Share

5

Bukan rintihan karena menikmati sentuhan Abizhar. Rintisan itu cenderung lebih ke arah ringisan, yang terdengar seakan Shelina kesakitan. Ringisan tersebut tak pernah Abizhar dengar sebelumnya.

Tubuh Abizhar didorong keras ke belakang. Shelina berteriak sambil memegangi kepalanya.

“Ada apa?” tanya Abizhar khawatir. Ia berusaha mendekati Shelina namun istrinya menjauhi dirinya.  “Apakah sakit kepalamu kambuh lagi?”

“Jangan sentuh aku! Pergi!”

Shelina tak sadarkan diri. Pada alam bawah sadarnya, ia dibawa ke kenangan buruk yang selama ini berusaha disingkirkan dari ingatannya.

“Kau cantik banget sih, Shelina,” kata Oom Surya sambil mengelus pipinya yang mulus. “Sini, Oom cium dulu…”

Lalu Oom Surya melakukan sesuatu yang takkan pernah bisa Shelina lupakan untuk seumur hidupnya. Shelina tak berhenti menangis dengan koyakan di bagian bawah tubuhnya. Rasanya sakit sekali karena Oom Surya tidak memasukkannya dengan kasar dan terburu-buru.

“Jangan beritahu siapa-siapa ya. Kau tidak mau dong rumah tangga Oom dan tantemu berantakan.” Oom Surya meremas payudaranya dengan gemas. “Duh, sebentar lagi sarjana. Masih muda.. Berapa usiamu? Masih dua puluh satu? Masih segar-segarnya.. He.. he.. he…”

Mimpi buruk itu. Shelina berusaha kabur dari alam bawah sadar yang menakutkannya. Didengarnya suara yang memanggil-manggil namanya. Shelina membuka matanya, menyadari sedari tadi Abizhar berusaha membangunkannya.

“Apakah kau sakit, Shelina? Kau dengar aku, kan?”

Shelina menggeleng sekuat mungkin. Tidak, tidak mungkin… Apakah ini pertanda Oom Surya akan kembali ke hidupku, pikir Shelina dipenuhi rasa takut di hatinya. Dia sudah lama tinggal di Amerika. Dia sudah berjanji untuk tidak menggangguku lagi. Tapi bagaimana jika…

Tidak, tidak. Aku harus kuat.

“Abi.” Shelina menatap suaminya dengan kekalutan yang sengaja ditunjukkannya. Tak apalah aku terlihat lemah di depannya, pikir Shelina. “Apakah kau bisa berjanji untuk tetap bersamaku? Sampai waktunya tepat?”

“Tepat bagaimana?” Dahi Abizhar mengernyit.

“Kau… Kau ingin tanah itu, kan?” Shelina mengangguk-angguk sendiri. “Oke. Aku akan panggilkan lawyer-ku untuk mengurus penghibahan itu. Asalkan kau tetap bersamaku, oke? Asalkan kau..”

“Kau tidak berpikir waras, Shelina,” kata Abizhar tegas. “Aku memang mau tanah itu, tapi tidak seperti ini. Melihatmu mengemis begini membuat hatiku iba.” Abizhar berdecak-decak. “Ayuk makan, lalu minum obatmu.”

“Abi, aku serius. Aku tidak mau kau meninggalkanku.”

Abizhar memandangnya sejenak, memastikan apakah Shelina tulus memintanya begitu. Perlahan, Abizhar mengangguk. “Aku tidak meninggalkanmu.” Setidaknya sampai waktu yang tepat menurutmu, kan?

Entah mengapa, Abizhar melihat ada yang aneh dalam mata istrinya. Selama ini dia selalu terlihat kuat dan menyebalkan, pikir Abizhar. Apakah ada yang ia sembunyikan dariku? 

Ketika Abizhar tadi berusaha membangunkan Shelina, ia mendengar istrinya meracau nama paman Shelina, Oom Surya. Tentu Abizhar kenal dengan paman Shelina. Setiap akhir tahun keluarganya dengan keluarga Shelina berkumpul di restoran untuk sekadar silaturahmi. Meski pernikahan mereka didasari kontrak bisnis, tapi tetaplah di depan banyak orang mereka memperlihatkan hubungan suami-istri yang seharusnya.

Oom Surya tidak pernah menunjukkan gelagat tidak baik, pikir Abizhar lagi. Tapi siapa yang tahu isi hati dan pikiran manusia? Wanita yang kelihatannya cantik dan terhormat seperti Shelina saja mampu membunuh Yuni.

Abizhar curiga, ada yang tidak beres antara Shelina dan pamannya.

**

Pada masa pemulihan Shelina tidak diizinkan oleh suaminya untuk kembali bekerja. Abizhar melarangnya bukan karena dia peduli, melainkan dia tidak mau menambah masalah baru jika keadaan Shelina semakin parah. Dia bisa dimaki-maki ayah mertuanya sebab dia tidak becus menjaga istrinya. Abizhar tahu, hubungan bapak dan anak itu memang kurang akur, tapi ayah Shelina punya sisi yang sama dengan Shelina: sama-sama ingin membuat Abizhar sengsara.

Abizhar juga sudah enggan membahas masalah Yuni. Dia ingin memastikan Shelina sehat dulu baru akan didesaknya istrinya mengaku. Sebaliknya, justru Shelina yang meminta Abizhar untuk mencari tahu perihal kecelakaannya.

Hal itu mengherankan Abizhar. Apa yang direncanakan perempuan ini, pikir Abizhar. Apakah ini hanya taktiknya saja? Dia berpura-pura seolah tidak tahu apa-apa padahal dia sendirilah dalang dari kematian Yuni?

"Aku tidak bohong, aku memang tidak ingat apapun," kata Shelina sambil bersiap-siap. Rencananya hari ini ia berziarah ke makam anaknya. "Sekali pun aku yang membunuh perempuan itu, aku perlu tahu."

"CCTV di tol juga tidak menunjukkan kau menabraknya sebenarnya, Shelin," kata Abizhar memberitahunya. "Kalian hanya ngebut-ngebutan di jalan tol, tapi mengingat sikapmu yang kasar, aku yakin kamu yang memicu masalah ini."

Shelina menghela napas panjang. "Aku juga yakin begitu. Masalahnya, sampai aku bisa mengingatnya, atau ada bukti yang menjelaskan secara nyata aku yang mencelakainya, aku tidak bisa melakukan apa-apa."

"Memangnya, kalau benar kamu yang membunuhnya, kau akan melakukan apa?" tanya Abizhar penasaran.

Yang ditanya mengangkat bahu. "Menyerahkan diri pada polisi bukanlah pilihan yang mungkin. Aku masih punya tanggung jawab di perusahaan. Memberi kompensasi? Aku ingat kau pernah bilang dia sebatang kara, tak punya ahli waris," sahut Shelina bingung. Ia menatap Abizhar sejenak. "Abi."

"Hm."

Ada yang ingin dikatakan Shelina padanya, tapi Shelina memilih untuk bungkam. Ia menggeleng.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status