Share

2

“Jangan senang dulu. Saat ini polisi sedang menyelidiki kasus kecelakaanmu. Aku yakin, kau akan diseret ke kantor polisi karena kau telah berusaha menyingkirkan Yuni.”

“Aku ragu dengan kondisiku yang sekarang mereka bisa menangkapku,” jawab Shelina dengan nada merendahkan. “Lagipula aku punya banyak kenalan pengacara andal. Jadi apa yang harus kutakuti?”

“Ya terang saja. Aku lupa, mantan kekasihmu yang sok cakep itu juga lawyer. Siapa namanya? Oh, Philip Sadrin. Dia tanpa kau minta pasti akan datang menolongmu.”

Senyum Shelina melebar mendengar kesinisan itu. “Aku ingin istirahat. Oh ya. Apakah ada yang menjengukku?”

“Menurutmu? Tentu saja banyak. Teman-temanmu dari kalangan sosialita itu terang saja datang, dengan membawa wartawan pula, hanya untuk memojokanku di media,” dengus Abizhar. “Aku akui, di depan orang lain, kau sangat hebat menjaga citramu. Tapi di depanku, kau tidak lebih wanita berhati iblis!”

“Apa yang mereka bilang?”

“Cek saja sendiri setelah kau sehat.” Abizhar berdiri dari duduknya. “Aku pergi mau merokok sebentar.” Lengannya ditahan istrinya. Ketika istrinya menyentuhnya, Abizhar merasa hangat—sedikit. “Ada apa?”

“Apakah ayahku datang?”

Abizhar diam, menepiskan tangan Shelina darinya. “Dia tidak datang, bahkan di pemakaman anak kita dia juga tidak menunjukkan batang hidungnya,” jawabnya parau. Abizhar melihat kekecewaan yang berusaha disembunyikan istrinya. Hanya untuk menyakitkan istrinya lebih dalam lagi, Abizhar menambahkan, “Dia pasti kecewa padamu. Berita kau yang menabrak simpananku cukup memengaruhi harga saham perusahaan propertinya. Anjlok betul.” Abizhar berdecak.

Meski Abizhar selalu bersikap dingin dan bicara nyelekit padanya, Shelina tidak memungkiri apa yang dikatakan Abizhar ada benarnya. Selama ini tidak ada yang lebih penting daripada bisnis bagi Papa, pikir Shelina murung. Bahkan pernikahanku dengan Abizhar tidak lebih dari sekadar bisnis antara Papa dan orangtua angkat Abizhar.

**

Semakin Shelina berusaha mengingat kecelakaan itu, semakin memburuk sakit kepalanya. Seminggu kemudian, ia baru dibolehkan dokter untuk pulang. Pikirnya ia bisa beristirahat sebelum akhirnya ia betul-betul pulih, namun baru dua jam di rumah, dua polisi datang ke rumahnya dengan tujuan menyelidiki kasus kecelakaan yang dialaminya.

Shelina memberikan hasil CT Scan kepalanya dan kontak dokter yang menanganinya. Dia menjelaskan bahwa ia betul-betul tidak ingat dengan kejadian itu. Meski ia disodorkan rekaman CCTV di berbagai tempat, di mana semuanya menunjukkan ia kebut-kebutan dengan Yuni, ia tetap menggeleng.

Ia teringat sesuatu.

Ia menunjukkan beberapa pesan yang dikirimkan Yuni melalui email. Pesan-pesan tersebut mengandung ancaman. Polisi menganggap pesan-pesan tersebut menjadi petunjuk untuk kasus itu. Shelina kooperatif selama ditanya, dia tidak keberatan sekali pun dia tidak bisa keluar negeri sampai penyelidikan dihentikan. Setelah ditanyai untuk tiga jam lamanya, Shelina berjalan ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.

Abizhar yang melihat itu hanya meringis kesal, tapi Shelina tidak peduli. Dia menangis di atas bantal, mencoba mengeluarkan semua sesak di dadanya. Dia masih tidak percaya bahwa dia sudah tidak mengandung lagi.

“Aktingmu bagus, harusnya kau tunjukan pada polisi,” kata Abizhar jengkel. “Kenapa sih tidak kau akui saja kalau kau memang sengaja mencelakainya?! Aku tahu kau pura-pura bodoh, Shelina. Wanita sombong sepertimu pasti ogah tinggal di balik jeruji besi!”

“Kenapa kau tidak pergi saja dari sini?” tanya Shelina dengan wajah yang basah karena air mata. “Kenapa kau terus menekanku?! Aku bilang tidak ingat ya tidak ingat!”

“Menurutmu mudah saja bagiku untuk pergi dari hidupmu?” Abizhar menunduk di depan istrinya. Ditatapnya istrinya dengan bengis. “Aku hanya akan pergi setelah aku mendapatkan apa yang kuincar darimu. Dan hal itu tidak akan kudapat selama bapakmu masih hidup!”

“Oh ya, tentu. Tanah di Kebon Kacang yang kini sedang proses pembangunan apartemen, itu kan yang kau inginkan?” Shelina meludah tepat ke pipi pria itu. Hatinya tak gentar saat Abizhar mengangkat satu tangannya untuk memukulnya. “Bantahlah kalau berani. Kau pikir aku sebodoh itu menerima pinanganmu di saat aku tahu kau tak lebih pengincar harta!”

Abizhar mundur selangkah dari istrinya. Tangannya yang hendak menampar istrinya mengepal kuat-kuat. “Arrrghh!” Ditonjoknya tembok di dekatnya. Tembok itu tidak hancur sekali pun, namun tangannya mengalami luka. Darah mengalir di sana. “Lalu apa yang kau mau, Shelina? Mencintaiku tidak bisa, membiarkan aku lepas darimu juga tidak!”

“Aku ingin harta yang kau ambil dari ayahku jatuh ke tanganku. Aku ingin memiliki rumah ini. Aku ingin punya semua yang kau mau. Baru setelah itu akan kurelakan kau dengan wanita murahan mana pun,” jawab Shelina dingin.

“Kau sudah lahir di keluarga yang kaya, kau tidak pernah kekurangan, mengapa kau masih merisak anak miskin sepertiku?!” gerutu Abizhar heran.

“Kita sama-sama tidak bahagia, Abi,” sahut Shelina datar. “Kau melihatku sebagai orang yang manja dengan barang mahal yang melekat padaku. Tapi kau tidak tahu penderitaanku sedikit pun!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status