintaiku dalam sekejap mata! “Sudahi saja perbincangan ini. Takkan ada ujungnya,” kata Abizhar lalu pura-pura tidur. “Kenapa sih, kau tidak pernah mengakui perselingkuhanmu? Padahal kan kita sudah sama-sama tahu baik-busuknya diri kita,” sahut Shelina heran. “Kau mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Dia sudah punya istri, bahkan anak, tapi dia tetap menginginkan kepuasan dari keponakannya sendiri.” Sontak Abizhar membuka kedua matanya. Apakah dia membicarakan Oom Surya, pikirnya. “Shelina, tadi kau bilang apa?” Shelina tersenyum pahit. “Bukan urusanmu. Sana tidur.” “Tentu urusanku kalau itu menyangkut dirimu. Kau istriku, in
Salah satu anak Oom Surya, Gadis, direktur di perusahaan baterai yang tiga tahun lalu didirikan olehnya dan Shelina. Perusahaan itu kini menjadi vendor unttuk perusahaan konstruksi milik keluarga Abizhar. Hari itu Gadis datang ke kantor Abizhar untuk berdiskusi soal harga baterai dengan tim Sales perusahaan Abizhar. Abizhar menyerahkan urusan negosiasi tersebut pada bawahannya. Gadis memberikan harga tinggi yang tidak bisa ditawar oleh karyawan-karyawan Abizhar. Alasannya mematok harga tersebut karena kurs dollar sedang naik, sementara barang-barang yang ia sediakan untuk perusahaan Abizhar diimpor langsung dari Cina. Gadis tak pernah suka pada Abizhar, namun keduanya harus terlibat dalam bisnis sejak Abizhar menikah dengan Shelina. Kedua keluarga tersebut telah bersepakat untuk bekerjasama dalam segala hal, termasuk penunjukkan vendor. Bisa saja Gadis menolak, tapi itu artinya dia harus dicap sebagai anak durhaka. Sama dengan Abizhar, dia ingin mencari vendor yang b
Shelina tidak punya firasat apa-apa hari itu. Pertengkaran di rumahnya sudah menjadi hal yang biasa. Malah, dia waswas jika Abizhar bersikap manis padanya, sebab pasti ada maunya. Tidak ada jalan keluar baginya dan Abizhar. Dia harus stagnan di tempat mereka berdiri sekarang. Pernikahan rupanya bukan hal yang mudah. Shelina pikir, dengan uang dan kekuasaan, kehidupan rumah tangganya bisa bahagia. Ternyata tidak ada hubungan kedua hal tersebut dengan keharmonisan rumah tangga. Dia tetap dilanda rasa sesak, memikirkan bagaimana nasibnya. Masa iya sih, harus bertahan di pernikahan di mana cinta itu sudah tidak ada? Apa mereka akan menua bersama dengan dasar kontrak yang mereka tandatangani? Sebelum jam makan siang, Shelina mendapat email dari Leo, berisi video rekaman CCTV di hotel. Semua video itu menampakkan Shelina dan seorang laki-laki. Dan dia… Rafi. Ya, aku tahu siapa dia. Ingatan Shelina kembali terbawa pada masa lima tahun lalu s