Share

3

"....Tapi kau tidak tahu penderitaanku sedikit pun!”

“Penderitaan apa! Kau selalu mendapatkan apa yang kau mau!” Abizhar mengeluh marah. “Termasuk dirku. Kenapa sih, dari sekian laki-laki kau mengincarku? Apakah kau terlalu tidak percaya diri dengan kau yang tidak perawan, jadi kau pilih laki-laki yang berasal dari panti asuhan sepertiku?!”

Sebelum menikah bahkan Shelina tidak tahu asal-muasal keluarga Abizhar. Mereka hanya kenal dua minggu dan itu pun di acara resmi saja, tidak personal. Dari ayah Shelina, Pak Edward Sutedja, Shelina mendapat informasi bahwa Abizhar diangkat oleh keluarga Soewitno saat usianya dua belas tahun. Ayah Shelina juga menekankan tidak perlu Shelina sakit hati karena Abizhar yang tidak bisa mencintai Shelina. Pernikahan itu bebas untuk dibubarkan oleh Shelina maupun Abizhar setelah ayah Shelina dan ayah angkat Abizhar mendapat apa yang mereka mau.

Perjanjian Pak Edward dan Pak Ariadi Soewitno berkaitan dengan merger kedua perusahaan mereka di bidang properti, sementara perjanjian antara Shelina dan Abizhar terkait tanah dan anak. Abizhar akan menerima tanah dengan atas nama Shelina setelah anak laki-laki mereka lahir. Abizhar juga akan memberikan kompensasi untuk anak laki-laki mereka.

Sebelum menikah Shelina sudah memberi kesan bahwa ia membeli Abizhar hanya untuk membantunya menjadi seorang ibu. Dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi untuk menunjukkan kedudukan Abizhar yang lebih rendah darinya. Hal itu bukan hanya untuk mengintimidasi Abizhar saja, melainkan Shelina tahu jika dia tidak bersikap demikian, Abizhar akan menginjak-injaknya.

Pria itu memberitahunya bahwa alasannya untuk menyetujui ide pernikahan yang gila itu hanya karena ia ingin membalas budi pada keluarga Soewitno dan tanah yang dimiliki Shelina. Abizhar sudah menjelaskan bahwa hatinya hanya dimiliki Yuni, teman kecilnya yang dikenalnya sejak ia hidup di Panti Asuhan.

Bukan salah Yuni ia disukai Abizhar, pria yang ditaksir Shelina. Ya, Shelina tidak mengelak bahwa ia menyukai Abizhar. Abizhar tampan, pintar, dan sebenarnya cukup mahir membuat dadanya hangat setiap pria itu menyentuhnya, namun Shelina tidak bisa merasakan Abizhar sepenuhnya sebab bayangan Yuni menjadi penghalang di antara dirinya dan Abizhar.

Shelina tidak pernah menutupi kebenciannya pada Yuni, malah setiap selesai melakukan seks dengan suaminya, ia mendesis berharap ia bisa membunuh Yuni. Ia merasa ia bisa menikmati seks tersebut lebih maksimal jika tidak merasa iri pada Yuni.

Bagaimana ia tidak iri. Alasan terbesar Abizhar bersamanya adalah karena Yuni. Abizhar menghendaki tanah dengan atas nama Shelina itu untuk dihadiahkannya pada Yuni kemudian. Abizhar bilang, tanah itu dulunya adalah Panti Asuhan tempatnya tinggal bersama Yuni dulu. Ia ingin Yuni menjadi pengurus Panti Asuhan itu di atas tanah tempat Abizhar dan Yuni memiliki banyak kenangan.

Memuakkan, bukan?

Shelina memang tak pernah absen menyumpah serapah pada Yuni, berharap Yuni pergi dari dunia ini, tapi hati kecilnya merasa bersalah mengetahui perempuan itu benar-benar mati. Shelina memandang raut kesal di wajah suaminya, namun ia tahu, sebenarnya kemarahan yang dirasakan Abizhar disebabkan kesedihannya kehilangan cinta dalam hidupnya.

Andai saja aku yang mati, pikir Shelina sedih. Apakah kau akan sedih seperti ini, Bi? Atau kau langsung merayakan pesta besar-besaran merayakan kematian wanita yang brengsek ini?

Cobaan Shelina belum selesai Shelina selama sakit terus menyerangnya tanpa mengenal waktu. Dia sering melenguh, nyaris berteriak menahan sakit, dan Abizhar meskipun hatinya masih dikecamuk rasa sedih dan amarah, dia tetap mengesampingkan semua itu dengan mengurus Shelina.

Dibawakannya makanan ke kamar. Diingatkannya Shelina untuk mengonsumsi obat-obatnya setelah makan. Terpaksa, Abizhar mengatakan pada Shelina untuk tidak usah memikirkan soal Yuni kalau itu hanya membuat Shelina semakin sakit.

“Aku juga ingin tahu apakah aku betul membunuhnya atau tidak,” jawab Shelina datar. Fisiknya memang sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit setiap nama Yuni dilisankan oleh Abizhar. “Dengan begitu aku bisa merasa lega.”

“Lega karena apa? Karena bisa menyingkirkan sainganmu?” sahut Abizhar kesal. “Shelina. Andai saja kau tidak angkuh, barangkali.. ya barangkali, aku bisa membuka hatiku untukmu.”

“Bukan barangkali, tapi memang seharusnya hati suamiku ya untukku!” dengus Shelina marah. “Apa sih yang kau lihat dari Yuni sampai terus-terusan membandingkan aku dengannya? Apa yang bisa diberikannya yang aku tidak bisa?!”

“Kita sudah membahas ini. Dari awal, sudah kutekankan padamu, bahwa cintaku hanya untuk Yuni. Kenapa? Ya karena dia memang tipeku. Sesederhana itu aku mencintainya,” jawab Abizhar lirih.

“Hhh, menjijikkan,” desis Shelina menunjukkan rasa muaknya. “Apa kontribusinya dalam hidupmu sampai kau rela melukai hati istrimu yang telah memberikan segalanya padamu? Aku tidak hanya memberikan diriku untukmu, Abi. Kalau bukan karena ayahku, kau juga takkan dapat modal untuk dua perusahaan yang baru kau kembangkan.”

“Menurutmu, hargamu setinggi itu?” Abizhar menatap Shelina dingin. “Uang, uang, dan uang. Itu saja yang menjadi patokanmu untuk harga dirimu, Shelin.” Dihelanya napas berat. “Tidurlah. Tak ada gunanya pertengkaran ini. Selama aku masih satu ranjang denganmu, pernikahan ini akan terus berantakan seperti ini.”

“Aku tidak melarangmu untuk tidur di tempat lain,” kata Shelina menyandarkan kepalanya di atas bantal. Ia memejamkan matanya. “Aku butuh ketenangan saat ini. Tak ada yang bisa membuatku tenang selain kesendirian. Dari dulu sampai sekarang, yang hanya ada untukku adalah diriku sendiri.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status