“Jangan senang dulu. Saat ini polisi sedang menyelidiki kasus kecelakaanmu. Aku yakin, kau akan diseret ke kantor polisi karena kau telah berusaha menyingkirkan Yuni.”
“Aku ragu dengan kondisiku yang sekarang mereka bisa menangkapku,” jawab Shelina dengan nada merendahkan. “Lagipula aku punya banyak kenalan pengacara andal. Jadi apa yang harus kutakuti?”
“Ya terang saja. Aku lupa, mantan kekasihmu yang sok cakep itu juga lawyer. Siapa namanya? Oh, Philip Sadrin. Dia tanpa kau minta pasti akan datang menolongmu.”
Senyum Shelina melebar mendengar kesinisan itu. “Aku ingin istirahat. Oh ya. Apakah ada yang menjengukku?”
“Menurutmu? Tentu saja banyak. Teman-temanmu dari kalangan sosialita itu terang saja datang, dengan membawa wartawan pula, hanya untuk memojokanku di media,” dengus Abizhar. “Aku akui, di depan orang lain, kau sangat hebat menjaga citramu. Tapi di depanku, kau tidak lebih wanita berhati iblis!”
“Apa yang mereka bilang?”
“Cek saja sendiri setelah kau sehat.” Abizhar berdiri dari duduknya. “Aku pergi mau merokok sebentar.” Lengannya ditahan istrinya. Ketika istrinya menyentuhnya, Abizhar merasa hangat—sedikit. “Ada apa?”
“Apakah ayahku datang?”
Abizhar diam, menepiskan tangan Shelina darinya. “Dia tidak datang, bahkan di pemakaman anak kita dia juga tidak menunjukkan batang hidungnya,” jawabnya parau. Abizhar melihat kekecewaan yang berusaha disembunyikan istrinya. Hanya untuk menyakitkan istrinya lebih dalam lagi, Abizhar menambahkan, “Dia pasti kecewa padamu. Berita kau yang menabrak simpananku cukup memengaruhi harga saham perusahaan propertinya. Anjlok betul.” Abizhar berdecak.
Meski Abizhar selalu bersikap dingin dan bicara nyelekit padanya, Shelina tidak memungkiri apa yang dikatakan Abizhar ada benarnya. Selama ini tidak ada yang lebih penting daripada bisnis bagi Papa, pikir Shelina murung. Bahkan pernikahanku dengan Abizhar tidak lebih dari sekadar bisnis antara Papa dan orangtua angkat Abizhar.
**
Semakin Shelina berusaha mengingat kecelakaan itu, semakin memburuk sakit kepalanya. Seminggu kemudian, ia baru dibolehkan dokter untuk pulang. Pikirnya ia bisa beristirahat sebelum akhirnya ia betul-betul pulih, namun baru dua jam di rumah, dua polisi datang ke rumahnya dengan tujuan menyelidiki kasus kecelakaan yang dialaminya.
Shelina memberikan hasil CT Scan kepalanya dan kontak dokter yang menanganinya. Dia menjelaskan bahwa ia betul-betul tidak ingat dengan kejadian itu. Meski ia disodorkan rekaman CCTV di berbagai tempat, di mana semuanya menunjukkan ia kebut-kebutan dengan Yuni, ia tetap menggeleng.
Ia teringat sesuatu.
Ia menunjukkan beberapa pesan yang dikirimkan Yuni melalui email. Pesan-pesan tersebut mengandung ancaman. Polisi menganggap pesan-pesan tersebut menjadi petunjuk untuk kasus itu. Shelina kooperatif selama ditanya, dia tidak keberatan sekali pun dia tidak bisa keluar negeri sampai penyelidikan dihentikan. Setelah ditanyai untuk tiga jam lamanya, Shelina berjalan ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.
Abizhar yang melihat itu hanya meringis kesal, tapi Shelina tidak peduli. Dia menangis di atas bantal, mencoba mengeluarkan semua sesak di dadanya. Dia masih tidak percaya bahwa dia sudah tidak mengandung lagi.
“Aktingmu bagus, harusnya kau tunjukan pada polisi,” kata Abizhar jengkel. “Kenapa sih tidak kau akui saja kalau kau memang sengaja mencelakainya?! Aku tahu kau pura-pura bodoh, Shelina. Wanita sombong sepertimu pasti ogah tinggal di balik jeruji besi!”
“Kenapa kau tidak pergi saja dari sini?” tanya Shelina dengan wajah yang basah karena air mata. “Kenapa kau terus menekanku?! Aku bilang tidak ingat ya tidak ingat!”
“Menurutmu mudah saja bagiku untuk pergi dari hidupmu?” Abizhar menunduk di depan istrinya. Ditatapnya istrinya dengan bengis. “Aku hanya akan pergi setelah aku mendapatkan apa yang kuincar darimu. Dan hal itu tidak akan kudapat selama bapakmu masih hidup!”
“Oh ya, tentu. Tanah di Kebon Kacang yang kini sedang proses pembangunan apartemen, itu kan yang kau inginkan?” Shelina meludah tepat ke pipi pria itu. Hatinya tak gentar saat Abizhar mengangkat satu tangannya untuk memukulnya. “Bantahlah kalau berani. Kau pikir aku sebodoh itu menerima pinanganmu di saat aku tahu kau tak lebih pengincar harta!”
Abizhar mundur selangkah dari istrinya. Tangannya yang hendak menampar istrinya mengepal kuat-kuat. “Arrrghh!” Ditonjoknya tembok di dekatnya. Tembok itu tidak hancur sekali pun, namun tangannya mengalami luka. Darah mengalir di sana. “Lalu apa yang kau mau, Shelina? Mencintaiku tidak bisa, membiarkan aku lepas darimu juga tidak!”
“Aku ingin harta yang kau ambil dari ayahku jatuh ke tanganku. Aku ingin memiliki rumah ini. Aku ingin punya semua yang kau mau. Baru setelah itu akan kurelakan kau dengan wanita murahan mana pun,” jawab Shelina dingin.
“Kau sudah lahir di keluarga yang kaya, kau tidak pernah kekurangan, mengapa kau masih merisak anak miskin sepertiku?!” gerutu Abizhar heran.
“Kita sama-sama tidak bahagia, Abi,” sahut Shelina datar. “Kau melihatku sebagai orang yang manja dengan barang mahal yang melekat padaku. Tapi kau tidak tahu penderitaanku sedikit pun!”
"....Tapi kau tidak tahu penderitaanku sedikit pun!”“Penderitaan apa! Kau selalu mendapatkan apa yang kau mau!” Abizhar mengeluh marah. “Termasuk dirku. Kenapa sih, dari sekian laki-laki kau mengincarku? Apakah kau terlalu tidak percaya diri dengan kau yang tidak perawan, jadi kau pilih laki-laki yang berasal dari panti asuhan sepertiku?!”Sebelum menikah bahkan Shelina tidak tahu asal-muasal keluarga Abizhar. Mereka hanya kenal dua minggu dan itu pun di acara resmi saja, tidak personal. Dari ayah Shelina, Pak Edward Sutedja, Shelina mendapat informasi bahwa Abizhar diangkat oleh keluarga Soewitno saat usianya dua belas tahun. Ayah Shelina juga menekankan tidak perlu Shelina sakit hati karena Abizhar yang tidak bisa mencintai Shelina. Pernikahan itu bebas untuk dibubarkan oleh Shelina maupun Abizhar setelah ayah Shelina dan ayah angkat Abizhar mendapat apa yang mereka mau.Perjanjian Pak Edward dan Pak Ariadi Soewitno berkaitan den
“Mengeluhlah semaumu, Nyonya.” Abizhar telentang di sebelah Shelina. Ditatapnya Shelina dengan seksama. Saat kedua mata yang biasa memandangnya dengan menantang itu tertutup, entah mengapa, Abizhar merasa tenang. Dadanya hangat melihat Shelina yang tidak marah-marah. “Shelin.”“Hmm.”“Anak kita tampan,” kata Abizhar pelan. “Wajahnya mirip sekali kau.”Diingatkan soal anak Shelina membuka matanya lagi. “Apakah kau memfotonya? Tunjukan padaku, Bi. Aku ingin sekali melihatnya!”Abizhar mengangguk. Ditunjukkannya foto bayi mereka yang ada di ponselnya. “Ganteng, bukan?” Mata Abizhar tertuju pada Shelina yang terpukau melihat bayi mereka yang masih kemerahan. Ia juga melihat air mata yang mulai keluar dari sudut mata istrinya.Benarkah ada satu orang dengan dua keperibadian sepertimu, Shelin, pikir Abizhar. Kau punya sifat keibuan yang sebenarnya aku kagumi, tapi di sisi
Bukan rintihan karena menikmati sentuhan Abizhar. Rintisan itu cenderung lebih ke arah ringisan, yang terdengar seakan Shelina kesakitan. Ringisan tersebut tak pernah Abizhar dengar sebelumnya.Tubuh Abizhar didorong keras ke belakang. Shelina berteriak sambil memegangi kepalanya.“Ada apa?” tanya Abizhar khawatir. Ia berusaha mendekati Shelina namun istrinya menjauhi dirinya. “Apakah sakit kepalamu kambuh lagi?”“Jangan sentuh aku! Pergi!”Shelina tak sadarkan diri. Pada alam bawah sadarnya, ia dibawa ke kenangan buruk yang selama ini berusaha disingkirkan dari ingatannya.“Kau cantik banget sih, Shelina,” kata Oom Surya sambil mengelus pipinya yang mulus. “Sini, Oom cium dulu…” Lalu Oom Surya melakukan sesuatu yang takkan pernah bisa Shelina lupakan untuk seumur hidupnya. Shelina tak berhenti menangis dengan koyakan di bagian bawah tubuhnya. Rasanya saki
Sebenarnya, Shelina ingin mengatakan kata-kata manis untuk menghibur suaminya. Ia tahu Yuni sangat berarti bagi Abizhar, dan suaminya pasti merasa kehilangan dengan kepergian Yuni. Terkadang, aku ingin mengorbankan perasaanku, pikir Shelina sambil berjalan ke lobi rumahnya. Aku ingin mengesampingkan egoku dengan memberikan gestur pengertian kepada suamiku. Tapi aku tidak bisa. Hatiku terasa sakit hanya dengan membayangkan Abizhar mencintai wanita lain.Ketika Shelina melihat mobil sedan milik Abizhar di hadapannya, ia dibayang-bayangi suatu yang mampir ke benaknya. Kepalanya mulai sakit seperti ditusuk-tusuk pisau. Dalam benaknya, ia masuk ke mobil Lexus hitamnya, dan membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdegup kencang seakan-akan ia dikejar seseorang.Shelina tersadar dari bayangan itu. Bahunya disentuh dari belakang. Ia segera menoleh."Jangan nyetir dulu kalau belum bisa. Biarkan aku yang mengantarkanmu," tawar Abizhar sambil masuk ke
Hati Shelina sakit saat Abizhar mengantarnya sampai ke makam anak mereka. Dapat dibacanya nama anaknya di sana. Shelby, gumam Shelina dalam hati. Sebelum kecelakaan itu terjadi, dia mengatakan pada Abizhar dia ingin menamakan nama anak mereka Shelby, gabungan nama mereka. Shelina pikir, Abizhar tidak mendengarnya saat itu.Air mata Shelina tak terbendung lagi. Dia duduk di samping makam itu, meraung meminta maaf pada anaknya. Seharusnya sebagai ibu Shelina bisa menjaga kandungannya, tidak ceroboh membawa mobilnya sampai celaka. Shelina dirisak perasaan bersalah selama berada di makam tersebut.Atau... tidak?Entah mengapa, ada sisi di hatinya, yang tidak menyesali kepergian bayinya. Sekonyong-konyong ia mengingat sesuatu di masa lalu. Dia mendengar suaranya mengatakan pada dirinya sendiri,"Anak ini tidak seharusnya lahir. Tak boleh ada yang tahu siapa anak ini.."Shelina mencoba menggali ingatannya lebih jauh, tapi yang didapatkannya hanya ke
Sudah satu setengah tahun mereka menikah namun tak pernah sekali pun Shelina menolak sentuhannya. Sebaliknya, Shelina paling senang saat Abizhar mencumbunya, membawanya ke puncak kenikmatan, tetapi sejak kecelakaan itu terjadi, Abizhar harus menelan kekecewaannya setelah ditolak berkali-kali.Bah! Sejak kapan ia ditolak Shelina di ranjang? Rasanya ego yang dimiliki Abizhar terkikis hari demi hari. Ranjang mereka yang selama ini selalu hangat dengan keringat mereka yang tak pernah absen membasahinya, kini terasa dingin.Shelina tidak hanya kaku saat disentuh. Sikapnya juga membuat Abizhar bingung. Shelina memang masih melayaninya dengan menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Istrinya juga setiap pagi menyiapkan pakaian kerja Abizhar. Meski tubuhnya bergerak untuk melakukan kewajibannya (selain di atas ranjang), Abizhar dapat menemukan tatapan hampa di mata istrinya.Abizhar menelepon dokter yang menangani Shelina. Kata dokter, perubahan sikap setelah
Bagaimana bisa aku peduli pada orang yang jelas-jelas membeliku, pikir Abizhar menjauh dari istrinya. Sebelum aku meneken kontrak pernikahan denganmu, ayahmu mengingatkan bahwa aku tidak lebih dari objek perjanjian antara orangtua kita. Ayah angkatku juga berkata demikian. Aku tidak boleh cinta. Aku tidak boleh sayang. Sebab yang namanya kontrak akan ada masa berakhirnya, dan hal itu berakhir setelah kita memiliki anak dan aku memperoleh tanahmu.Jadi buat apa aku capek-capek peduli padamu? Untuk apa aku sengaja menyiksa diriku dengan cinta padamu ketika aku tahu pada akhirnya kita akan berpisah? Aku tahu, setelah kau mendapat apa yang kau inginkan, kau akan mendepakku begitu saja. Aku bahkan curiga, kau akan kembali pada kekasihmu. Ya, kekasih yang telah mengambil keperawananmu.Atau bukan kekasih? Apakah wanita terhormat sepertimu, menganut kehidupan seks bebas? Ah, bukan aku ingin menghakimi pilihan gaya hidupmu, tapi kenapa hatiku sakit membayangkan kau telah dijam
Abizhar melempar dua map itu ke lantai. Ralat, dia tidak melempar, melainkan membanting dengan sangat keras sampai kedua mata Shelina melebar terkejut. "Abi!" tegur Shelina marah. "Ini kan kemauanmu. Kenapa kau jadi begini? Apakah yang kuberi kurang?" "Kau anggap apa aku ini!" bentak Abizhar sama gusarnya. "Aku bukan barang, Shelin. Aku bukan mainan yang kau beli lalu kau buang setelah kau bosan!" Abizhar menatapnya tajam-tajam. "Aku memang belum mencintaimu, aku ragu untuk bisa mencintaimu, tapi aku menentang perceraian. Sekali pun Yuni masih hidup, aku tak pernah berpikir untuk bercerai." Abizhar diam. Ya, hidup dengan Shelina bak mimpi buruk baginya, tapi dia tidak pernah membayangkan dia akan mengurus perceraiannya di pengadilan. Keketusan yang selama ini ia torehkan pada Shelina semata-mata ia ingin dihargai sebagai suami. Ia tidak sampai hati meninggalkan pernikahan ini. Shelina menatapnya bingung. "Kupikir ini yang kau inginkan. Kau