Share

4

“Mengeluhlah semaumu, Nyonya.” Abizhar telentang di sebelah Shelina. Ditatapnya Shelina dengan seksama. Saat kedua mata yang biasa memandangnya dengan menantang itu tertutup, entah mengapa, Abizhar merasa tenang. Dadanya hangat melihat Shelina yang tidak marah-marah. “Shelin.”

“Hmm.”

“Anak kita tampan,” kata Abizhar pelan. “Wajahnya mirip sekali kau.”

Diingatkan soal anak Shelina membuka matanya lagi. “Apakah kau memfotonya? Tunjukan padaku, Bi. Aku ingin sekali melihatnya!”

Abizhar mengangguk. Ditunjukkannya foto bayi mereka yang ada di ponselnya. “Ganteng, bukan?” Mata Abizhar tertuju pada Shelina yang terpukau melihat bayi mereka yang masih kemerahan. Ia juga melihat air mata yang mulai keluar dari sudut mata istrinya.

Benarkah ada satu orang dengan dua keperibadian sepertimu, Shelin, pikir Abizhar. Kau punya sifat keibuan yang sebenarnya aku kagumi, tapi di sisi lain, kau bisa sampai hati membunuh orang lain. Kau bisa menyingkirkan Yuni wanita yang kau anggap beban selama ini. Siapakah yang ada dalam dirimu, Shelina? Mengapa tiba-tiba aku merasa takut berduaan denganmu?

Ekspresi Shelina berubah menjadi murung. Abizhar segera mematikan ponselnya, membiarkan Shelina kembali mengatupkan matanya lagi. Meski kedua mata istrinya tertutup, Abizhar masih bisa melihat air mata yang terus mengalir di sana.

Tak urung Abizhar menggenggam tangan Shelina erat. Bagaimana pun dia dan Shelina tadinya akan menjadi orangtua untuk bayi mereka. Bagaimana pun pula Abizhar tidak bisa mengesampingkan perasaan nyaman di dekat Shelina walaupun mereka lebih sering bertengkar daripada bermesraan.

Ada kalanya Abizhar ingin melupakan Yuni dan berusaha mencintai Shelina, namun setiap ia hendak melakukannya, ia teringat pada malam pertama mereka. Abizhar memang tidak pernah melakukan seks sebelumnya, tapi ia tahu, cara Shelina membalas sentuhannya dan ketika dirasakannya kelonggaran di bawah sana, Shelina tidak perawan.

Shelina tidak menjawabnya ketika ia bertanya dengan siapa Shelina melakukannya. Abizhar sudah terbiasa dihina dari kecil, dibilang miskin segala macam, tapi dengan Shelina yang sudah tidak suci adalah puncak di mana dia menyadari itulah penghinaan terbesar yang dilakukan orang lain terhadapnya. Abizhar tidak pernah bisa membawa dirinya untuk menyayangi Shelina setiap ia ingat istrinya sudah menyerahkan dirinya untuk dicumbu dan dinikmati oleh laki-laki lain.

Sampai kapan aku harus bertahan denganmu, Shelin, pikir Abizhar sedih. Yuni sudah tidak ada. Aku sudah tidak punya alasan apapun untuk tetap bersamamu.

Keesokan paginya, setelah Shelina mandi, ia menerima surat yang disodorkan Abizhar padanya. Sekilas saja Shelina dapat melihat judul dari perjanjian tersebut. “Perjanjian nikah,” desis Shelina tak senang. “Untuk apa lagi? Kau ingin membuat perubahan atas perjanjian nikah ini?”

“Di sini dikatakan aku bisa mengajukan cerai jika kita sudah punya anak laki-laki,” kata Abizhar datar.  “Kita sudah punya anak laki-laki, meski anak itu meninggal.” Rahang Abizhar mengeras. “Tolong biarkan aku pergi. Aku sudah tidak mau lagi meneruskan pernikahan ini.”

“Apa rencanamu setelah bercerai?” tanya Shelina dingin.

Abizhar menatapnya kesal. “Bukan urusanmu.”

“Berikan kompensasi padaku  terlebih dahulu, baru aku akan mempertimbangkan perceraian untuk kita berdua,” sahut Shelina. “Aku tidak mau kau mencampakkanku begitu saja setelah kau dapat banyak hal dari pernikahan ini.”

“Apa yang kau mau? Kompensasi seperti apa yang bisa menyenangkan seorang Shelina?”

Shelina mengangkat bahu. “Akan kupikirkan.” Ia memandang Abizhar dengan senyuman licik menghiasi wajahnya. “Kalau kita bercerai, itu artinya kau tidak akan menggangguku dengan urusan tanah itu, kan? Aku berencana untuk membuat klub malam di gedung apartemenku. Bisnis klub malam punya prospek yang bagus.”

“Shelina!” bentak Abizhar marah. “Jangan berani-beraninya kau kotori tanah itu. Di sanalah aku bertemu orang-orang baik. Di sana pula aku…”

“….bertemu Yuni kekasihku yang sangat kusayang,” sambung Shelina nyinyir. “Abi, aku tidak peduli. Bisnis ya bisnis.”

“Apa yang harus kulakukan agar kau menyerahkan tanah itu padaku? Tidak cukupkah aku melayanimu di ranjang selama ini? Tidak cukupkah aku yang pura-pura tersenyum di setiap acara jamuan makan malam?” geram Abizhar setengah putus asa.

“Aku ingin punya anak. Aku ingin menjadi wanita seutuhnya dengan menjadi seorang ibu.”

“Pikiran dari mana itu? Hidup di jaman apa kau ini?!” dengus Abizhar. “Kalau kau mau jadi wanita seutuhnya, jadilah wanita yang baik. Wanita yang punya manfaat bagi masyarakat sekitar. Nah, tidak usah jauh-jauh, bermanfaatlah untuk suamimu ini dengan menyerahkan tanahmu padaku!”

“Sudah kubilang, akan kupikirkan soal itu. Aku tidak mengingkari janji, kok,” jawab Shelina jemu. “Aku akan memberikan harga yang pantas untukmu membeli tanah itu.”

“Kalau begitu kenapa kita tidak melakukannya?” Abizhar melepaskan ikat pinggang celananya. Dibukanya kancing kemudian diturunkannya retsleting celananya. “Ayo. Kita punya anak sebanyak yang kau mau. Jika itu yang memang harus kubayar untuk bisa memiliki tanah darimu!”

Dipagutnya bibir istrinya dengan ganas. Didorongnya tubuh Shelina ke atas tempat tidur, lalu dicumbunya istrinya sampai ia mendengar rintihan Shelina.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status