Namun tiba-tiba rahang Bastian mengeras. Kemudian, tatapanya hanya terfokus pada Vania. "Tapi ... kenapa kamu langsung berpikir bahwa kehamilan itu, tidak akan menjadi kabar bahagia bagi kami, Van?" ujar Bastian, ingin mendengar alasan dari wanita itu mengapa berkata demikian tadi. Sementara Mario menggertakan giginya. "Benar itu ... itu artinya kamu berprasangka buruk dengan kami, Van. Padahal, kami bahagia mendengar jika kamu hamil!" Sambung Mario dengan nada agak meninggi. Kentara jelas jika tersinggung. "Apa yang telah kalian lakukan kepada istriku itu ... membuat kami jadi agak sulit untuk mempercayai kalian lagi." Tiba-tiba Aditama berujar. Mendengar ucapan Aditama, membuat mereka bertiga beralih menatap pria itu. "Walau kami memaafkan kalian ... tapi aku dan Vania tidak bisa langsung percaya dengan kalian begitu saja. Butuh waktu sampai kami melihat kalian benar-benar menyesali perbuatan kalian dan benar-benar tidak akan berbuat jahat lagi kepada istriku." Kata Aditam
Sebuah pesan dituliskan Bella. [Apakah kamu dan Aditama sudah pulang dari rumah kakek?] Di bawahnya, ada pesan lain. [Ngomong-ngomong, apakah kalian sudah makan malam di rumah Kakek? Jika belum, jangan makan di luar, makan di rumah saja karena aku sudah memasakan untuk kalian]Vania sekilas menyunggingkan senyum tipis selagi membaca pesan itu.Vania menggeleng. "Astaga ... repot-repot sekali Kak Bella," gumam Vania, lalu jari jemarinya seketika berkutat pada layar ponsel, hendak mengetikan balasan. [Kami masih dalam perjalanan pulang, Kak] [Wah, kebetulan sekali kami belum makan malam di rumah kakek. Baik lah. Kami akan makan di rumah saja.] Mendengar nama Bella disebut, Aditama menebak jika sang istri mendapatkan pesan dari kakak sepupunya. Namun, Aditama memilih tak bertanya lebih dulu, memutuskan menunggu sang istri selesai mengirimkan pesan kepada Bella.Setelah selesai mengirimkan balasan, Vania segera mematikan layar ponselnya. Melihat hal itu, Aditama menoleh ke ar
Di ruangan rapat sebuah perusahaan, terlihat dua pria paruh baya sedang saling duduk di kursi masing-masing, saling pandang satu lain, terlibat dalam pembicaraan serius. Pria itu adalah Robert dan Andika—sahabat dari usia muda sekaligus partner bisnis. Rahang pria paruh baya bernama Andika itu kini mengeras, seperti tengah memikirkan sesuatu. Dia kemudian berkata. "Kau yakin, Bert? Laksana sudah tidak bisa apa-apa sekarang? Sudah tak berdaya?" Ia menatap sang sahabat dengan serius. Mendengar itu, Robert mengangguk, "Aku yakin sekali, An. Baru-baru ini ... aku menemuinya di kediamanya, dia masih menggunakan kursi roda." Balas Robert. Kemudian, ia menghela napas. "Walau tidak menutup kemungkinan jika dia akan segera pulih dalam waktu dekat ini." Andika terdiam. "Maka, kita harus segera bertindak cepat sebelum hal itu terjadi, bukan?" ucap Andika, hendak memastikan kepada partner bisnisnya itu. Robert mengangguk. "Ya. Kita memang harus segera bertindak cepat sebelum Laksana pu
Setelah meminta maaf serta mengakui kesalahan kepada Aditama dan Vania, Bastian beserta keluarganya mendatangi rumah Jauhar untuk melakukan hal yang sama. Seperti perkataan Jauhar pada saat Bastian dan Hermanto datang ke ruanganya—jika ia akan mencabut laporanya terhadap mereka bertiga, dengan catatan mereka bertiga sudah harus dimaafkan oleh Aditama dan Vania terlebih dahulu—baru ia pun akan mencabut laporanya. Di hadapan Jauhar, Bastian beserta keluarganya benar-benar tidak berani berkata apa-apa selain permintaan maaf yang keluar dari mulut mereka masing-masing, mengaku salah dan amat begitu menyesal. Mereka bertiga benar-benar tidak bisa berkutik dan tidak berdaya sama sekali. Setelah memastikan kepada Aditama mengenai pengakuan Bastian beserta keluarga jika sudah melakukan apa yang ia minta, juga mendapat perintah dari Aditama, akhirnya Jauhar pun mencabut laporanya terhadap mereka bertiga. Hal tersebut tentu membuat Bastian, Susan dan Mario langsung senang bukan main. Lega
Aditama menghadap Panji, lalu menganggukan kepala, sebagai pertanda untuk Panji menuruti permintaan keduanya. "Tidak kah Anda melihat ada yang mencurigakan di sini?" tiba-tiba Robert berujar dengan memasang ekspresi wajah datar serta merentangkan kedua tanganya lebar-lebar, seakan tengah memperlihatkan kepada Panji bahwa keadaan di ruangan itu aman-aman saja. Tidak ada tanda-tanda bahaya. "Hanya ada saya dan Andika di sini. Kami juga tidak membawa senjata," Kata Robert lagi seraya menyingkap jas yang dikenakanya, berusaha meyakinkan orang kepercayaan Laksana Gandara tersebut diikuti oleh Andika. Panji terdiam. Seketika memperhatikan secara saksama dengan apa yang tengah keduanya lakukan. Melihat Panji bersikap demikian, Andika berujar lagi, "Apakah selama ini ... kami mencari gara-gara dengan Tuan Laksana?" Andika berkacak pinggang dengan sebelah alis terangkat.Tanpa menjawab, mata awas Panji terus mengedar ke sekitar, seperti sedang memastikan sesuatu, tapi ia tidak kunjung m
Lagi-lagi, keduanya memandang remeh pertanyaan yang diajukan Aditama.Robert lalu melambaikan tangan dan berujar, "Hei ... santai saja, Tama. Jangan terburu-buru.""Seperti diawal kami katakan, jika Om dan Om Andika itu ... hanya ingin mengetahui kabarmu saja yang sudah lima tahun menghilang." Kata Robert lagi yang dibenarkan oleh Andika. Mendengar hal tersebut, Aditama menautkan kedua alisnya selagi masih menatap Robert dengan lekat. Robert lalu menepuk-nepuk pundak Aditama lagi dan melanjutkan kalimatnya. "Om sangat mengerti apa yang kau rasakan, Tama setelah Papamu mengusirmu dan ibumu dari rumah!" Robert menghentikan kalimatnya sejenak."Papamu memang jahat, Tam ... sungguh keterlaluan, tidak memikirkan perasaanmu dan mamamu sama sekali!" Suara Robert berubah meninggi dan wajahnya juga mengeras. Aditama mengerjap, mencerna dalam sepersekian detik perkataan Robert. Dalam hati ia membenarkan apa kata Robert tentang Ayahnya yang jahat, sudah sangat keterlaluan! Namun harus ka
Melihat kemunculan Aditama, Panji refleks bangkit dari duduknya. Seketika ia mengamati tuan mudanya dari atas sampai bawah, merasa Aditama dalam keadaan baik-baik saja, ia pun langsung menghela napas lega. Sejak tadi, ia begitu cemas, tak tenang, pikiranya ke mana-mana. Melihat Panji bersikap demikian, Aditama tersenyum. "Saya baik-baik saja, Pak Panji." Panji tampak mengatur napas. "Saya sungguh khawatir sekali dengan tuan muda tadi ... tapi syukur lah jika tuan muda tidak diapa-apakan oleh mereka."Aditama menatap Panji untuk beberapa saat. "Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku."Mendengar itu, Panji mengangguk. Panji lalu menghela napas. "Bagaimana mungkin saya tidak khawatir saat tuan muda bersama mereka berdua tadi?" Balas Panji. Kemudian, ia menggeleng dengan pandangan memicing. "Tuan Robert dan Andika itu ... termasuk orang yang berbahaya, tuan muda." Mendengar hal itu, Aditama mengangguk. "Saya tahu hal itu." Kemudian, ia mengedikan bahunya. "Tapi yang pe
Setelah selesai mengobrol di ruang tamu, Laksana Gandara mengajak Aditama bicara empat mata di ruangan kerjanya. Kini sang kepala keluarga Gandara tengah menatap putranya dengan lekat dan mulai berujar, "Kau tau, Aditama? Mengapa ... Om Robert dan Om Andika melakukan hal itu padamu?" Aditama menggeleng pelan sebagai jawaban. Dari sorot matanya memancarkan rasa keingintahuan. Laksana lanjut berkata. "Tebakan Papa adalah ... selain mereka ingin mempengaruhimu supaya kau semakin membenci Papa ... mereka akan menggunakanmu untuk mendapatkan sesuatu yang Papa miliki karena sesuatu yang Papa miliki itu bisa menghancurkan mereka." Mendengar hal tersebut, Aditama mengernyitkan kening. "Sesuatu itu bisa menghancurkan mereka? Papa ... memiliki sesuatu yang bisa menghancurkan mereka?" Ulang Aditama, hendak memastikan ia tidak salah dengar. Belum sempat Laksana menimpali, Aditama sudah bicara lagi. "Sesuatu seperti apa yang Papa maksud itu? Kenapa pula bisa menghancurkan Om Robert dan