Sebenarnya, Shelina ingin mengatakan kata-kata manis untuk menghibur suaminya. Ia tahu Yuni sangat berarti bagi Abizhar, dan suaminya pasti merasa kehilangan dengan kepergian Yuni. Terkadang, aku ingin mengorbankan perasaanku, pikir Shelina sambil berjalan ke lobi rumahnya. Aku ingin mengesampingkan egoku dengan memberikan gestur pengertian kepada suamiku. Tapi aku tidak bisa. Hatiku terasa sakit hanya dengan membayangkan Abizhar mencintai wanita lain.
Ketika Shelina melihat mobil sedan milik Abizhar di hadapannya, ia dibayang-bayangi suatu yang mampir ke benaknya. Kepalanya mulai sakit seperti ditusuk-tusuk pisau. Dalam benaknya, ia masuk ke mobil Lexus hitamnya, dan membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdegup kencang seakan-akan ia dikejar seseorang.
Shelina tersadar dari bayangan itu. Bahunya disentuh dari belakang. Ia segera menoleh.
"Jangan nyetir dulu kalau belum bisa. Biarkan aku yang mengantarkanmu," tawar Abizhar sambil masuk ke dalam mobil.
Ragu-ragu Shelina untuk duduk di samping kemudi. Entah mengapa dia merasa takut untuk duduk di sana. Ia tidak mau menganggap Abizhar sopir, tapi saat ini ia hanya bisa duduk di jok belakang mobil.
Terang saja Abizhar tersinggung, tapi ia mengerti. Kecelakaan itu mestilah menimbulkan rasa takut bagi istrinya. Terlepas salah atau tidaknya, Shelina tetaplah mengalami kecelakaan yang mengerikan itu.
Abizhar ingat ketika ia mendapat telepon dari rumah sakit. Saat itu ia sedang memimpin rapat, dan dadanya berjengit tatkala diberitahu Shelina tidak sadarkan diri. Dia tidak pernah mengalami panik seumur hidupnya, namun ia bersumpah, ia tak pernah sepanik itu. Ia bergegas meninggalkan ruang rapat, mengebut ke rumah sakit, dan melihat keadaan Shelina yang mengenaskan.
Mata Shelina tertutup rapat. Tubuhnya bersimbah darah. Air mata Abizhar mengalir deras saat dilihatnya kepala Shelina yang memar, bahkan ada lubang di sana. Kata dokter, dia mengalami benturan yang sangat keras.
Semoga bayiku baik-baik saja, doanya saat itu.
Kesedihan itu semakin menjadi-jadi setelah Abizhar mendengar ada korban lain yang tak lain Yuni. Yuni dalam keadaan kritis saat ia melihat perempuan itu. Di hadapan banyak orang, Abizhar tidak bisa menutupi perasaannya terhadap Yuni. Dia meninggalkan Shelina dan berada di sisi Yuni.
Dia juga memilih untuk bersama Yuni saat dokter memberitahu bayi dalam kandungan Shelina sudah dikeluarkan. Bayi itu tidak selamat, dan harus segera dimandikan kemudian dikebumikan. Selang tak lama dari itu, Yuni juga harus meninggalkannya.
Abizhar tidak bisa mencerna apa yang terjadi. Dia harus kehilangan anak dan wanita yang dikasihinya di hari yang sama. Dia tidak bisa menepati janjinya pada Yuni dengan memberikan sebidang tanah kepada wanita itu. Dia tidak bisa mengabulkan keinginan Yuni untuk meninggalkan Shelina dan kembali ke pelukan Yuni.
Sebelum menikah, ia menemui Yuni yang patah hati. "Pernikahan ini takkan lama, Sayang," kata Abizhar. "Setelah aku mendapat anak darinya, dia akan memberikan tanah di Kebon Kacang dan setuju untuk diceraikan. Kau mau kan menungguku?"
"Kapan, Abizhar? Siapa yang bisa memastikan kalian bisa langsung punya anak?" dumal Yuni kesal. "Tidak mengertikah kau dengan perasaanku? Kau harus memilih wanita manja yang kaya raya itu, dan aku sengsara membayangkanmu memuaskannya di ranjang."
"Maafkan aku, Sayang. Tunggulah aku." Lalu dikecupnya Yuni dengan hangat.
Maafkan aku, Yuni, gumam Abizhar dengan sesal. Rupanya aku butuh waktu yang lebih lama untuk mewujudkan keinginan kita berdua.
Abizhar melirik sesekali ke belakang, melihat istrinya yang melamun saja. Kalau bukan karena dijodohkan denganmu, hidupku pasti sudah bahagia, pikir Abizhar jengkel. Aku akan hidup dengan Yuni. Kami akan mengurus Panti Asuhan bersama-sama. Dan aku yakin, anakku dengan Yuni tak kalah cakepnya dengan anakmu.
Tentu saja Abizhar hanya mengatakannya dalam hati. Dia lelah untuk memulai perang di antara dirinya dengan istrinya.
Jalanan sangat macet saat itu. Mereka terjebak dalam perjalanan untuk waktu yang lama. Tiba-tiba saja Shelina bertanya di belakang, "Bagaimana... Bagaimana jika anak itu bukan anakmu, Abi?"
"Ngomong apa kau ini," desis Abizhar acuh tak acuh.
"Kau selalu bilang aku tidak suci. Bisa saja kan, bukan hanya kau yang menodai pernikahan ini," kata Shelina tenang.
"Apakah dengan ini kau mengaku kau telah berselingkuh, Shelin?" tanya Abizhar. Dirasakannya rahangnya mengeras. "Tidak cukupkah kau menghinaku dengan tidak bisa menghargaiku sebagai suami? Perlukah kau lempar aib pada suamimu dengan mengkhianatinya juga?"
"Apa kau cemburu?" Tersenyum Shelina.
"Cemburu? Kau bisa berharap," jawab Abizhar gusar. "Cemburu itu hanya ada jika ada cinta. Aku kan tidak cinta padamu. Bagaimana bisa cemburu? Aku marah semata-mata tidak terima dengan penghinaan yang tak ada hentinya kau berikan padaku."
"Apa kau betul tidak mencintai aku?" tanya Shelina meragukan suaminya. "Apa kau betul tidak punya perasaan apa-apa padaku? Bagaimana pun bukan hanya kau kan yang berkorban untuk berada dalam perkawinan ini."
Abizhar tidak menjawab, hanya dengusannya saja yang terdengar.
Hati Shelina sakit saat Abizhar mengantarnya sampai ke makam anak mereka. Dapat dibacanya nama anaknya di sana. Shelby, gumam Shelina dalam hati. Sebelum kecelakaan itu terjadi, dia mengatakan pada Abizhar dia ingin menamakan nama anak mereka Shelby, gabungan nama mereka. Shelina pikir, Abizhar tidak mendengarnya saat itu.Air mata Shelina tak terbendung lagi. Dia duduk di samping makam itu, meraung meminta maaf pada anaknya. Seharusnya sebagai ibu Shelina bisa menjaga kandungannya, tidak ceroboh membawa mobilnya sampai celaka. Shelina dirisak perasaan bersalah selama berada di makam tersebut.Atau... tidak?Entah mengapa, ada sisi di hatinya, yang tidak menyesali kepergian bayinya. Sekonyong-konyong ia mengingat sesuatu di masa lalu. Dia mendengar suaranya mengatakan pada dirinya sendiri,"Anak ini tidak seharusnya lahir. Tak boleh ada yang tahu siapa anak ini.."Shelina mencoba menggali ingatannya lebih jauh, tapi yang didapatkannya hanya ke
Sudah satu setengah tahun mereka menikah namun tak pernah sekali pun Shelina menolak sentuhannya. Sebaliknya, Shelina paling senang saat Abizhar mencumbunya, membawanya ke puncak kenikmatan, tetapi sejak kecelakaan itu terjadi, Abizhar harus menelan kekecewaannya setelah ditolak berkali-kali.Bah! Sejak kapan ia ditolak Shelina di ranjang? Rasanya ego yang dimiliki Abizhar terkikis hari demi hari. Ranjang mereka yang selama ini selalu hangat dengan keringat mereka yang tak pernah absen membasahinya, kini terasa dingin.Shelina tidak hanya kaku saat disentuh. Sikapnya juga membuat Abizhar bingung. Shelina memang masih melayaninya dengan menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Istrinya juga setiap pagi menyiapkan pakaian kerja Abizhar. Meski tubuhnya bergerak untuk melakukan kewajibannya (selain di atas ranjang), Abizhar dapat menemukan tatapan hampa di mata istrinya.Abizhar menelepon dokter yang menangani Shelina. Kata dokter, perubahan sikap setelah
Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijam
Abizhar melempar dua map itu ke lantai. Ralat, dia tidak melempar, melainkan membanting dengan sangat keras sampai kedua mata Shelina melebar terkejut. "Abi!" tegur Shelina marah. "Ini kan kemauanmu. Kenapa kau jadi begini? Apakah yang kuberi kurang?" "Kau anggap apa aku ini!" bentak Abizhar sama gusarnya. "Aku bukan barang, Shelin. Aku bukan mainan yang kau beli lalu kau buang setelah kau bosan!" Abizhar menatapnya tajam-tajam. "Aku memang belum mencintaimu, aku ragu untuk bisa mencintaimu, tapi aku menentang perceraian. Sekali pun Yuni masih hidup, aku tak pernah berpikir untuk bercerai." Abizhar diam. Ya, hidup dengan Shelina bak mimpi buruk baginya, tapi dia tidak pernah membayangkan dia akan mengurus perceraiannya di pengadilan. Keketusan yang selama ini ia torehkan pada Shelina semata-mata ia ingin dihargai sebagai suami. Ia tidak sampai hati meninggalkan pernikahan ini. Shelina menatapnya bingung. "Kupikir ini yang kau inginkan. Kau
Berada di rumah terus-terusan membuat Shelina tersiksa. Setiap dia punya kesempatan untuk melamun, dia jadi teringat Yuni perempuan menyebalkan itu. Suatu malam, dia memberitahu Abizhar bahwa dia sudah siap bekerja di kantor. Abizhar menaikkan satu alisnya. “Kau yakin? Dokter bilang kau seharusnya beristirahat di rumah, setidaknya sampai semua obatmu habis,” kata Abizhar mengingatkan. “Jangan dipaksa. Kantormu juga tidak akan tutup toh selama kau di rumah.” “Aku tidak bisa sembuh jika gelisah terus,” jawab Shelina lirih. “Apakah aku bisa melarangmu, Shelina?” Shelina menatap Abizhar dengan kaget. Baru disadarinya dia jarang sekali meminta persetujuan dari suaminya. Selama ini dia melakukan apa yang dia sukai tanpa mempertimbangkan apa yang diinginkan suaminya. Aneh, pikir Shelina. Dulu aku tidak suka dikekang, terlebih diatur oleh suamiku. Mengapa sekarang aku malah merasa lebih aman jika aku mendengar keputusannya? Apakah aku sudah mulai bisa
Dibukanya map itu. Terdapat foto-fotonya tanpa memakai busana. Tidak hanya dirinya. Tampak seseorang memeluknya dari belakang. Wajah orang itu tak terlihat jelas. Hanya tangannya yang melingkari pinggang Shelina yang telanjang. Dari tangannya, itu bukan tangan Abizhar. Shelina dikejutkan dengan suara dering ponselnya. Ada telepon dari nomor tak dikenal. Diangkatnya dengan hati-hati. “Siapa ini?” “Berikan lima ratus juta atau foto-foto Anda akan tersebar.” “Siapa pikirmu sampai berani mengancam saya,” sahut Shelina dingin. “Kau pikir, saya takut?” “Apakah Anda ingin suami Anda tahu soal perselingkuhan Anda? Atau ayah Anda, barangkali?” “Siapa kau sebenarnya?” “Anda akan tahu setelah Anda berikan uang pada saya.” Bukannya takut Shelina justru tertawa jengkel. “Kau bisa bermimpi. Kau pikir, di jaman yang lagi susah seperti ini, mudah bagi saya untuk memberikan lima ratus juta untuk foto yang tidak saya ketahui keasliannya?
Sejak Shelina menjadi direktur utama di perusahaan properti ayahnya, dia selalu bersikap tenang dan menegakkan cara pikir yang rasional. Jarang sekali dia melewati rapat penting kecuali dia dalam keadaan sakit, namun sejak dia mendapat ancaman itu, dia merasa takut serta mudah gemetar. Dia meminta sekretarisnya saja yang mencatat apa-apa saja yang penting pada rapat. Dia tidak bisa menghindari serangan gugup itu meski dia sudah berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya. Sial, kecelakaan itu telah membuatnya jadi tidak tenang. Dia kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Getaran di ponselnya berhasil membuatnya sesak napas. Si pengancam terus-terusan menelepon, menagih uang yang dia janjikan. Shelina tidak bisa begitu saja memberikan uang sebanyak itu pada orang yang dia tidak ketahui. Selain itu, dia perlu jaminan bahwa si pengancam tidak akan menyebarkan foto-foto panas itu ke media. Aku tidak bisa biarkan Roland mengurus ini sendiri, pikir Shelina bergegas
Jika Shelina tidak mengangkat telepon, biasanya Abizhar menelepon asisten istrinya. Roland memberitahunya bahwa Shelina akan pulang terlambat hari itu. Kebetulan, pikir Abizhar. Hari ini sepertinya berkah untukku. Abizhar menelepon seseorang untuk masuk ke ruangannya. Perempuan yang masih muda itu tersenyum-senyum padanya. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?” bisik Abizhar penuh maksud. Perempuan itu mengangguk, mendekati Abizhar dan berlutut di depan Abizhar. Tak lama kemudian terdengar suara desahan dalam ruangan itu. Hal itu sudah terjadi sejak dia menikah dengan Shelina. Dia mendapat kepuasan itu dari Yuni. Sebelum kecelakaan itu, Shelina tidak pernah gagal membuatnya sampai ke puncak kenikmatan, akan tetapi ada yang mengganjal di hatinya. Mau sehebat apapun Shelina melayaninya, dia tetap tidak merasa hal itu cukup. Fakta bahwa dia dibeli oleh keluarga istrinya membuatnya mudah murung dan tidak percaya diri. Bahkan kepuasan yang diras