"....Tapi kau tidak tahu penderitaanku sedikit pun!”
“Penderitaan apa! Kau selalu mendapatkan apa yang kau mau!” Abizhar mengeluh marah. “Termasuk dirku. Kenapa sih, dari sekian laki-laki kau mengincarku? Apakah kau terlalu tidak percaya diri dengan kau yang tidak perawan, jadi kau pilih laki-laki yang berasal dari panti asuhan sepertiku?!”
Sebelum menikah bahkan Shelina tidak tahu asal-muasal keluarga Abizhar. Mereka hanya kenal dua minggu dan itu pun di acara resmi saja, tidak personal. Dari ayah Shelina, Pak Edward Sutedja, Shelina mendapat informasi bahwa Abizhar diangkat oleh keluarga Soewitno saat usianya dua belas tahun. Ayah Shelina juga menekankan tidak perlu Shelina sakit hati karena Abizhar yang tidak bisa mencintai Shelina. Pernikahan itu bebas untuk dibubarkan oleh Shelina maupun Abizhar setelah ayah Shelina dan ayah angkat Abizhar mendapat apa yang mereka mau.
Perjanjian Pak Edward dan Pak Ariadi Soewitno berkaitan dengan merger kedua perusahaan mereka di bidang properti, sementara perjanjian antara Shelina dan Abizhar terkait tanah dan anak. Abizhar akan menerima tanah dengan atas nama Shelina setelah anak laki-laki mereka lahir. Abizhar juga akan memberikan kompensasi untuk anak laki-laki mereka.
Sebelum menikah Shelina sudah memberi kesan bahwa ia membeli Abizhar hanya untuk membantunya menjadi seorang ibu. Dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi untuk menunjukkan kedudukan Abizhar yang lebih rendah darinya. Hal itu bukan hanya untuk mengintimidasi Abizhar saja, melainkan Shelina tahu jika dia tidak bersikap demikian, Abizhar akan menginjak-injaknya.
Pria itu memberitahunya bahwa alasannya untuk menyetujui ide pernikahan yang gila itu hanya karena ia ingin membalas budi pada keluarga Soewitno dan tanah yang dimiliki Shelina. Abizhar sudah menjelaskan bahwa hatinya hanya dimiliki Yuni, teman kecilnya yang dikenalnya sejak ia hidup di Panti Asuhan.
Bukan salah Yuni ia disukai Abizhar, pria yang ditaksir Shelina. Ya, Shelina tidak mengelak bahwa ia menyukai Abizhar. Abizhar tampan, pintar, dan sebenarnya cukup mahir membuat dadanya hangat setiap pria itu menyentuhnya, namun Shelina tidak bisa merasakan Abizhar sepenuhnya sebab bayangan Yuni menjadi penghalang di antara dirinya dan Abizhar.
Shelina tidak pernah menutupi kebenciannya pada Yuni, malah setiap selesai melakukan seks dengan suaminya, ia mendesis berharap ia bisa membunuh Yuni. Ia merasa ia bisa menikmati seks tersebut lebih maksimal jika tidak merasa iri pada Yuni.
Bagaimana ia tidak iri. Alasan terbesar Abizhar bersamanya adalah karena Yuni. Abizhar menghendaki tanah dengan atas nama Shelina itu untuk dihadiahkannya pada Yuni kemudian. Abizhar bilang, tanah itu dulunya adalah Panti Asuhan tempatnya tinggal bersama Yuni dulu. Ia ingin Yuni menjadi pengurus Panti Asuhan itu di atas tanah tempat Abizhar dan Yuni memiliki banyak kenangan.
Memuakkan, bukan?
Shelina memang tak pernah absen menyumpah serapah pada Yuni, berharap Yuni pergi dari dunia ini, tapi hati kecilnya merasa bersalah mengetahui perempuan itu benar-benar mati. Shelina memandang raut kesal di wajah suaminya, namun ia tahu, sebenarnya kemarahan yang dirasakan Abizhar disebabkan kesedihannya kehilangan cinta dalam hidupnya.
Andai saja aku yang mati, pikir Shelina sedih. Apakah kau akan sedih seperti ini, Bi? Atau kau langsung merayakan pesta besar-besaran merayakan kematian wanita yang brengsek ini?
Cobaan Shelina belum selesai Shelina selama sakit terus menyerangnya tanpa mengenal waktu. Dia sering melenguh, nyaris berteriak menahan sakit, dan Abizhar meskipun hatinya masih dikecamuk rasa sedih dan amarah, dia tetap mengesampingkan semua itu dengan mengurus Shelina.
Dibawakannya makanan ke kamar. Diingatkannya Shelina untuk mengonsumsi obat-obatnya setelah makan. Terpaksa, Abizhar mengatakan pada Shelina untuk tidak usah memikirkan soal Yuni kalau itu hanya membuat Shelina semakin sakit.
“Aku juga ingin tahu apakah aku betul membunuhnya atau tidak,” jawab Shelina datar. Fisiknya memang sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit setiap nama Yuni dilisankan oleh Abizhar. “Dengan begitu aku bisa merasa lega.”
“Lega karena apa? Karena bisa menyingkirkan sainganmu?” sahut Abizhar kesal. “Shelina. Andai saja kau tidak angkuh, barangkali.. ya barangkali, aku bisa membuka hatiku untukmu.”
“Bukan barangkali, tapi memang seharusnya hati suamiku ya untukku!” dengus Shelina marah. “Apa sih yang kau lihat dari Yuni sampai terus-terusan membandingkan aku dengannya? Apa yang bisa diberikannya yang aku tidak bisa?!”
“Kita sudah membahas ini. Dari awal, sudah kutekankan padamu, bahwa cintaku hanya untuk Yuni. Kenapa? Ya karena dia memang tipeku. Sesederhana itu aku mencintainya,” jawab Abizhar lirih.
“Hhh, menjijikkan,” desis Shelina menunjukkan rasa muaknya. “Apa kontribusinya dalam hidupmu sampai kau rela melukai hati istrimu yang telah memberikan segalanya padamu? Aku tidak hanya memberikan diriku untukmu, Abi. Kalau bukan karena ayahku, kau juga takkan dapat modal untuk dua perusahaan yang baru kau kembangkan.”
“Menurutmu, hargamu setinggi itu?” Abizhar menatap Shelina dingin. “Uang, uang, dan uang. Itu saja yang menjadi patokanmu untuk harga dirimu, Shelin.” Dihelanya napas berat. “Tidurlah. Tak ada gunanya pertengkaran ini. Selama aku masih satu ranjang denganmu, pernikahan ini akan terus berantakan seperti ini.”
“Aku tidak melarangmu untuk tidur di tempat lain,” kata Shelina menyandarkan kepalanya di atas bantal. Ia memejamkan matanya. “Aku butuh ketenangan saat ini. Tak ada yang bisa membuatku tenang selain kesendirian. Dari dulu sampai sekarang, yang hanya ada untukku adalah diriku sendiri.”
“Mengeluhlah semaumu, Nyonya.” Abizhar telentang di sebelah Shelina. Ditatapnya Shelina dengan seksama. Saat kedua mata yang biasa memandangnya dengan menantang itu tertutup, entah mengapa, Abizhar merasa tenang. Dadanya hangat melihat Shelina yang tidak marah-marah. “Shelin.”“Hmm.”“Anak kita tampan,” kata Abizhar pelan. “Wajahnya mirip sekali kau.”Diingatkan soal anak Shelina membuka matanya lagi. “Apakah kau memfotonya? Tunjukan padaku, Bi. Aku ingin sekali melihatnya!”Abizhar mengangguk. Ditunjukkannya foto bayi mereka yang ada di ponselnya. “Ganteng, bukan?” Mata Abizhar tertuju pada Shelina yang terpukau melihat bayi mereka yang masih kemerahan. Ia juga melihat air mata yang mulai keluar dari sudut mata istrinya.Benarkah ada satu orang dengan dua keperibadian sepertimu, Shelin, pikir Abizhar. Kau punya sifat keibuan yang sebenarnya aku kagumi, tapi di sisi
Bukan rintihan karena menikmati sentuhan Abizhar. Rintisan itu cenderung lebih ke arah ringisan, yang terdengar seakan Shelina kesakitan. Ringisan tersebut tak pernah Abizhar dengar sebelumnya.Tubuh Abizhar didorong keras ke belakang. Shelina berteriak sambil memegangi kepalanya.“Ada apa?” tanya Abizhar khawatir. Ia berusaha mendekati Shelina namun istrinya menjauhi dirinya. “Apakah sakit kepalamu kambuh lagi?”“Jangan sentuh aku! Pergi!”Shelina tak sadarkan diri. Pada alam bawah sadarnya, ia dibawa ke kenangan buruk yang selama ini berusaha disingkirkan dari ingatannya.“Kau cantik banget sih, Shelina,” kata Oom Surya sambil mengelus pipinya yang mulus. “Sini, Oom cium dulu…” Lalu Oom Surya melakukan sesuatu yang takkan pernah bisa Shelina lupakan untuk seumur hidupnya. Shelina tak berhenti menangis dengan koyakan di bagian bawah tubuhnya. Rasanya saki
Sebenarnya, Shelina ingin mengatakan kata-kata manis untuk menghibur suaminya. Ia tahu Yuni sangat berarti bagi Abizhar, dan suaminya pasti merasa kehilangan dengan kepergian Yuni. Terkadang, aku ingin mengorbankan perasaanku, pikir Shelina sambil berjalan ke lobi rumahnya. Aku ingin mengesampingkan egoku dengan memberikan gestur pengertian kepada suamiku. Tapi aku tidak bisa. Hatiku terasa sakit hanya dengan membayangkan Abizhar mencintai wanita lain.Ketika Shelina melihat mobil sedan milik Abizhar di hadapannya, ia dibayang-bayangi suatu yang mampir ke benaknya. Kepalanya mulai sakit seperti ditusuk-tusuk pisau. Dalam benaknya, ia masuk ke mobil Lexus hitamnya, dan membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdegup kencang seakan-akan ia dikejar seseorang.Shelina tersadar dari bayangan itu. Bahunya disentuh dari belakang. Ia segera menoleh."Jangan nyetir dulu kalau belum bisa. Biarkan aku yang mengantarkanmu," tawar Abizhar sambil masuk ke
Hati Shelina sakit saat Abizhar mengantarnya sampai ke makam anak mereka. Dapat dibacanya nama anaknya di sana. Shelby, gumam Shelina dalam hati. Sebelum kecelakaan itu terjadi, dia mengatakan pada Abizhar dia ingin menamakan nama anak mereka Shelby, gabungan nama mereka. Shelina pikir, Abizhar tidak mendengarnya saat itu.Air mata Shelina tak terbendung lagi. Dia duduk di samping makam itu, meraung meminta maaf pada anaknya. Seharusnya sebagai ibu Shelina bisa menjaga kandungannya, tidak ceroboh membawa mobilnya sampai celaka. Shelina dirisak perasaan bersalah selama berada di makam tersebut.Atau... tidak?Entah mengapa, ada sisi di hatinya, yang tidak menyesali kepergian bayinya. Sekonyong-konyong ia mengingat sesuatu di masa lalu. Dia mendengar suaranya mengatakan pada dirinya sendiri,"Anak ini tidak seharusnya lahir. Tak boleh ada yang tahu siapa anak ini.."Shelina mencoba menggali ingatannya lebih jauh, tapi yang didapatkannya hanya ke
Sudah satu setengah tahun mereka menikah namun tak pernah sekali pun Shelina menolak sentuhannya. Sebaliknya, Shelina paling senang saat Abizhar mencumbunya, membawanya ke puncak kenikmatan, tetapi sejak kecelakaan itu terjadi, Abizhar harus menelan kekecewaannya setelah ditolak berkali-kali.Bah! Sejak kapan ia ditolak Shelina di ranjang? Rasanya ego yang dimiliki Abizhar terkikis hari demi hari. Ranjang mereka yang selama ini selalu hangat dengan keringat mereka yang tak pernah absen membasahinya, kini terasa dingin.Shelina tidak hanya kaku saat disentuh. Sikapnya juga membuat Abizhar bingung. Shelina memang masih melayaninya dengan menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Istrinya juga setiap pagi menyiapkan pakaian kerja Abizhar. Meski tubuhnya bergerak untuk melakukan kewajibannya (selain di atas ranjang), Abizhar dapat menemukan tatapan hampa di mata istrinya.Abizhar menelepon dokter yang menangani Shelina. Kata dokter, perubahan sikap setelah
Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijam
Abizhar melempar dua map itu ke lantai. Ralat, dia tidak melempar, melainkan membanting dengan sangat keras sampai kedua mata Shelina melebar terkejut. "Abi!" tegur Shelina marah. "Ini kan kemauanmu. Kenapa kau jadi begini? Apakah yang kuberi kurang?" "Kau anggap apa aku ini!" bentak Abizhar sama gusarnya. "Aku bukan barang, Shelin. Aku bukan mainan yang kau beli lalu kau buang setelah kau bosan!" Abizhar menatapnya tajam-tajam. "Aku memang belum mencintaimu, aku ragu untuk bisa mencintaimu, tapi aku menentang perceraian. Sekali pun Yuni masih hidup, aku tak pernah berpikir untuk bercerai." Abizhar diam. Ya, hidup dengan Shelina bak mimpi buruk baginya, tapi dia tidak pernah membayangkan dia akan mengurus perceraiannya di pengadilan. Keketusan yang selama ini ia torehkan pada Shelina semata-mata ia ingin dihargai sebagai suami. Ia tidak sampai hati meninggalkan pernikahan ini. Shelina menatapnya bingung. "Kupikir ini yang kau inginkan. Kau
Berada di rumah terus-terusan membuat Shelina tersiksa. Setiap dia punya kesempatan untuk melamun, dia jadi teringat Yuni perempuan menyebalkan itu. Suatu malam, dia memberitahu Abizhar bahwa dia sudah siap bekerja di kantor. Abizhar menaikkan satu alisnya. “Kau yakin? Dokter bilang kau seharusnya beristirahat di rumah, setidaknya sampai semua obatmu habis,” kata Abizhar mengingatkan. “Jangan dipaksa. Kantormu juga tidak akan tutup toh selama kau di rumah.” “Aku tidak bisa sembuh jika gelisah terus,” jawab Shelina lirih. “Apakah aku bisa melarangmu, Shelina?” Shelina menatap Abizhar dengan kaget. Baru disadarinya dia jarang sekali meminta persetujuan dari suaminya. Selama ini dia melakukan apa yang dia sukai tanpa mempertimbangkan apa yang diinginkan suaminya. Aneh, pikir Shelina. Dulu aku tidak suka dikekang, terlebih diatur oleh suamiku. Mengapa sekarang aku malah merasa lebih aman jika aku mendengar keputusannya? Apakah aku sudah mulai bisa