Bab 43: Keputusan Terakhirku
“Mb ... Mbok?!” Mataku membelalak seakan ingin melompat.
Kudapati Mbok Sunem muncul dari arah dapur dengan sebuah botol susu di tangannya. Dia masih memakai daster yang sama sesaat lalu dan kini memandangi kami berdua. Dari sorot matanya saja, aku paham jika Mbok Sunem jijik padaku serta Mas Surya.
“Bu? Apa ini ....” Dia berseru seraya menunjuk ke arahku dan Mas Surya.
Barulah aku tersadar jika aku masih memeluk pria itu. Seketika aku melompat dan mendorong Mas Surya sejauh mungkin demi menutupi kesalahan besar yang telah kami lakukan.
Mbok Sunem kini memandangku dengan sorot mata kecewa. Wanita itu langsung berlalu begitu saja tanpa sebuah kata yang mampu menenangkan diri ini.
Mbok Sunem lekas menghilang di balik pintu kamarku. Dia menutupnya dengan erat dan meninggalkan sedikit bunyi berdebam. Aku paham benar, Mbok Sunem ingin marah namun terkendala posisinya di r
Bab 44: Wanita Pemarah dan KekasihnyaAku memang cukup gila dengan keputusan yang kuambil tersebut. Di saat para wanita di luar sana melepaskan hubungan sepenuhnya dengan keluarga mantan suami, aku malah terjun kembali ke dalamnya.Kini, sudah tidak ada jalan mundur. Aku dan Mas Surya akan benar-benar menikah setelah jadwal pernikahan dikeluarkan kantor KUA.Sekarang, yang tersisa adalah memperbaiki semua dan berdoa siang malam agar apa yang kualami bersama Janu tidak lagi terulang dengan Mas Surya. Pria itu, memang belum sepenuhnya kukenal, tapi ada sebersit keyakinan jika dia bisa memberiku rasa aman di dalam rumah tangga.Hanya sebersit saja, sisanya akan kuupayakan sendiri. Entah itu dengan mengekorinya ke Kalimantan sana atau menjalin hubungan jarak jauh dan bertemu tiga bulan sekali, lalu melepas rindu dengan liar.“Apa pakaian pengantinnya harus sesederhana itu?” Tiba-tiba suara Mas Surya terdengar olehku, dia su
Bab 45: Dua WajahAku mengusap wajah dengan lembut menggunakan selembar tisu. Ekspresi getir tidak dapat kusembunyikan saat duduk dengan tiga orang itu di meja.Terpaksa, aku menghindar untuk beberapa menit sampai hidangan datang dengan ngacir ke toilet seorang diri. Alasan lainnya, agar tidak perlu melihat wajah atasan Mas Surya yang benci denganku.Padahal, hari itu dia yang memulai pertengkaran. Hari itu, dia juga yang membuat keributan. Tapi, dari caranya memperlakukanku, atasan Mas Surya jelas menuduh itu semua salahku.“Hufh, ada-ada saja!” gerutuku usai keluar dari kamar mandi.Lima menit di dalam sana sembari mematut wajah sudah cukup menenangkan diri. Mungkin, makanan yang akan disajikan untuk kami sudah tiba dan aku bisa bergabung kembali dengan mereka.Baru saja hendak pergi, aku dihadapkan dengan sosok bernama Retno tepat di depan pintu toilet perempuan. Pria itu muncul di depan wajahku denga
Bab 46: Tabir di Masa LaluWajah putih, bibir senyum dan mata yang teduh kutemukan di ibu mertua yang sebentar lagi akan menjadi kakak iparku. Wanita hebat yang masih membuka dirinya untukku dan Nandya meski kami membawa seribu masalah untuknya.Wanita itu duduk di meja, sedang membersihkan sebaskom taoge untuk menu makan setelah mendengar aku dan Nandya berkunjung. Dia sangat sehat di usianya, bahkan tidak memerlukan kacamata.Lama aku menatap seraya memangku Nandya. Ibu mertua juga bergeming di tempatnya.“Sari, Surya mana?” tanyanya memecah sunyi.Aku langsung tersadar. Rupanya, Mas Surya sudah tidak ada lagi di rumah. Entah ke mana pria tinggi itu melangkah dan meninggalkan kami tanpa sepatah kabar.“Enggak tahu, Bu? Mungkin ....”“Aduh, jadi siapa yang akan beli ayamnya?” sambung wanita itu lagi. “Pasti keluyuran anaknya. Kalau sudah keluar pasti lupa pulang.”
Bab 47: Ungkapan Pria Liar“Apa yang terjadi denganmu setelah pulang dari rumah sakit?” lirih Ratna usai kami meluruskan kaki di dalam rumahnya.Aku memilih untuk duduk di atas karpet di depan TV agar bisa menidurkan Nandya dengan nyaman. Balita kecil itu sudah memejamkan kedua mata sampai tidak lagi terdengar rengekan dari bibirnya.Sekarang, aku bisa bertutur pada wanita di depanku. Ratna ... mungkin saja dia memegang kunci dari semua tabir yang membingungkan ini.“Aku tidak paham dengan apa yang terjadi, Ratna. Saat aku KKN dulu di sini, bagaimana dengan Mas Surya?” tanyaku padanya.Sorot mata ini tidak bisa menjauh dari wanita itu. Seraya memikirkan permasalahanku sendiri, aku ikut memikirkan Mas Retno yang berhubungan dengan atasan Mas Surya. Bahkan, wanita itu berniat membawa Mas Retno ke Kalimantan untuk tinggal bersama dengannya.“Mas Surya?” Ratna sedikit terkejut.Wanita i
Bab 48: Kisah di Masa Lalu Masa-masa KKN itu, aku masih ingat dengan jelas setiap momen berharganya. Aku bahagia, senyumku lebar dan mataku berair karena tertawa.Baik teman atau keluarga Ratna memperlakukan kami seperti saudara. Kami datang disambut dengan hangat, dan pulang diantar deraian air mata.Namun, ada satu titik yang terlupa olehku kala itu. Dua bulan masa KKN, aku melewatkan momen saat bertemu dengan seorang pria di sebuah warung nasi.“Sar, beli makan di mana kita?” Ratna yang menemaniku berbelanja kebutuhan kala itu bersuara lembut.Dia menggelayut manja di lenganku sampai lengket. Kehadiran Ratna di balai desa membuat banyak anak KKN khususnya laki-laki terpesona dengannya. Sampai, banyak dari mereka meminta untuk dicomblangkan dengan Ratna.“Di warung desa pertama setelah persimpangan bagaimana? Aku lihat warung itu rame,” saranku padanya usai mengelap kedua tangan dengan tisu.
Bab 49: Pendusta Lain Lama dia mendekap, hangat tubuhnya menjalar dengan cepat hingga berhasil menyentuh dasar dari hatiku. Mas Surya dan segala tentangnya memang mulai terasa nyata dan nyaman. Terdengar pula detak jantungnya yang berdebar hebat. Mas Surya seakan kesulitan mengontrol debaran itu sampai napasnya beradu. Entah apa yang membuatnya jadi sejauh ini pada wanita yang ditinggalkan oleh keponakannya sendiri. Entah benar semua ucapannya soal masa lalu itu, karena selama ini aku bahkan tidak mengingat apa pun tentangnya. Kala itu, aku takut akan Mas Surya. Saat itu, aku tidak ingin berurusan sama sekali dengannya. Mungkin inilah penyebab kenapa tidak ada kenangan apa pun soal dia di dalam kepalaku. “Mas, tolong lepaskan!” Aku meminta dengan intonasi yang dingin. Semua perasaan yang membuncah sesaat lalu kutepis dengan kejam. Mas Surya punya banyak hutang penjelasan terhadapku. Karena itulah, aku tidak akan bermud
Bab 50: Penjelasan Yulia dan PilihankuSemilir sejuk menyapu helaian anak rambutku yang terurai. Menerpa lembut dan menyentuh wajah. Dinginnya menusuk hingga ke relung. Pucuk ilalang menyentil betis dan pinggang. Kemudian, semburat jingga yang muncul di langit menjadi latar belakang dari kehadiranku di taman sepi ini.Sesaat lalu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah taman terdekat dengan perumahan Yulia. Sebuah tempat sepi yang ditinggalkan banyak orang, meski masih asri dan layak untuk dinikmati.Aku berdiri di tengah rumput dan beberapa bunga liar yang berwarna. Di sana, kutengadahkan wajah ke langit, memejamkan mata demi menyerap damainya. Hatiku berperang, jiwaku diserang, aku terluka sampai tidak lagi punya cela tanpa noda darah.“Sar, kenapa kamu bisa muncul di depan rumahku begini?” Suara Yulia membuatku tersadar jika taman ini juga didatangi olehnya.Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Masih saja, dia
Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq